31 October 2006

EBC M Team - news (D6-7)


Yupsa this morning we're living Namche Bazaar.
Kemarin aklimatisasi naik ke Syangboche (airport strip)...
trus naik sampai deket Everest Best View Hotel.
Ber-17...kita biosa lihat sekaligus Everest...Lhotse. ..Ama Dablam
Yang 4 lagi stay at city buat recovery....

Always blue sky... but temperture dah turun dan makin berat karena angin
bertiup.... beberapa temen agak drop...
Jadi startegi walking together musti dipikirin banget...
Well.... 21 org....11 angkatan..different performance
but one goals.... to EBC.
Yang pasti setiap lunch kita harusd join together...
dan masalahnya.. .efektif cuma jalan sampai 4 or 5 am
karena dah dingin... khawatir malah makin lambat...

Hari ini kita target ke Tyamboche the biuggest monastery at nepal
sleep over there... trus besok jalan lagi ke Dingboche...
dan stay disana 2 days...for acclimatization. .


dilaporkan oleh George (M90347ADB) via milis Mahitala

29 October 2006

EBC M Team - news (D4-5)


Yups..... smua tiba dengan selamat di Namche Bazaar magrib...
Banyak yg drop but sofar ok lah.... suhu dingin banget...
BEsok... ada yg mo aklimatisasi di atas Namche sekitar 3800-an...
sebagian stay di Namche buat recovery...
Yang penting semua bisa ikutin skedul yg udah dipersiapkan.
Dan fisik tetep ok.... dan jauh2 dari AMS =))

Kemarin dari kathamdu kita terbang ke Lukla (2600an)...
terus langsung trekking ke Pakdhing (2400an bermalam disana)..
Jalurnya turun 200 m.... hari ini naik 1000an...

Panorama during the trek.... top....
salju abadi semua.....puncak2 tinggi yang kadang tertutup kabut
kadang cerah.... bersyukur bisa liat Everest dan Lhotse dari kejauhan....


Dilaporkan oleh George (M90347ADB) lewat milist Mahitala

27 October 2006

EBC M Team - news (Day 3)


Temans...
sekarang tim EBC M1 dan tim EBC M2 sudah bergabung di Katmandu...jadi saya akan menyebutnya tim EBC M saja...
berikut adalah laporan dari Olin (ACH) memalui milis Mahitala...



hallo, sekarang tim udah lengkap semua 21 orang.. saat ini lagi pada makan malam dan belanja detik terakhir, kemudian packing dan besok pagi mulai berangkat sekitar pukul 6 / 7 pagi... naik pesawat terus dilanjutkan dengan jalan darat ada salam untuk mahitala dari semua orang disini...

salam,
olin



Pasukan sudah berkumpul dan terompet perang akan segera ditiupkan
Kita doakan semoga perjalanan saudara-saudara kita lancar dan sesuai dengan yg direncanakan....
Happy Treeking TEAM !!!

Audy
M 2000511 ATSA

EBC Team 1 - news (Day 3)


D-2 EBC-M1 at Katmandu…
Berakhir sudah city tour yang kedua….
Menjajagi kuil2 hindu penting di luar kathmandu.
Sekalian sore ini sudah coba down jacket.. sepintas ok kok…
Dan juga sleeping bag (rata-rata tertulis –20oC)…
Jadi down jacket itu dipakai saat di guest house
(karena fireplace Cuma ada di dining room – N.A in bedroom)
Trus down jacket dan sleeping bag harus dibawa sendiri2,
Artinya di backpack harus disediakan space untuk ini.

Besok acara bebas EBC M-1…
Buat melengkapi perlengjkapan yg mungkin kurang
Dan kalo yg mo shopping…..takut ndak keburu pas pulang (huaaaa)
Trus agak sorean…kita akan tunggu EBC M-2 di hotel…
Ndak mungkin lah 10 orang ikut njemput ke airport..
Taksi disini seukuran Suzuki ceria semua *__*
Setelah semua tim kumpul… rencana mo final technical meeting
Di kantornya Nava….trus dine and final preparation,
Soalnya next morning …wake up call 5am..brangkat 6am
Buat ngejer early flight 7am…yg rencana terbagi dua flight dg jeda 10”
Maklum….kapasitas pesawat buat tim+porter…ndak cukup.

Yowiz segitu dulu

dilaporkan oleh George (M90347ADB) via milis M

26 October 2006

EBC Team 2 - news (Day 1)


Baru mendarat di Changi Singapore Airport. Lagi nunggu check in jam 3 pagi, sekarang lagi ngobrol ngalor ngidul. Semua ok. Gile udah lama gak begini. Biasanya nongkrong di terminal bus atau stasion ka. Besok jam 08.15 (singapore time) take of to Bangkok. Hani n Tristi will join. Sekian dulu, gua akan lapor setiap hari. Mudah-mudahan telp sat nya gak ngadat.

(Dilaporkan oleh Sani Handoko via sms)

EBC Team 2 START


Tadi saya mengantar rekan2 Mahitala goes To Everest Base Camp kloter ke 2. Yang berangkat adalah : Sani Handoko, Mario, Ian, BHP, Caca, Olin, Didiet, Lili Nababan. Diantar oleh banyak sekali anak2 Mahitala ( Abe, ananda, didieb, cabe, milka, jui, anti, Rangga, Niken, Ribka, dede, dodi,helen, dedi, agus, ruslan dan anak, kak catty dan anak, istrinya didiet dan anak, orang tua ian, orang tua mario, orang tua Olin, dsb...sori lupa)

Mereka akan betolak ke Katmandu langsung bergabung dengan tim EBC I, yang sebelumnya akan transit Singapura dan Bangkok...(mungkin sekarang mereka sudah di Changi Airport...)

Happy trekking, bro n sis....take care n always give us a repport...GOD BLESS THE TEAM...!!!


Audy
M 200511 ATSA

INTO THIN AIR - Kisah Tragis pendaki Everest ( Part 8 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*end*)


Sebelumnya, Everest secara umum dianggap sebagai wilayah para pendaki elite. Seperti yang diucapkan oleh Michael Kennedy, editor majalah Climbing, “Diundang untuk ikut dalam ekspedisi Everest merupakan kehormatan yang hanya akan Anda peroleh setelah cukup lama dan cukup terlatih mendaki puncak-puncak yang lebih rendah. Dan, jika Anda benar-benar berhasil menalkukannya, Anda akan dianggap sebagai bintang oleh pendaki elite.” Keberhasilan Bass mencapai puncak mengubah semua itu. Setelah berhasil menundukkan Everest, Bass menjadi orang pertama yang berhasil menundukkan Tujuh Puncak[*], membuat namanya termasyhur di seluruh penjuru dunia, memicu para pendaki gunung akhir pecan untuk mengikuti jejak petualangannya, dan dengan kasar menarik Everest ke dalam era pascamodern.

“Bagi seorang pengkhayal yang beranjak tua seperti aku, Dick Bass merupakan inspirasi,” Beck Weathers, yang terlahir di kawasan pantai, berkata dengan aksen Texasnya yang kental dalam perjalanan ke perkemahan Everest pada April lalu. Patologis berusia empat puluh sembilan tahun dan penduduk Dallas ini, merupakan satu dari delapan pendaki yang dipandu Rob Hall dalam ekspedisi Everest 1996. “Bass menunjukkan bahwa Puncak Everest ternyata bisa ditaklukan oleh orang-orang biasa, asalkan orang itu memiliki fisik yang prima dan tabungan yang cukup. Bagi aku, meninggalkan pekerjaan dan keluarga selama dua bulan, merupakan hambatan yang paling besar.”

Bagi sejumlah besar pendaki – sesuai dengan catatan yang ada – meninggalkan rutinitas sehari-hari ternyata bukan hambatan yang sulit diatasi, begitu pula soal biaya yang besar. Selama setangah dekade terakhir, jalur-jalur yang menuju Tujuh Puncak, terutama yang menuju Puncak Everest, terus bertambah ramai. Seiring dengan meningkatnya permintaan, jumlah perusahaan komersial yang menawarkan jasa pemandu untuk mendaki Tujuh Puncak, terutama Puncak Everest, ikut meingkat pula. Selama musim semi 1996 saja tiga puluh ekspedisi besar tercatat mendaki Everest, sedikitnya sepuluh tim diantaranya dikelola untuk mencari keuntungan.

Pemerintah Nepal menyadari bahwa berbondong-bondongnya kelompok pendaki yang ingin mendaki Everest bisa menimbulkan masalah yang serius, baik ditinjau dari aspek keselamatan, estetika, maupun ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan. Untuk menanggulangi masalah ini, para menteri Negara Nepal muncul dengan solusi yang diharapkan bisa memberi dua keuntungan, yaitu mengurangi jumlah dan meningkatkan devisa: mereka menaikkan tarif perizinan. Pada 1991, Kementrian Pariwisata Nepal menetapkan tarif sebesar 2.300 dolar untuk setiap tim yang ingin mendaki Everest. Pada 1992, tarif tersebut dinaikkan lagi menjadi 10.000 dolar untuk setiap tim yang maksimum beranggotakan sembilan orang, ditambah biaya tambahan sebesar 1.200 dollar untuk setiap peserta tambahan.

Tetapi jumlah pendaki yang ingin menaklukan Everest terus saja meningkat, meskipun tarif terus dinaikkan. Pada musim semi 1993, empat puluh tahun setelah Everest ditaklukkan untuk pertama kalinya, lima belas tim terdiri dari 294 pendaki mencoba menaklukan Puncak Everest dari arah Nepal, sebuah rekor dalam jumlah tim. Musim semi tahun yang sama, Kementrian Pariwisata Nepal kembali menaikkan tarif perizinan menjadi 50.000 dolar untuk satu tim yang maksimal beranggotakan lima orang, ditambah 10.000 dolar unfuk setiap peserta tambahan dengan jumlah maksimum tujuh orang. Selain itu, Pemerintah Nepal juga membatasi tim ekspedisi yang diizinkan mendaki Everest dari wilayah Nepal dalam satu musim pendakian menjadi maksimal empat tim.

Yang tidak diperhitungkan Pemerintah Nepal adalah kenyataan Pemerintah Cina hanya menetapkan tarif 15.000 dolar untuk setiap tim yang ingin mendaki dari arah Tibet tanpa mambatasi jumlah anggota tim, maupun jumlah tim ekspedisi dalam satu musim pendakian. Karena itu, gelombang pendaki Everest, mengalihkan kegiatan mereka dari Nepal ke Tibet, menyebabkan ratusan suku Sherpa kehilangan pekerjaan. Protes dan jeritan suku Sherpa membuat Pemerintah Nepal, pada musim semi 1996, secara mendadak menghapuskan aturan yang membatasi jumlah tim pendaki hingga maksimal empat tim. Pada saat yang sama, mereka menaikkan tarif perizinan menjadi 70.000 dolar untuk setiap tim yang maksimal beranggotakan tujuh orang, ditambah biaya tambahan sebesar 10.000 dolar untuk setiap peserta tambahan. Mengingat bahwa enam belas dari tiga puluh tim yang mendaki Everest musim semi lalu mendaki jalur yang berada di wilayah Everest musim semi lalu mendaki jalur yang berada di wilayah Nepal, menunjukkan bahwa mahalnya tarif perizinan tampaknya tidak mengurangi minat para pendaki.

Bahkan sebelum pendakian pramusim penghujan pada 1996, yang berakhir dengan bencana itu, meningkatnya komersialisasi Everest selama satu dekade terakhir sudah sering memicu kritikan. Para pendaki tradisional berang karena puncak tertinggi dunia tersebut dijual kepada para penjelajah yang kaya raya – beberapa dari mereka, jika tidak dibantu seorang pemandu, mungkin akan kesulitan mencapai puncak gunung dengan ketinggian menengah seperti Mount Rainier sekalipun. Puncak Everest, kecam para pendaki tradisional, sudah direndahkan derajatnya dan dicemarkan.

Para kritikus juga menambahkan bahwa berkat komersialisasi Everest, puncak yang dulunya suci sekarang dikotori oleh campur tangan hukum Negara Amerika Serikat. Setelah membayar cukup mahal untuk dipandu mencapai Puncak Everest, sejumlah pendaki menuntuk pemandu mereka karena tidak berhasil mencapai puncak. “Kadang-kadang Anda mendapat klien yang merasa bahwa mereka sudah membeli tiket yang menjamin mereka sampai ke puncak,” keluh Peter Athans, seorang pemandu kawakan yang sudah sebelas kali mendaki Everest dan empat kali mencapai puncak. “Banyak yang tidak memahami, bahwa ekspedisi ke Puncak Everest tidak selalu berjalan lancar seperti kereta api di Negara Swiss.”

Sayangnya, tidak semua tuntutan tentang Everest tidak berdasar. Beberapa perusahaan pendakian yang tidak bonafide, berkali-kali gagal menyediakan perlengkapan logistik yang sangat penting – misalnya tabung oksigen – sesuai dengan perjanjian. Dalam beberapa ekspedidi, hanya pemandu yang berhasil sampai ke puncak, meninggalkan semua klien yang sudah membayar mahal, membuah klien mereka kecewa dan menuduh bahwa mereka diajak untuk sekadar menutup biaya perjalanan pemandu. Pada 1995, seorang pemilik perusahaan ekspedisi komersial melarikan uang kliennya sebesar sepuluh ribu dolar bahkan sebelum pendakian dimulai.

Maret 1995, aku dipanggil dan ditawari oleh editor majalah Outside untuk ikut dalam sebuah ekspedisi Everest yang dipandu, yang dijadwalkan akan berangkat dalam lima hari, dan aku diminta untuk menulis artikel tentang menjamurnya komersialisasi pendakian Everest serta berbagai kontroversi seputar masalah itu. Majalah tersebut tidak memintaku untuk ikut sampai ke puncak; si editor hanya memintaku untuk ikut sampai Base Camp dan melaporkan ceritaku dari Gletser Rongbuk Timur, kaki gunung yang terletak di wilayah Tibet. Aku mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh penawaran mereka – aku bahkan sudah memesan tempat dan melakukan beberapa imunisasi yang diperlukan – tetapi mundur pada menit-menit terakhir.

Karena selama beberapa tahun terakhir aku memandang rendah Puncak Everest, cukup beralasan jika orang-orang beranggapan bahwa penolakanku dipicu oleh pandanganku tersebut. Kenyataannya, tawaran majalah Outside secara tidak terduga menghidupkan kembali keinginan besar yang sudah lama kupendam. Aku menolak penugasan tersebut, karena aku yakin, aku akan frustasi jika harus tinggal selama dua bulan di bawah bayang-bayang Everest tanpa boleh mendaki lebih tinggi dari Base Camp. Jika aku memang harus melakukan perjalanan ke belahan dari bumi ini, dan menghabiskan delapan minggu jauh dari istri dan rumahku, aku harus diberi kesempatan untuk mendaki gunung tersebut.

Aku meminta kepada Mark Bryant, editor Outside, untuk megundurkan penugasanku selama dua belas bulan (sehingga aku bisa melakukan latihan fisik yang dibutuhkan untuk ekspedisi seperti itu.) Aku juga meminta kepada majalah Outside untuk mendaftarkan diriku sebagai klien perusahaan pendakian yang lebih bonafide – serta membayar biaya pendakian sebesar 65.000 dolar – untuk memberiku kesempatan benar-benar mencapai puncak. Aku tidak sungguh-sungguh berharap permintaanku akan dikabulkan. Selama lima belas tahun terakhir, aku sudah menulis lebih dari enam puluh artikel untuk majalah Outside, tetapi biaya perjalanan untuk masing-masing penugasan biasanya tidak lebih dari dua ribu atau tiga ribu dolar.

Bryant menelponku sehari kemudian setelah dia mengadakan pertemuan dengan penerbit Outside. Menurutnya, majalah tersebut tidak bersedia menutupi biaya perizinan sebesar 65.000 dolar, tetapi dia dan beberapa editor lain percaya bahwa komersialisasi Everest merupakan topik yang penting. Jika aku sungguh-sungguh ingin mendaki gunung itu, katanya bersikeras, majalah Outside akan berusaha untuk mewujudkan keinginanku.

Selama tiga puluh tahun menyebut diriku sebagai pendaki, aku sudah mendaki beberapa puncak yang cukup sulit. Di Alaska, aku pernah mendaki sebuah jalur baru dan sempit bernama Mooses Tooth, melakukan pendakian solo ke puncak Devils Thumb, yang memaksaku untuk tinggal sendirian selama tiga minggu dia atas sebuah puncak gunung es yang terpencil. Aku juga sudah mendaki beberapa puncak gunung es yang cukup tinggi di Kanada dan Colorado. Dekat ujung selatan Benua Amerika, di tempat angina menerjang daratan seperti “sapu dewa” – la escoba de Dios, demikian nama yang diberikan penduduk setempat – aku pernah dihadapkan pada mengalaman yang sagat menegangkan ketika dipaksa mendaki sebuah dinding granit vertikal setinggi satu mil dinamai Cerro Torre; di bawah terjangan angin dengan kecepatan seratus knot, dan lereng yang tertutup es, gunung itu pernah (meskipun tidak lagi) dianggap sebagai gunung tersulit di dunia.

Namun, semua petualangan itu kulakukan beberapa tahun berselang, beberapa bahkan terjadi lebih dari satu dekade lalu, ketika usiaku masih dua puluh atau tiga puluhan. Sekarang usiaku sudah empat puluh satu tahun, masa jaya fisikku sebagai pendaki sudah lewat, janggutku sudah berubah kelabu, gusi-gusiku memburuk, dan perutku tujuh setengah kilogram lebih berat. Aku sudah menikah dengan seorang wanita yang sangat kucintai – dan mencintaiku. Setelah menemukan karier yang cukup lumayan, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku bisa hidup di atas garis kemiskinan. Kerinduanku untuk mendaki sudah mulai memudar karena berbagai bentuk kepuasan yang kemudian menumpuk menjadi sesuatu yang umum disebut kebahagiaan.

Selain itu, gunung-gunung yang pernah kutaklukkan tidak ada yang lebih tinggi dari gunung dengan ketinggian menengah. Terus terang, aku belum pernah mendaki gunung yang lebih tinggi dari 17.200 kaki – artinya tidak lebih tinggi dari Base Camp Everest.

Sebagai orang yang rajin mengikuti sejarah dunia pendakian, aku tahu Everest telah menewaskan lebih dari 130 orang sejak tim ekspedisi Inggris pertama kalinya mendaki pada 1921 – artinya satu kematian untuk setiap empat pendaki yang berhasil mencapai puncak – dan mereka yang tewas tersebut memiliki kekuatan fisik serta pengalaman mendaki yang jauh lebih baik daripada diriku. Namun, impian masa kanak-kanak ternyata sulit dipadamkan; lagipula persetan dengan akal sehat ! Akhir Februari 1996, Bryant menelpon dan mengatakan bahwa satu tempat kosong masih tersedia dalam tim ekspedisi Rob Hall yang berikutnya. Ketika dia bertanya, apakah aku bersungguh-sungguh dengan niatku, aku menjawab ya, bahkan tanpa berhenti sekejap pun untuk menarik napas.


[*] Puncak-puncak tertinggi di tujuh benua adalah : Everest, 29.028 kaki (Asia); Aconcagua, 22.834 kaki (Amerika Selatan); McKinley – dikenal juga dengan nama Denali – 20.230 kaki (Amerika Utara); Kilimanjaro, 19.340 kaki (Afrika); Elbrus, 18.510 (Eropa); Vincon Massif, 16.067 kaki (Antartika); Kosciucko, 7.316 kaki (Australia). Setelah Dick Bass menaklukan ke tujuh punca tersebut, seorang pendaki Kanada bernama Patrick Morrow menyanggah dengan mangatakan bahwa karena puncak tertinggi di wilayah Oceania, kelompok kepulauan trmasuk Australia, bukan Kosciusko melainkan puncak lain yang lebih sulit didaki, yaitu Cartenz Pyramid (16.535 kaki) yang terletak di Provisi Irian Barat, Indonesia (sekarang Papua). Dengan demikian menurut Morrow, Bass bukanlah orang pertama yang menaklukkan Tujuh Puncak – melainkan dia, Morrow. Bukan satu saja yang mengkiritik konsep Tujuh puncak tersebut, dengan mengatakan bahwa mendaki puncak tertinggi kedua di tiap benua lebih sulit ketimbang mendaki Tujuh Puncak tertinggi di dunia, beberapa diantaranya merupakan puncak yang sangat sulit didaki.

INTO THIN AIR - Kisah Tragis pendaki Everest ( Part 7 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*bersambung*)


Tiga hari kemudian, berita tentang keberhasilan mereka sampai di telinga Ratu Elizabeth, tepat satu hari sebelum penobatan dirinya, dan koran Times di London menyiarkan berita tersebut pada 2 Juni dalam edisi awal. Berita tersebut dikirim secara rahasia dari Everest melalui pesan radio (agar pesaing Times tidak menyabot berita pertama mereka) oleh seorang wartawan muda bernama James Morris; dua puluh tahun kemudian, setelah menjadi penulis ternama, James Morris melakukan operasi kelamin menjadi wanita dan mengubah nama depannya menjadi Jan. Empat dekade setelah penaklukan yang bersejarah itu, Morris menulis: Penobatan Everest: Penaklukan Pertama dan Berita yang Menobatkan sang Ratu,

Sulit dibayangkan sekarang ini, bagaimana dua peristiwa yang terjadi hampir secara serempak tersebut (penobatan sang Ratu dan penaklukan Everest) disambut dengan kegembiraan yang magis di Negara Inggris. Setelah lepas dari masa-masa suram yang menyelimuti mereka sejak Perang dunia II, surutnya kebesaran Kerajaa Inggris dan berkurangnya pengaruh mereka di muka bumi, orang-orang Inggris hampir percaya bahwa dinobatkannya sang Ratu yang muda belia merupakan isyarat bagi dimulainya era baru – era Elizabeth, demikian koran-koran menyebutnya. Hari penobatan, pada 2 Juni 1953, adalah hari yang melambangkan harapan dan kegembiraan. Pada hari itu semua patriot pendukung Inggris tiba pada satu momentum yang paling istimewa, keajaiban di atas semua yang ajaib, karena pada hari itu sebuah kabar datang dari tempat yang jauh – dari garis depan Kerajan Inggris lama – bahwa sebuah tim pendaki bangsa Inggris… berhasil menaklukan objek penjelajahan dan petualangan tertinggi di muka bumi, puncak dunia…

Peristiwa tersebut memicu munculnya berbagai emosi di dalam hati rakyat Inggris – kebanggaan, patriotisme, nostalgia tentang kekalahan mereka dalam perang masa lalu, dan tentang tindakan-tindakan mereka yang gagah berani pada zaman lampau, serta harapan akan masa depan yang lebih baik… Sampai saat ini, orang-orang usia tertentu masih mengingat dengan jelas, ketika mereka – sambil berdiri di bawah siraman hujan rintik-rintik untuk menunggu iring-iringan prosesi penobatan melewati Kota London – mendengar kabar mengejutkan bahwa puncak dunia, boleh dikatakan, sudah menjadi milik mereka.

Tenzing menjadi pahlawan nasional di seluruh dunia, Nepal dan Tibet, masing-masing negara tersebut mengakui Tenzing sebagai warganya. Setelah mendapat gelar bangsawan dari Ratu Elizabeth, Sir Edmud Hillary menyaksikan wajahnya muncul dalam perangko, komik, buku-buku, novel, dan sampul majalah – dalam waktu semalam, pria berwajah tirus, peternak lebah dari Kota Auckland ini berubah menjadi pria paling terkenal di muka bumi.

Pelaklukan Everest oleh Hillary dan Tenzing terjadi sebelum aku dilahirkan, jadi aku tidak merasakan kebanggaan dan kekaguman yang melanda dunia – sebuah peristiwa yang menurut teman-temanku yang lebih tua, bisa disejajarkan dengan pendaratan pertama manusia di bulan. Namun satu dekade kemudian, ditaklukannya Everest untuk kedua kalinya, membantu memantapkan arah hidupku.

Pada 22 Mei 1963, Tom Hornbein, tiga puluh dua tahun, seorang dokter dari Missouri, dan Willi Unsoeld, tiga puluh enam tahun, seorang professor teologi dari Oregon, tiba di Puncak Everest melalui Lereng Barat yang sulit dan belum pernah didaki. Sampai saat itu, Puncak Everest sudah empat kali ditaklukkan oleh sebelas pendaki, tetapi Lereng Barat dianggap sebagai rute lain yang kerap dilalui: Jalur Selatan dan lereng Tenggara atau Jalur Utara dan Lereng Timur Laut. Pendakian yang dilakukan Hornbein dan Unsoeld – merupakan, dan masih dianggap, sebagai prestasi terbesar dalam dunia pendakian gunung.

Menjelang sore, dalam perjalanan menuju puncak, kedua warga Amerika tersebut dihadapkan pada sebuah alur batuan yang terjadl dan rapuh – Jalur Kuning (the Yellow Band) yang berbahaya. Mendaki lintasan ini membutuhkan kekuatan dan keahlian tinggi; tidak ada jalur pendakian yang secara teknik lebih menantang dan lebih tinggi letaknya daripada jalur ini. Setibanya di puncak Jalur Kuning, Hornbein dan Unsoeld meragukan kemampuan mereka untuk bisa turun melalui jalur yang sama. Satu-satunya harapan agar mereka bisa turun dari gunung dalam keadaan hidup, demikian keputusan mereka, adalah bergerak terus sampai puncak dan kemudan turun melalui Lereng Tenggara, rute yang kerap dilalui. Rencana yang sangat berani, mengingat hari sudah menjelang sore, medan yang belum mereka kenal, dan persediaan oksigen yang menipis dengan cepat.

Hornbein dan Unsoeld tiba di Puncak Everest pada pukul 18.15, tepat pada saat matahari terbenam, dan dipaksa menghabiskan malam di bawah udara terbuka pada ketinggian lebih dari 28.000 kaki – perkemahan tertinggi sampai saat itu. Udara malam sangat dingin, untungnya tidak berangin. Meskipun jari-jari kaki Unsoeld membeku dan kemudian harus dipotong, keduanya selamat untuk menceritakan pengalaman mereka.

Saat itu usiaku baru sembilan tahun dan tinggal di Corvallis, Oregon, kota yang sama dengan tempat Unsoeld tinggal. Dia teman baik ayahku, dan aku kerap bermain dengan anak-anak Unsoeld yang tertua – Regon, yang usianya setahun lebih tua dariku, dan Devi, setahun lebih muda dariku. Beberapa bulan sebelum Willi Unsoeld berangkat ke Nepal, aku menaklukkan puncak gunungku yang pertama – sebuah gunung dengan ketinggain 9.000 kaki dan terletak di Cascade Range, sebuah puncak yang saat itu bisa dicapai dengan menggunakan kereta gantung – ditemani Ayah, Willi, dan Regon. Tidak mengherankan jika peristiwa penaklukan Everest 1962 bergema kuat dan lama di dalam imajinasi praremajaku. Ketika teman-temanku mengidolakan John Glenn, Sandy Koufax, dan Johnny Unitas, maka Hornbein dan Unoseld merupakan pahlawan pujaanku.

Dian-diam aku bermimpi, aku akan mendaki Everest suatu hari nanti; selama lebih dari satu dekake, impian itu menjadi ambisiku yang tidak pernah padam. Di awal usia dua puluhan, mendaki sudah menjadi pusat kehidupanku sehingga aku hampir-hampir mengabaikan semua hal yang lain. Menaklukkan puncak gunung merupakan sesuatu yang nyata, permanen, dan konkret. Bahaya yang menyertainya menjadikan kegiatan ini sesuatu yang sungguh-sungguh, kesungguhan yang tidak kumiliki dalam bagian kehidupanku yang lain. Aku bergairah oleh pemikiran-pemikiran baru yang muncul setiap kali aku berhasil menaklukan sebuah bidang yang vertikal.

Mendaki juga mampu mencipakan perasaan memiliki. Menjadi seorang pendaki berarti bergabung dengan kelompok masyarakat mandiri yang sangat idealis, kelompok yang kerap diabaikan, tetapi secara mengejutkan, tidak tercemar oleh dunia secara keseluruhan. Mendaki gunung adalah budaya yang ditandai dengan persaingan, sangat maskulin, dan yang terpenting, semua pendaki perusaha untuk mengesankan pendaki lain. Mencapai puncak gunung manapun dianggap kurang penting dibanding dengan cara seseorang mencapainya: seorang pendaki akan merasa bangga jika dia berhasil mencapai puncak melewati rute paling sulit dengan perlengkapan minimal, dan dengan keberanian yang sulit dibayangkan. Tidak ada pendaki yang lebih dikagumi selain dari para pendaki solo: para pemimpi yang mendaki sendirian, tanpa tali atau perlengkapan.

Pada tahun-tahun tersebut, aku hidup hanya untuk mendaki, mengandalkan penghasilanku yang berkisar antara lima atau enam ribu dolar setahun dari pekerjaanku sebagai tukang kayu dan nelayan ikan salmon komersial, cukup untuk mendanai petualanganku ke Bugaboo atau Teton atau Alaska. Namun, ketika usiaku mencapai dua puluh lima tahun, aku meninggalkan impian masa kecilku untuk mendaki Everest. Saat itu, para pakar pendaki gunung memberi julukan buruk pada Everest, yaitu “tumpukan kerak” – sebuah puncak yang secara teknis dan artistik tidak cukup menantang bagi para “pendaki yang serius”, julukan yang menjadi impianku selama ini. Aku mulai memandang rendah pada gunung tertinggi di dunia itu.

Perasaan merendahkan tersebut muncul karena pada awal dekade 1980, rute termudah menuju Puncak Everest – yaitu Jalur Selatan dan Lereng Tenggara – sudah ratusan kali didaki. Teman-temanku sesama pendaki gunung menamai Lereng Tenggara sebagai “Rute Yak”. Pandangan merendahkan itu makin dikukuhkan oleh kejadian pada 1985, ketika Dick Bass – seorang warga Texas yang kaya raya berusia lima puluh lima tahun dengan pengalaman mendaki yang terbatas – dipandu menuju Puncak Everest oleh pemandu gunung yang masih sangat muda bernama David Breashears, sebuah peristiwa yang diliput secara luas oleh media.

EBC Team 1 - news (Day 2)


D2 EBC-1M di Kathmandu... full city tour. rencana start 9am...mundur sampai 10am karena ada strike =(( Trus pergi ke 2 budhist temple dan 2 hindu temple in Kathmandu.. (nama-2nya gue lupa... but its a standard city tour) Sangat menarik.... puluhan tahun cuma bisa liat dari national geography... akhirnya kesampaian juga...dream do come true *__* Penutupnya jalan di Dunbar Square..cuma kesorean..jadi ndak sempat liat kumari di kathmandu... probs besok kita ada kesempatan di 2 kuil di luar kota (dari 4 point of interests).

Sekilas kebudayaan+kebiasaa nnya mirip bali... karena ritual disemua tempat... dan yang senang antropologi pasti suka banget.. karena bangunan yang usianyta ratusan/mungkin ribuan tahun banyak banget.... di suatu tempat pinggir sungai (yang suci) adalah tempat kremasi hindu yang terbuka... jadi jenazah turun dari ambulance... lanbgsung dibaringkan di atas "altar" tumpukan batu... kemudian dibakar...ada 5-6 altar bersebelahan. ..jadi sepanjang jalan... kita mnghirup asap krematori..yang tidak menusuk..karena mungkin sudah dicampur dengan wangi2-an dst....

Buat MILUG....syamsu titip kalo mungkin beliin termos ACE yang 1.2L yang ada pegangannya. ..harga sekitar 170rb-an...jangan yang polos (tanpa handle spt ableh).. karena terbukti cukup handal vacuum-nya.

Buat HANI... gue coba besok check sleeping bag yang disediain nava...ad email elo malemnya.. semoga masih keburu.

cuaca cerah terus... blue sky above us...semoga tetap sampai akhir perjalanan.

dilaporkan oleh George (M90347ADB) via milis M

25 October 2006

EBC Team 1 - news (Day 1)


EBC 1-M dah landing di Katmandu approx. 3pm dan langsung dijemput hanto dan nava...pake 3 mobil yang lebih kecil dari carry....dan sampai di hotel Buddha di daerah Thamel. Kondisi kotanya...agak terbelakang. .. nampak sekali garis hidup mapan masih jauh dari kenyataan... cuma Thamel sendiri persis seperti Kuta, Bali.... bedanya toko outdoor sport seabreg2... walopun banyak banget yang fake (palsu)... Cuma kok belum liat toko2 yang nyewain peralatan ya ??

Bbrp tips buat EBC 2-M :
* trekking pole harus masuk cabin, tdk bisa cabin.
* setelah early check in di Changi, kalo departure di D48, maka belok ke arah kanan, trus kalo ketemu coffee bean, di belakangnya arena free internet access dan paling ujung di belakang singapore tourist centre ada rest area yang terdiri ampir 10 dipan...menghadap ke runaway... lampu remang... so why worry to take transit hotel....take goog nap..even first come first sleep...enjoy !
* sampai di Suvarnabhumi (Bangkok) langsung menuju areal transit di D6...lokasinya di Lt. 2 kedatangan.. .dan musti cepet karena jaraknya jauh banget dan waktunya mepet (cuma sejam?)
* kalo bisa dapat window seat kanan jadi langsung menghadap himalaya... kalo beruntung bisa dapat panoramic-nya 20 menit menjelang landing.
* sampai di Tribhuvan (kathmandu), form visa, embarkation card, declare form (kenyataannya ndak diperiksa) disiapkan trus antri di barisan entry wihout visa (paling ujung), uang visa misal $30 bisa ndak pas alias ada kembalian dg aneka mata uang asing.

Dua hari besok... rencana kita mo city tour Kathmandu dan sekitarnya... ada sekitar 8 Point of Interest yang bakal dikunjungi.. . kebnyakan temple Buddhadan pastilah Hindu. Tadi sore kita dah meeting di kantor-nya Nava buat discuss masalah ini, besok 9am dia akan jemput dan jalan sampai 4am.

yowiz.. sekilas info EBC-1M.....welcome EBC-2M


Dilaporkan oleh George (M90347) via milis M

24 October 2006

Mahitala Special Forces Team I news


Tim advance EBC dah early check in di Changi menuju Kathmandu via Bangkok.... ber-sembilan. .. Broer Ambrin, Hasan, Chandra Heru, SieLing, Susanto 'Ableh', Syamsuliarto, Irma+Irsan dan gue.... Buat tim kedua..... nanti keluar imigrasi langsung naik ke atas, karena Thai Air juga di Terminal 1, sama dengan Value Air. Trus bisa early check in 2.45 local time... jadi langsung bisa cari tempat tidur nyaman di dalam *__*....ndak perlu transit hotel segala...

(dilaporkan oleh George M90347ADB)

Akan mennyusul Tim 2 yang akan berangkat tanggal 26 Oktober 2006 pk 20.00 di terminal 2D Sukarno Hatta. Peserta : Sani Handoko, BHP, Caca, Mario, Milug, Didiet, Ian, Olin, Lili Nababan...Dan nantinya akan bergabung dengan tim I di Katmandu...

Happy Treeking...

Audy
M 200511 ATSA

23 October 2006

INTO THE WILD (Part 5 - Stampede Trail *end*)


Beberapa ratus meter setelah meninggalkan sungai, jalan tanah itu menghilang tertutup oleh beberapa kubangan berang-berang yang tingginya mencapai dada. Dengan berani, ketiga penduduk Alaska mendinamit bendungan yang terbuat dari ranting-ranting kayu yang mengganggu itu dan mengeluarkan airnya. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan, mendaki melewati dasar sungai yang berbatu-batu, menerobos semak-semak pohon alder yang rimbun. Hari sudah menjelang senja ketika mereka tiba di lokasi bus tersebut. Setibanya di sana sesuai dengan pengakuan Thompson, mereka mendapati “sepasang muda mudi dari Anchorage yang sedang berdiri kira-kira lima belas meter dari bus dan tampak sangat ketakutan.”
Keduanya belum masuk ke dalam bus, tetapi mereka sudah cukup dekat untuk bisa mencium “bau yang sangat busuk yang keluar dari dalamnya”. Sebuah bendera isyarat – sehelai kain wol penghangat kaki berwarna merah yang kerap digunakan para penari - yang diikat ke sebuah ranting pohon alder diletakkan di pintu keluar bus tersebut. Pintu itu terbuka lebar dan sebuah pesan yang menimbulkan rasa cemas direkatkan di atasnya. Tulisan tangan itu dibuat dengan huruf cetak yang rapid an ditulis diatas sehelai kertas yang disobek dari novel karya Nikolay Gogol; bunyi pesan itu:

S.O.S. SAYA MEMBUTUHKAN PERTOLONGAN ANDA. SAYA TELUKA, HAMPIR MATI, DAN TERLALU LEMAH UNTUK BERJALAN KELUAR DARI TEMPAT INI. SAYA SENDIRIAN, INI BUKAN MAIN-MAIN. DEMI TUHAN, TETAPLAH TINGGAL DAN SELAMTKAN SAYA. SAYA SEDANG KELUAR UNTUK MENGUMPULKAN BUAH RASBERI DI SEKITAR TEMPAT INI DAN AKAN KEMBALI SORE INI. TERIMA KASIH, CHRIS MCCANDLESS. AGUSTUS ?

Sepasang muda mudi dari Anchorage itu terlalu cemas memikirkan implikasi dari pesan dan bau busuk yang menyengat itu sehingga mereka tidak berani memeriksa ke dalam bus, jadi Samel memberanikan diri untuk melihat ke dalam. Setelah mengintip melalui jendela, dia melihat sepucuk senapan Remington, sebuah kontak peluru, delapan atau sembilan buku saku, beberapa peralatan masak, dan sebuah ransel yang mahal. Di pokok belakang bus, di atas sebuah tempat tidur sederhana, tampak sebuah kantong tidur berwarna biru dengan sesuatu atau seseorang di dalamnya meskipun, kata Samel, “agak sulit untuk memastikan.”
“Aku berdiri di atas potongan batang pohon,” tambah Samel, “mengulurkan tanganku melalui jendela belakang, dan mengoyang-goyangkan kantong tidur itu. Ada sesuatu di dalamnya, itu pasti, tetapi apa pun benda itu, pasti sangat ringan. Setelah berjalan ke sisi yang lain dan melihat sebuah kepala keluar dari dalamnya, barulah aku yakin benda apa itu.” Chris McCandless sudah tewas selama kurang lebih dua setengah minggu.
Samel adalah pria yang memiliki pendirian kuat dan dia memutuskan untuk segera mengungsikan mayat itu. Namun, baik di dalam kendaraan miliknya maupun milik Thompson yang kecil, tidak ada ruang untuk membawa mayat itu, ATV milik sepasang muda mudi dari Anchorage tersebut. Beberapa saat kemudian, muncul orang keenam, seorang pemburu dari Kota Healy bernama Butch Killian. Karena Killian mengemudikan sebuah Argo – ATV model amfibi yang besar dengan delapan roda – Samel mengusulkan agar Killian mengungsikan mayat tersebut, tetapi dia menolak dan bersikeras bahwa itu merupakan tugas Polisi Patroli Negara Bagian Alaska.
Killian, seorang pekerja tambang batu bara yang kerap bekerja sebagai relawan pada Unit Pemadam Kebakaran di Kota Healy, membawa sebuah radio komunikasi di atas Argo miliknya, Ketika tidak berhasil menghubungi siapapun dari tempatnya saat itu, dia memutuskan untuk kembali ke jalan raya 8 km dari jalan tanah itu dan hanya sesaat sebelum hari mulai gelap, dia berhasil mengadakan kontak dengan operator radio pusat pembangkit listrik di Kota Healy. “Tolong sampaikan pesan ini,” katanya melaporkan, “saya Butch. Tolong telepon polisi patroli. Ada seorang pria di dalam bus di Sushana. Sepertinya, dia sudah tewas beberapa waktu yang lalu.”
Pada pukul delapan lewat tiga puluh menit keesokan paginya, sebuah helikopter polisi mendarat dengan bising di samping bus tersebut, menimbulkan pusaran debu dan daun-daun pohon aspen. Para polisi tersebut memeriksa dengan teliti seluruh isi bus dan tempat-tempat di sekitarnya untuk mencari tanda-tanda adanya kekerasan, kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka terbang dengan membawa serta jenazah McCandless, sebuah kamera dengan lima rol film yang sudah dilepas, kertas berisi pesan SOS tadi, dan sebuah catatan harian – yang ditulis di atas dua halaman terakhir sebuah buku pedoman tentang tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan – yang melaporkan peristiwa yang terjadi pada minggu-minggu terakhir sebelum kemarian pemuda tersebut; 113 catatan yang pendek dan membingungkan.
Jenazah itu dibawa ke Anchorage dan diautopsi di Laboratorium Penyidikan Kriminal. Jenazah itu sudah sangat rusak sehingga sulit menentukan waktu kematian McCandless, tetapi petugas koroner tidak menemukan tanda-tanda adanya luka dalam atau tulang patah yang serius. Pada dasarnya, tidak ada lagi lemak yang masih menempel di bawah kulit si mati dan otot-ototnya sudah sangat mengerut beberapa hari atau beberapa minggu menjelang kematian. Saat diautopsi, berat jenazah McCandless hanya sekitar tiga puluh tiga setengah kilogram. Kelaparan dipastikan sebagai penyebab kematian.
Tanda tangan McCandless tercantum di bawah pesan SOS tersebut dan negatif film tersebut setelah dicetak memperlihatkan banyak foto diri McCandless. Namun, karena tidak membawa buku identitas diri, pihak berwenang tidak tahu siapa dia, dari mana dia berasal atau mengapa dia berada di tempat tersebut.

INTO THE WILD (Part 4 - Stampede Trail *bersambung*)


2. STAMPEDE TRAIL

Jack London adalah Raja

Alexander si Petualang Super

Mei 1992

Tulisan yang ditatah di atas sepotong kayu, ditemukan di dekat jenazah Chris McCandless

Hutan cemara yang gelam memberengut di kiri kanan anak sungai yang membeku itu. Embusan angin baru saja meniup salju putih yang menyelimuti pepohononan dan mereka seperti saling condong ke arah yang lain, hitam dan buram di bawah cahaya temaram. Sebuah keheningan yang sangat luas menelimuti daratan itu. Daratan itu sendiri merupakan sebuah kesunyian, tanpa kehidupan, tanpa gerakan, begitu sepi dan dingin, bahkan jiwa si daratan itu sendiri tidak diliputi kesedihan. Ada tawa yang samar, tetapi tawa ini lebih menakutkan daripada bentuk kesedihan manapun – sebuah tawa yang tidak mengandung keriangan, seperti senyuman Sphinx, sebuah tawa yang dingin seperti salju, dan bagian yang tidak tereelakkan dari kesuraman. Daratan itu merupakan kebijakan abadi yang sangat berkuasa dan terlepas, yang menertawakan kesia-siaan hidup dan upaya kehidupan. Daratan itu adalah si Liar, tanah Utara yang ganas dan berhati beku.

Jack London, White Fang

Di batas utara Alaska Range, sebelum tubuh kukuh Gunung McKinley dan puncak-puncak kecil di seputarnya beubah menjadi daratan rendah Kantishna, sebaris perbukitan landai yang dikenal dengan nama Outer Range menyebar di atas hamparan tanah datar tersebut seperti selimut kusut di atas tempat tidur yang belum dirapikan. Di atara dua tebing paling kasar dan paling curam yang terletak di sisi paling luar wilayah Outer Range terdapat sebuah palung sepanjang kurang lebih 8.000 m yang membujur ke arah timur dan barat. Dasar palung itu tertutup oleh rawa-rawa, semak pohon alder, dan urat-urat cemara yang kering kerontang. Berkelok-kelok di tengah daratan yang rumit inilah letak Stampede Trail, rute yang ditempuh Chris McCandless saat memasuki alam liar.

Jalan tanah tersebut dibuka pada 1930-an oleh seorang penambang legendaries dari Alaska bernama Eral Pilgrim; jalan itu melewati sebuah wilayah pertambangan bijih besi yang hak penambangannya dimiliki Earl Pilgrim di Sungai Stampede, di atas Clearwater Fork, anak Sungai Toklat. Pada 1961, sebuah perusahaan Fairbanks, Yutan Construction, memenangi kontrak dari negara bagian yang baru, yaitu Alaska (yang baru saja diakui sebagai negara bagian dua tahun sebelumnya) untuk meningkatkan jalan tanah tersebut menjadi jalan yang bisa dilalui truk pengangkut hasil tambang sepanjang tahun. Sebagai rumah para pekerja selama pembangunan jalan berlangsung, Yutan membeli tiga buah bus bekas yang masing-masing dilengkapi dengan beberapa tempat tidur dan sebuah kompor sederhana dan menyeret ketiga bus itu ke tengah alam liar dengan menggunakan traktor jenis D-9.

Proyek itu terhenti pada 1963: ruas jalan sepanjang 80 km berhasil dibangun, tetapi tidak ada satu jembatan pun yang dibangun di atas aliran sungai yang memotong jalan tersebut. Tidak lama kemudian, rute tersebut dianggap tidak bisa dilalui karena cairan salju bawah permukaan dan banjir musiman. Yutan menarik kembali dua dari ketiga bus itu kembali ke jalan raya. Bus ketiga ditinggalkan di tengah jalan tanah untuk menjadi tempat berlindung bagi para pemburu dan penjerat binatang. Selama tiga dekade setelah pembangunan jalan itu berakhir, hampir seluruh badan jalan rusak karena erosi, tertutup semak belukar dan kubangan berang-berang, tetapi bus itu masih berdiri di tempatnya.

Reruntuhan bus buatan International Harvester keluaran tahun 1940-an itu ditemukan 40 km di barat Healy sebagai rumah burung gagak hitam, berkarat di tengah semak belukar di samping Stampede Trail, tepat di tepi Hutan Suaka Alam Nasional Denali. Mesinnya sudah hilang. Beberapa jendelanya sudah pecah-pecah atau hilang dan pecahan botol-botol wiski mengotori lantainya. Catnya yang berwarna hijau-putih sudah hampir pupus dimakan karat. Dari huruf-hurufnya yang berkarat dapat dibaca bahwa bus tua itu dahulunya merupakan bagian dari Sistem Transit Antarkota Fairbanks No. 142. Akhir-akhir ini, bukan hal yang aneh jika bus itu tidak dikunjungi manusia selama enam atau tujuh bulan, tetapi pada awal September 1992, enam orang dari tiga kelompok yang terpisah secara kebetulan datang ke lokasi terpencil tempat bus itu berada, pada sore yang sama.

Pada 1980, wilayah Hutan Suaka Alam Nasional Denali diperluas sehingga mencakup Perbukitan Kantishna dan wilayah pengunungan paling utara Outer Range, tetapi sepetak tanah dataran rendah yang berada di tengah wilayah hutan nasional yang baru itu tidak termausk ke dalamnya: sepetak tanah sempit dan memanjang yang dikenal sebagai Kotapraja Wolf yang arealnya meliputi setengah bagian pertama wilayah Stampede Trail. Karena wilayah seluas sebelas ribu kali empat puluh tiga ribu meter ini di tiga sisi diapit oleh wilayah hutan nasional yang dilindungi, tempat tersebut banyak dihuni oleh serigala, beruang, keribu, rusa besar, dan binnatang-binatang lain. Tempat rahasia ini dijaga oleh para pemburu dan penjerat binatang local yang menyadari adanya anomali tersebut. Begitu musim berburu rusa besar dimulai pada musim gugur, sejumlah pemburu secara khusus akan dating ke lokasi bus tua di tepi Sungai Sushana itu, di tebu barat jalan tanah yang tidak termasuk wilayah hutan nasional, kira-kira 3 km dari batas wilayah hutan nasional.

Ken Thompson, pemilik sebuah bengkel di anchorage, Gordon Samel, pegawainya dan teman mereka Ferdie Swanson, seorang pekerja bangunan, bergerak menuju bus tersebut pada 6 September 1992 untuk berburu rusa besar. Tempat itu tidak mudah dijangkau. Kira-kira 16 km dari ujung ruas Stampede Trail yang sudah diperbaiki, jalan tanah itu memotong Sungai Teklanika, sebuah sungat yang sangat deras dan dingin, air sungai itu tampak bening karena mengandung butiran-butiran es. Jalan tanah itu menuju ke tepi sungai tepat di atas sebuah ngarai yang sempit, ngarai tempat arus Sungai Teklanika berubah menjadi putaran air yang deras dan berwarna putih. Karena enggan mengarungi sungai yang sangat deras dan berwarna putih susu ini, banyak orang mengurungkan niat mereka untuk maju lebih jauh.

Namun, Thomson, Samel, dan Swanson merupakan penduduk Alaska yang keras kepala dengan kegemaran khusus mengendarai mobil ke tempat-tempat yang tidak dirancang untuk dilalui kendaraan bermotor. Setibanya di Sungai Teklanika, mereka menelusuri tepi sungai sampai tiba di bagian sungai yang lebar dan relatif dangkal, kemudian mengemudikan kendaraan mereka menerjang arus deras.

“Aku yang turun pertama kali,” kata Thompson. “Lebar sungai itu kurang lebih dua puluh tiga meter dan benar-benar deras. Aku mengendarai sebuah Dodge four wheel drive buatan tahun 1982 yang sudah ditinggikan dan memiliki empat buah roda, setiap roda berukuran 71 cm dan air sungai naik hingga ke kap mobil. Pada satu titik aku sempat berpikir bahwa aku tidak akan mampu menyeberangi sungai itu. Mobil Gordon dilengkapi sebuah kerekan berkekuatan empat ribu kilogram dan dipasang di bagian depan mobil; aku mengatur agar Gordon berada tepat di belakangku supaya bisa menarikku jika tiba-tiba hilang dari pandangan.”

Thompson tiba di seberang sungai tanpa insiden apapun, diikuti oleh Samel dan Swanson dengan mobil bak terbuka mereka. Di bak belakang dua dari tiga mobil tersebut ada kendaraan kecil yang dirancang untuk menempuh segala bentuk medan: sebuah kendraan roda tiga dan roda empat. Mereka memarkir mobil di tepi sungai yang tertutup kerikil. Menurunkan ATV (all terrain vehicle, kendaraan kecil beroda tiga atau empat yang dapat digunakan di kondisi tanah yang ekstrem – peny.), dan melanjutkan perjalan menuju tempat bus itu dengan mengendarai ATV yang lebih kecil dan lebih mudah dikendalikan.

22 October 2006

INTO THIN AIR - Kisah Tragis Pendaki Everest (Part 6 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*bersambung*)


Tiga hari kemudian, berita tentang keberhasilan mereka sampai di telinga Ratu Elizabeth, tepat satu hari sebelum penobatan dirinya, dan koran Times di London menyiarkan berita tersebut pada 2 Juni dalam edisi awal. Berita tersebut dikirim secara rahasia dari Everest melalui pesan radio (agar pesaing Times tidak menyabot berita pertama mereka) oleh seorang wartawan muda bernama James Morris; dua puluh tahun kemudian, setelah menjadi penulis ternama, James Morris melakukan operasi kelamin menjadi wanita dan mengubah nama depannya menjadi Jan. Empat dekade setelah penaklukan yang bersejarah itu, Morris menulis: Penobatan Everest: Penaklukan Pertama dan Berita yang Menobatkan sang Ratu,

Sulit dibayangkan sekarang ini, bagaimana dua peristiwa yang terjadi hampir secara serempak tersebut (penobatan sang Ratu dan penaklukan Everest) disambut dengan kegembiraan yang magis di Negara Inggris. Setelah lepas dari masa-masa suram yang menyelimuti mereka sejak Perang dunia II, surutnya kebesaran Kerajaa Inggris dan berkurangnya pengaruh mereka di muka bumi, orang-orang Inggris hampir percaya bahwa dinobatkannya sang Ratu yang muda belia merupakan isyarat bagi dimulainya era baru – era Elizabeth, demikian koran-koran menyebutnya. Hari penobatan, pada 2 Juni 1953, adalah hari yang melambangkan harapan dan kegembiraan. Pada hari itu semua patriot pendukung Inggris tiba pada satu momentum yang paling istimewa, keajaiban di atas semua yang ajaib, karena pada hari itu sebuah kabar datang dari tempat yang jauh – dari garis depan Kerajan Inggris lama – bahwa sebuah tim pendaki bangsa Inggris… berhasil menaklukan objek penjelajahan dan petualangan tertinggi di muka bumi, puncak dunia…

Peristiwa tersebut memicu munculnya berbagai emosi di dalam hati rakyat Inggris – kebanggaan, patriotisme, nostalgia tentang kekalahan mereka dalam perang masa lalu, dan tentang tindakan-tindakan mereka yang gagah berani pada zaman lampau, serta harapan akan masa depan yang lebih baik… Sampai saat ini, orang-orang usia tertentu masih mengingat dengan jelas, ketika mereka – sambil berdiri di bawah siraman hujan rintik-rintik untuk menunggu iring-iringan prosesi penobatan melewati Kota London – mendengar kabar mengejutkan bahwa puncak dunia, boleh dikatakan, sudah menjadi milik mereka.

Tenzing menjadi pahlawan nasional di seluruh dunia, Nepal dan Tibet, masing-masing negara tersebut mengakui Tenzing sebagai warganya. Setelah mendapat gelar bangsawan dari Ratu Elizabeth, Sir Edmud Hillary menyaksikan wajahnya muncul dalam perangko, komik, buku-buku, novel, dan sampul majalah – dalam waktu semalam, pria berwajah tirus, peternak lebah dari Kota Auckland ini berubah menjadi pria paling terkenal di muka bumi.

Pelaklukan Everest oleh Hillary dan Tenzing terjadi sebelum aku dilahirkan, jadi aku tidak merasakan kebanggaan dan kekaguman yang melanda dunia – sebuah peristiwa yang menurut teman-temanku yang lebih tua, bisa disejajarkan dengan pendaratan pertama manusia di bulan. Namun satu dekade kemudian, ditaklukannya Everest untuk kedua kalinya, membantu memantapkan arah hidupku.

Pada 22 Mei 1963, Tom Hornbein, tiga puluh dua tahun, seorang dokter dari Missouri, dan Willi Unsoeld, tiga puluh enam tahun, seorang professor teologi dari Oregon, tiba di Puncak Everest melalui Lereng Barat yang sulit dan belum pernah didaki. Sampai saat itu, Puncak Everest sudah empat kali ditaklukkan oleh sebelas pendaki, tetapi Lereng Barat dianggap sebagai rute lain yang kerap dilalui: Jalur Selatan dan lereng Tenggara atau Jalur Utara dan Lereng Timur Laut. Pendakian yang dilakukan Hornbein dan Unsoeld – merupakan, dan masih dianggap, sebagai prestasi terbesar dalam dunia pendakian gunung.

Menjelang sore, dalam perjalanan menuju puncak, kedua warga Amerika tersebut dihadapkan pada sebuah alur batuan yang terjadl dan rapuh – Jalur Kuning (the Yellow Band) yang berbahaya. Mendaki lintasan ini membutuhkan kekuatan dan keahlian tinggi; tidak ada jalur pendakian yang secara teknik lebih menantang dan lebih tinggi letaknya daripada jalur ini. Setibanya di puncak Jalur Kuning, Hornbein dan Unsoeld meragukan kemampuan mereka untuk bisa turun melalui jalur yang sama. Satu-satunya harapan agar mereka bisa turun dari gunung dalam keadaan hidup, demikian keputusan mereka, adalah bergerak terus sampai puncak dan kemudan turun melalui Lereng Tenggara, rute yang kerap dilalui. Rencana yang sangat berani, mengingat hari sudah menjelang sore, medan yang belum mereka kenal, dan persediaan oksigen yang menipis dengan cepat.

Hornbein dan Unsoeld tiba di Puncak Everest pada pukul 18.15, tepat pada saat matahari terbenam, dan dipaksa menghabiskan malam di bawah udara terbuka pada ketinggian lebih dari 28.000 kaki – perkemahan tertinggi sampai saat itu. Udara malam sangat dingin, untungnya tidak berangin. Meskipun jari-jari kaki Unsoeld membeku dan kemudian harus dipotong, keduanya selamat untuk menceritakan pengalaman mereka.

Saat itu usiaku baru sembilan tahun dan tinggal di Corvallis, Oregon, kota yang sama dengan tempat Unsoeld tinggal. Dia teman baik ayahku, dan aku kerap bermain dengan anak-anak Unsoeld yang tertua – Regon, yang usianya setahun lebih tua dariku, dan Devi, setahun lebih muda dariku. Beberapa bulan sebelum Willi Unsoeld berangkat ke Nepal, aku menaklukkan puncak gunungku yang pertama – sebuah gunung dengan ketinggain 9.000 kaki dan terletak di Cascade Range, sebuah puncak yang saat itu bisa dicapai dengan menggunakan kereta gantung – ditemani Ayah, Willi, dan Regon. Tidak mengherankan jika peristiwa penaklukan Everest 1962 bergema kuat dan lama di dalam imajinasi praremajaku. Ketika teman-temanku mengidolakan John Glenn, Sandy Koufax, dan Johnny Unitas, maka Hornbein dan Unoseld merupakan pahlawan pujaanku.

Dian-diam aku bermimpi, aku akan mendaki Everest suatu hari nanti; selama lebih dari satu dekake, impian itu menjadi ambisiku yang tidak pernah padam. Di awal usia dua puluhan, mendaki sudah menjadi pusat kehidupanku sehingga aku hampir-hampir mengabaikan semua hal yang lain. Menaklukkan puncak gunung merupakan sesuatu yang nyata, permanen, dan konkret. Bahaya yang menyertainya menjadikan kegiatan ini sesuatu yang sungguh-sungguh, kesungguhan yang tidak kumiliki dalam bagian kehidupanku yang lain. Aku bergairah oleh pemikiran-pemikiran baru yang muncul setiap kali aku berhasil menaklukan sebuah bidang yang vertikal.

Mendaki juga mampu mencipakan perasaan memiliki. Menjadi seorang pendaki berarti bergabung dengan kelompok masyarakat mandiri yang sangat idealis, kelompok yang kerap diabaikan, tetapi secara mengejutkan, tidak tercemar oleh dunia secara keseluruhan. Mendaki gunung adalah budaya yang ditandai dengan persaingan, sangat maskulin, dan yang terpenting, semua pendaki perusaha untuk mengesankan pendaki lain. Mencapai puncak gunung manapun dianggap kurang penting dibanding dengan cara seseorang mencapainya: seorang pendaki akan merasa bangga jika dia berhasil mencapai puncak melewati rute paling sulit dengan perlengkapan minimal, dan dengan keberanian yang sulit dibayangkan. Tidak ada pendaki yang lebih dikagumi selain dari para pendaki solo: para pemimpi yang mendaki sendirian, tanpa tali atau perlengkapan.

INTO THIN AIR - Kisah Tragis Pendaki Everest (Part 5 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*bersambung*)


Para pendaki Everest yang pertama dipaksa menempuh rute yang sangat sulit, sepanjang 400 mil dari Kota Darjeeling melintasi dataran Tibet hanya untuk bisa mencapai kaki gunung. Pengetahuan mereka tentang dampak mematikan dari ketinggian yang ekstrem pun masih sangat kurang, begitu pula peralatan mereka yang sangat tidak memadai menurut standar peralatan modern. Namun pada 1924, seorang anggota tim ekspedisi ketiga dari Inggris, Edward Felix Norton, berhasil mencapai ketinggian 28.126 kaki – hanya 900 kaki dari puncak – sebelum akhirnya menyerah karena kelelahan dan dibutakan oleh salju. Prestasi itu benar-benar menakjubkan, dan mungkin tak tertandingi hingga dua puluh sembilah tahun kemudian.

Kukatakan ‘mungkin’ karena adanya peristiwa lain yang terjadi empat hari setelah upaya Noerotn menaklukkan Puncak Everest. Pada 8 Juni 1924, sesaat setelah fajar menyingsing, dua anggota tim ekspedisi dari Inggris, George Leigh Mallory dan Andrew Irvine, meninggalkan perkemahan terakhir menuju puncak.

Malllory, yang namanya selalu dikaitkan dengan Everest, adalah tokokh utama di balik tiga tim pertama yang berupaya menaklukan Everest. Dalam sebuah perjalanan keliling untuk mengajar di Amerika Serikat, Mallory dengan sinis menjawab, “Karena gunung itu ada di sana,” saat seorang wartawan mendesaknya dengan pertanyaan, mengapa dia ingin menaklukkan Everest. Pada 1924, Mallory berusia tiga puluh delapan tahun, seorang kepala sekolah, menikah, dan memiliki tiga anak yang masih kecil. Anggota masyarakat Inggris kelas atas ini selain cinta keindahan juga sangat idealis dan peka terhadap hal-hal yang romantis. Tubuh atletisnya yang angiun, kepandaiannya dalam bergaul dan fisiknya yang benar-benar bagus membuat Mallory dikagumi oleh penulis biografi Lytton Strachey serta kaum intelektual Bloomsburry. Saat berada di dalam kemahnya yang jauh tinggi di lereng Everest, Mallory dan teman-teman satu timnya akan saling membacakan dengan suara keras cerita-cerita Hamlet dan King Lear.

Ketika Mallory dan Irvine bergerak perlahan ke arah Puncak Everest pada 8 Juni 1924, kabut menyelimuti bagian atas piramid, membuat rekan-rekan mereka yang berada di bawah tidak bisa memantau kemajuan pendakian kedua orang it. Pukul 12.50 siang, untuk sesaat awan-awan yang menyelimuti puncak gunung tersibak oleh angin, dan salah satu anggota tim, Noel Odell, melihat sekilas tetapi jelas, sosok Mallory dan Irvine yang bergerak jauh di lereng sekitar puncak, kurang lebih lima jam terlambat dari jadwal, tetapi ‘bergerak dengan lambat dan pasti’ menuju puncak.

Bagaimanapun, malam itu kedua pendaki tersebut tidak kembali ke tenda mereka, dan baik Mallory maupun Irvine tidak pernah terlihat lagi. Apakah salah seorang atau keduanya pernah mencapai puncak sebelum kemudian ditelan oleh gunung dan menjadi bagian dari legenda, masih diperdebatkan orang sampai sekrang. Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa mereka belum mencapai puncak. Tanpa bukti nyata, bagaimanapun, mereka tidak bisa dianggap sebagai orang pertama yang menaklukkan Everest.

Pada 1949, setelah tertutup berabad-abad, Nepal membuka perbatasannya bagi dunia liar, dan setahun kemudian, rezim baru komunis yang menguasai Cina menutup perbatasan Tibet bagi orang-orang asing. Akibatnya, para pendaki Everest mengalihkan perhatian mereka ke sisi selatan puncak Himalaya itu. Pada musim semi 1953, sebuah ekspedisi besar dari Inggris, dengan dukungan moral dan sumber daya yang sangat lengkap, menjadi tim ekspedisi ketiga yang berusaha menaklukkan Everest dari wilayah Nepal. Pada 28 Mei, setelah perjuangan berat selama dua setengah bulan, sebuah lahan perkemahan berhasil dibangun dengan menggali lereng Tenggara pada ketinggian 27.900 kaki. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Edmund Hillary, seorang warga Selandia Baru bertubuh tinggi kurus, dan Tenzing Norgay, seorang pakar pendaki dari suku Sherpa, bergerak menuju puncak dan bernapas dengan batuan oksigen botol.

Pada pukul 09.00 pagi, keduanya sudah tiba di Puncak selatan, memandang ke atas, ke jalur sempit dan terjal yang akan membawa mereka ke puncak. Sejam kemudian, mereka tiba di kaki sebuah tempa yang oleh Hillary digambarkan sebagai “rute pendakian yang tampaknya paling sulit – sebuah lereng batu yang curam setinggi empat puluh kaki… Batuan itu sendiri, yang tampak halus dan hampir-hampir tanpa tonjolan untuk berpegang, oleh sekelompok pakar pendaki di lake District mungkin dianggap sebagai objek menarik yang layak ditaklukkan dalam pendakian Minggu sore, tetapi di tempat ini, dia merupakan hambatan yang sulit diatas oleh tubuh kamu yang sudah sangat lemah.”

Dengan cemas, Tenzing terus mengulur tali dari bawah, sementara Hillary menempatkan tubuhnya di sebuah celah sempit yang terbentuk oleh sebuah dinding batu dan salju tegak lurus berbentuk sirip, dan dengan perlahan bergerak ke atas melewati sebuah jalur pendakian yang kemudian dikenal dengan nama Hillary Step. Mendaki di tempat ini benar-benar berat dan sulit, tetapi Hillary trus bertahan sampai kemudian, seperti yang ditulisnya,

Akhirnya aku tiba di puncak, menarik tubuhku keluar dari celah dan naik ke atas sebuah selasar yang cukup lebar. Sesaat aku berhentu untuk mengembalikan napas, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan munculnya tekad yang sangat kuat bahwa tidak ada yang bisa menghentikan kamu untuk mencapai puncak. Aku berdiri tegak di atas selazar itu dan memberi isyarat kepada Tenzing untuk naik. Ketika aku berjuang menarik tali itu, Tenzing berjuang untuk melewati celah tersebut sampai akhirnya dia jatuh tersungkur di hadapanku, seperti seekor ikan raksasa yang baru diangkat dari laut setelah perjuangan yang berat.

Berjuang mengalahkan rasa lelah, keduanya meneruskan pendakian melewati bagian lereng yang bergelombang di atasnya. Hillary bertanya-tanya,

Masihkan kami punya kekuatan untuk mencapai puncak. Aku membuat satu torehan lagi di balik sebuah batu yang menonjol dan mengamati bahwa punggung gunung di atasku mulai melandai sehingga kami bisa melihat jauh ke arah Negara Tibet. Aku mendongak, dan di atasku, tampak puncak bulat yang selimuti salju. Beberapa torehan kapak es, beberapa langkah yang hati-hati, maka Tenzing (secara mengejutkan) dan aku akan tiba di puncak.

Itulah yang terjadi beberapa saat menjelang sore pada 29 Mei 1953; Hillary dan Tenzing menjadi orang pertama yang berdiri di puncak Gunung Everest.

INTO THIN AIR - Kisah Tragis Pendaki Everest (Part 4 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*bersambung*)


DUA

DEHRA DUN, INDIA

1852

2.234 KAKI

Jauh dari pengunungan itu saat musim dingin, aku menemukan foto Puncak Everest yang kabur dalam buku Richard Hallibburton, Book of Marvels. Sebuah reproduksi foto yang benar-benar buruk, menunjukkan beberapa puncak yang outih dan runcing dengan latar belakang langit yang menghitam dan carut-marut, tampak aneh dan fantastis. Puncak Everest sendiri, yang berada di belakang puncak terdepan, tidak tampak seperti puncak yang paling tinggi, tetapi itu bukan masalah.Karena dia memang puncak tertinggi; legenda mengatakannya. Impian adalah kunci pembuka gambar itu, yang mengizinkan seorang anak lelaki kecil memasukinya, berdiri di lereng gunung yang diterjang embusan angin, untuk mendaki kea rah puncak, yang sekarang tidak lagi berada terlalu jauh di atas …

Ini adalah satu dari beberapa mimpi tak tertahankan yang datang dengan bebas bersama munculnya kedewasaan. Aku yakin, bahwa impianku tentang Everest bukan hanya milikku sendiri; titik tertinggi di muka bumi, yang tidak terjangkau dan asing bagi semua pengalaman, masih ada di sana, menjadi aspirasi bagi banyak anak laki-laki dan pria dewasa.

Thomas F. Hornbein

Everest : The west Ridge

Kapan tepatnya peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun tahu pasti, semua menjadi kabur kerena mitos yang terus bertambah. Yang pasti itu, terjadi pada 1852, bertempat di Kantor Pusat Trigonometri India, di wilayah perbukitan sebelah utara Stasiun Dehra Dun. Menurut cerita yang paling bisa dipercaya, seorang kerani dengan tergesa-gesa memasuki ruang kerja Sir Andrew Waugh, Gubernur Jenderal Pengurkuran untuk Wilayah India, dan melaporkan bahwa seorang ahli komputer Bengali bernama Radhanath Sikhdar, yang ditempatkan di kantor pengukuran Kalkuta, berhasil “menemukan gunung yang tertinggi di dunia.” (Pada masa Waugh, computer lebih merupakan sebuah uraian tugas ketimbang sebuah mesin). Diberi nama Puncak XV oleh para juru ukur yang mengukur kemiringan sudutnya dengan menggunakan teodolit 24 inci tiga tahun berselang, gunung yang dimaksud mencuat dari tengah rusuk Pengunungan Himalayan, di bagian wilayah Kerajaan Nepal yang tertutup bagi orang asing.

Sebelum Sikhdar mengumpulkan data pengukuran, tidak seorang pun pernah menduga bahwa Puncak XV akan menjadi sesuatu yang penting. Keenam titik pengukuran terletak di wilayah India Utara, lebih dari 100 mil jauhnya dari gunung tersebut. Bagi surveyor yang mengukurnya, semua puncak, kecuali ujung runcing dari Puncak XV, terlihat samar karena terhalang oleh tebing-tebing tinggi yang ada di latar depan, beberapa tampak lebih tinggi dari Puncak XV. Namun, berdasakan hasil perhitungan cermat Komputer Sikhdar (dengan memperhitungkan berbagai faktor termasuk lengkungan bumi, refraksi atmosfer, dan pembelokan garis tegak lurus), Puncak XV teryata berada pada ketinggian 29.002[1] kaki di atas permukaan laut, titik tertinggi di planet ini.

Pada 1865, sembilan tahun setelah perhitungan oleh Komputer Sikhdar dikonfirmasikan, Waugh mengubah nama Puncak XV menjadi Puncak Everest, untuk menghormati Sir George Everest, Gubernur Jenderal Pengukuran untuk Wilayah India sebelum dirinya. Ternyata orang-orang Tibet yang tinggal di utara gunung yang megah tersebut sudah memiliki nama yang lebih anggun, Jomolungma, yang berarti “sang dewi, ibu dunia”, dan bangsa Nepal yang tinggal di selatan gunung menamainya Sagarmatha atau “dewi langit”. Namun, Waugh dengan sengaja mengabaikan nama yang diberikan penduduk asli (meskipun secara resmi memberikan keleluasaan untuk tetap memakai nama lokal atau nama lama), sehingga Everest menjadi nama yang tetap diingat hingga kini.

Sesaat setelah Everest dinobatkan sebagai puncak tertinggi di bumi, orang-orang memutuskan bahwa Everest layak didaki. Setelah penjelajah Amerika, Robert Peary, menaklukkan Kutub Utara pada 1909 dan Roald Admundsen memimpin para penjelajah Norwegia menaklukkan Kutub Selatan pada 1911, Everest – yang dinamai Kutub Ketiga – menjadi objek yang paling menarik dalam dunia penjelajahan. Mencapai puncaknya, kata Gunther O. Dyrenfurth, seorang pendaki ternama dan pencatat sejarah pendakian Himlaya, “merupakan upaya manusia yang bersifat mendunia, sebuah sasaran yang layak diraih, apapun risiko dan kerugian yang harus dihadapi.”

Daftar kerugian, ternyata mustahil begitu saja dilupakan. Menyusul penemuan oleh Komouter Sikhdar pada 1852, diperlukan tak kurang 24 korban tewas, penjelajahan 15 tim ekspedisi, dan rentang waktu 101 tahun, sebelum akhirnya Puncak Everest berhasil ditaklukkan.

Di antara para pendaki gunung dan pakar geologi, Everest tidak dianggap sebagai gunung yang indah. Tubuhnya dianggap terlalu besar, lebar, dan kasar. Namun, keanggunan arsitektural yang tidak dimiliki Everest itu diimbangi oleh massanya yang besar dan menakjubkan.

Terletak di perbatasan Nepal dan Tibet, berdiri lebih dari 12.000 kaki di atas lembah yang berada di kaki lereng, Everest menjulang bagaikan piramid tiga sisi terbentuk dari es yang mengilat dan batu berwarna gelap yang carut marut. Delapan tim ekspedisi pertama yang mendaki Everest berasal dari Inggrisl, dan semuanya naik dari arah utara, dari wilayah Tibet – bukan karena sisi itu merupakan jalur pendakian yang paling mudah, melainkan karena pada 1921 Pemerintah Tibet membuka perbatasannya yang sudah lama tertutup bagi orang asing, sementara Kerajaan Nepal masih mengharamkan perbatasannya.


[1] Penelitian modern yang menggunakan laser dan transmisi satelit Doppler, sejenis alat ukur tercanggih, mengoreksi hasilpengukuran sebanyak 26 kaki – menjadi ketinggian yang saat ini diakui, yaitu 29.028, atau 8.848 meter.

21 October 2006

Mohon Maaf Lahir dan Batin


Segenap keluarga besar Mahitala Unpar mengucapkan :
"Selamat merayakan hari raya Idul Fitri 1426 H...mohon maaf lahir dan batin"
kepada semua anggota Mahitala Unpar, kerabat, kenalan, Pecinta Alam di seluruh Indonesia, dan penikmat setia blog Mahitala...
"maaf kalau ada salah"




Keluarga Besar Mahasiswa Parahyangan Pecinta Alam
Universitas Katolik Parahyangan Bandung
Jl. Ciumbuleuiet No 94, Bandung


20 October 2006

Bravo untuk Audy sang pengasuh blogger Mahitala yang sdh org Jakarta tea....

Wah, wah,... beberapa hari tdk berkunjung ke 'blogger', sekarang tambah cakep. Ada kisah kisah Jon Kakauer yang dramatis dgn " Into ... " yang legendaris itu Into Thin Air dan Into the Wild, terus ada Sidekick dari Bang George dan coretan singkat Broer Ambrin untuk Tim EBC 2006 - Mahitala Unpar. Catatan perjalanan itu memang tragis dan sungguh mencekam. Mengingatkan kepada kita alam tdk bisa di kuasai dan di taklukkan.

Sekarang H-6 (atau H-3), wah semakin dekat, dan mengingat itu jantung berdegub tambah keras dan cepat , saya sdh memeriksa perlengkapan yang sdh ada, membuka catatan krn selalu bertambah dgn usulan teman teman lewat millis, jangan lupa ini itu yang makin membuat 'stress', karena begitu banyak yang mau di bawa dan di akomodate, jadi akal sehat lah yang harus di pakai untuk memutuskan barang2 apa yg harus di bawa, agar trip ke EBC nanti dapat nyaman. Jangan lupa print tiket elektronik, pas foto, uang dan semangat.

Obat pribadi sangat perlu, anggap aza gangguan penyakit khas anda akan kambuh di perjalanan nanti, jadi konsultasi dgn doker anda dan mintakan obat untuk cadangan kalau nanti benar benar sakit, jadi sdh siap. Kalau ternyata sehat dan tdk pakai obat,...wah kuasa Tuhan yang bekerja...alhamdullilah...obat dpt di bagi ke org yang membutuhkan/dibawa pulang ke Indo.

Jangan lupa tensoplast, balsem untuk jaringan yang kejang sambil di urut, obat tetes mata.
Yah hanya ...mengingatkan, krn waktu sdh mepet...

Gitu deh, sampai nanti saya sambung.




Budi Hartono Purnomo

Pesan Singkat dari Ambrin Siregar


To : The Army of Mahitala Corps.

Thanks to everyone who works hard to make this
Himalayan trip to be "on the ground" - Especially for
Sani Handoko; thanks for your "Ranger lead the way"
and helps. That's great! Sincerely I appreciate that.
Wish we have the good days in the upper altitute. Also
the young Eagle of Mahitala; screaming high on the sky
of Himalayan !

Ambrin Siregar


nb : diambil dari kiriman Royke ke milis M

19 October 2006

INTO THE WILD (Part 3 - Pedalaman Alaska *end*)


Seratus enampuluh kilometer dari Fairbanks, jalan raya itu mulai mendaki memasuki kaki Alaska Range. Ketika truk yang mereka naiki meluncur melintasi jembatan di atas Sungai Nenana, Alex menatap ke bawah, ke arah aliran air yang deras, kemudian berkata bahwa dia takut pada air. “Setahun yang lalu, di wilayah Meksiko,” katanya kepada Gallien, “aku berlayar di laut dengan menggunakan kano dan aku hampir tenggelam ketika dihantam badai.”

Beberapa saat kemudian, Alex menarik peta kasar miliknya dan menunjuk pada garis merah putus-putus yang melintang di atas jalan dekat Healy, sebuah kota tambang batu bara. Garis merah itu merupakan jalan tanah yang dikenal dengan nama Stampede Trail. Karena sangat jarang dilewati, jalan tanah itu bahkan tidak tercantum dalam hampir semua peta jalan untuk wilayah Alaska. Namun, di salam peta Alex, garis putus-putus itu tampaknya berkelok-kelok ke arah barat mulai dari Jalan Raya Parks sejauh kurang lebih 64 km sebelum kemudian menghilang di tengah alam liar yang tidak memiliki jalan tanah di utara Gunung McKinley. Ke tempat itulah, kata Alex kepada Gallien, dia akan pergi.

Gallien piker bahwa rencana pemuda pencari tumpangan itu sangat bodoh dan berkali-kali dia berusaha membujuknya: “Kukatakan padanya bahwa berburu di tempat yang dia tuju bukan pekerjaan mudah, bisa berhari-hari sebelum dia mampu membunuh binatang apa pun. Ketika itu tidak berhasilm aku berusaha menakut-nakutinya dengan cerita-cerita tentang seekor beruang kelabu, hanya membuatnya berang. Sepertinya, Alex tidak tampak cemas. ‘aku akan memanjat pohon,’ hanya itu yang dia katakan. Kemudian, aku menjelaskan bahwa pohon-pohon di wilayah ini tidak cukup besar dan seekor beruang bisa dengan mudah mematahkan batangnya. Namun, dia sama sekali tidak mau menyerah. Dia punya jawaban untuk setiap argument yang kuajukan.”

Gallien menawarkan untuk mengantarkan Alex sampai Anchorage, membelikan peralatan yang layak, dan mengantarkan kembali ke tempat yang dia inginkan.

“Tidak, tetapi terima kasih,” jawab Alex. “Aku akan baik-baik saja dengan semua yang kumiliki.”

Gallien bertanya apakah dia punya izin berburu.

“Sama sekali tidak,” kata Alex mendengus. “Bagaimana aku menghidupi diriku sendiri sama sekali bukan urusan pemerintah. Persetan dengan aturan-aturan konyol mereka.”

Ketika Gallien bertanya apakah orangtua atau salah satu temannya tahu hal yang akan dia lakukan – apakah ada orang yang akan cemas jika menghadapi masalah dan terlambat pulang – dengan tenang Alex menjawab bahwa sudah dua tahun dia tidak pernah berhubungan dengan keluarganya. “Aku benar-benar yakin.” Katanya menenangkan Gallien. “Aku tidak akan berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa kuatasi.”

“Tak ada satu pun yang bisa mencegah niat pemuda itu,” kenang Gallien. “Tekadnya sudah bulat. Dia sangat antusias. Kata yang muncul di benaknya adalah menggebu-gebu. Dia tidak sabar untuk pergi ke tempat itu dan memulainya.”

Tiga jam setelah meninggalkan Fairbanks, Gallien keluar dari jalan raya dan membelokkan kendaraan four wheel drive (mobil dengan penggerak empat roda, cocok untuk berkendara di alam bebas – peny.) tuanya melewati sebuah jalan kecil yang tetutup salju. Beberapa kilometer pertama, Stampede Trail masih cukup mulus dan melewati beberapa gubuk yang tersebar ditengah barisan pohon sejenis cemara dan aspen. Namun, setelah gubuk-gubuk kayu itu terlewati, jalan mulai rusak. Terkikis oleh air dan dipenuhi oleh ilalang, jalan itu berubah menjadi jalan tanah yang tidak terpelihara.

Selama musim panas, jalan di tempat ini akan cukup rumit, tetapi masih bisa dilewati; sekarang, jalanan ini benar-benar tidak bisa dilalui karena tertutup Lumpur salju musim gugur setinggi setengah meter. Enam belas kilometer dari jalan raya Gallien yang merasa cemas mobilnya akan terperosok jika terus mengemudi, menghentikan mobilnya di puncak sebuah tanjakan yang landai. Puncak es gunung-gunung yang paling tinggi di wilayah pengunungan di amerika Utara ini tampak mengilat di ufuk barat daya.

Alex bersikeras memberikan kepada Gallien jam tangan, sisir, dan semua uang kontan yang menurutnya dia miliki: uang receh sebanyak delapan puluh lima sen. “Aku tidak menginginkan uangmu,” protes Gallien, “dan aku sudah punya sebuah jam tangan.”

“Jika kamu tidak menerimanya,aku juga pasti membuangnya,: balas Alex dengan nada ringan. “Aku tidak ingin tahu jam berapa sekarang. Aku tidak ingin tahu hari apa sekarang atau dimana aku saat ini. Semua itu sama sekali tidak berarti.”

Sebelum Alex meninggalkan mobilnya, Gallien memasukkan tangannya ke balik tempat duduk dan menarik sepasang sepatu bot kerja yang terbuat dari karet dan membujuk pemuda itu untuk menerimanya. “Sepatu itu terlalu besar untuknya,” kenang Gallien. “Tetapi, aku berkata, ‘Pakai saja dua pasang kaus kaki dan kakimu harus cukup hangat dan kering.’”

“Berapa utangku padamu ?”

“Jangan cemaskan hal itu,” jawab Gallien. Kemudian, dia menyodorkan secarik kertas kecil bertuliskan nomor telepon yang dengan hati-hati dimasukkan oleh Alex kedalam dompet nilonnya.

“Jika kamu berhasil keluar hidup-hidup, telepon aku dan aku akan katakan cara mengembalikan sepatu itu kepadaku.”

Istri Gallien menyiapkan dua tangkup roti baker berisi keju dan ikan tuna serta sekantong keripik ketang sebagai bekal makan siang; Gallien juga membujuk pemuda pencari tumpangan itu untuk menerima makanan tersebut. Alex mengeluarkan sebuah kamera dari ransel punggungnya dan meminta Gallien membuat foto dirinya yang sedang memanggul senapannya di ujung jalan tanah itu. Kemudian sambil tersenyum lebar, dia menghilang memasuki jalan tanah yang tertutup salju itu. Hari itu Selasa, 28 April 1992.

Gallien membalikkan mobilnya, berjalan menuju Jalan Raya George Parks, dan melanjutkan perjalanan ke Anchorage. Beberapa kilometer setelah masuk ke jalan raya, dia tiba di sebuah kota kecil bernama Healy, di tempat itu Polisi Patroli Negara Bagian Alaska mendirikan pos. Untuk sesaat, Gallien berpikir untuk berhenti dan bercerita tentang Alex kepada pihak berwewenang, kemudian dia mengurungkan niatnya. “Kurasa dia akan baik-baik saja,” katanya menjelaskan. “Kupikir, sebentar saja dia akan kelaparan dan keluar menuju jalan besar. Itulah yang akan dilakukan oleh orang-orang normal.”