22 October 2006

INTO THIN AIR - Kisah Tragis Pendaki Everest (Part 4 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*bersambung*)


DUA

DEHRA DUN, INDIA

1852

2.234 KAKI

Jauh dari pengunungan itu saat musim dingin, aku menemukan foto Puncak Everest yang kabur dalam buku Richard Hallibburton, Book of Marvels. Sebuah reproduksi foto yang benar-benar buruk, menunjukkan beberapa puncak yang outih dan runcing dengan latar belakang langit yang menghitam dan carut-marut, tampak aneh dan fantastis. Puncak Everest sendiri, yang berada di belakang puncak terdepan, tidak tampak seperti puncak yang paling tinggi, tetapi itu bukan masalah.Karena dia memang puncak tertinggi; legenda mengatakannya. Impian adalah kunci pembuka gambar itu, yang mengizinkan seorang anak lelaki kecil memasukinya, berdiri di lereng gunung yang diterjang embusan angin, untuk mendaki kea rah puncak, yang sekarang tidak lagi berada terlalu jauh di atas …

Ini adalah satu dari beberapa mimpi tak tertahankan yang datang dengan bebas bersama munculnya kedewasaan. Aku yakin, bahwa impianku tentang Everest bukan hanya milikku sendiri; titik tertinggi di muka bumi, yang tidak terjangkau dan asing bagi semua pengalaman, masih ada di sana, menjadi aspirasi bagi banyak anak laki-laki dan pria dewasa.

Thomas F. Hornbein

Everest : The west Ridge

Kapan tepatnya peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun tahu pasti, semua menjadi kabur kerena mitos yang terus bertambah. Yang pasti itu, terjadi pada 1852, bertempat di Kantor Pusat Trigonometri India, di wilayah perbukitan sebelah utara Stasiun Dehra Dun. Menurut cerita yang paling bisa dipercaya, seorang kerani dengan tergesa-gesa memasuki ruang kerja Sir Andrew Waugh, Gubernur Jenderal Pengurkuran untuk Wilayah India, dan melaporkan bahwa seorang ahli komputer Bengali bernama Radhanath Sikhdar, yang ditempatkan di kantor pengukuran Kalkuta, berhasil “menemukan gunung yang tertinggi di dunia.” (Pada masa Waugh, computer lebih merupakan sebuah uraian tugas ketimbang sebuah mesin). Diberi nama Puncak XV oleh para juru ukur yang mengukur kemiringan sudutnya dengan menggunakan teodolit 24 inci tiga tahun berselang, gunung yang dimaksud mencuat dari tengah rusuk Pengunungan Himalayan, di bagian wilayah Kerajaan Nepal yang tertutup bagi orang asing.

Sebelum Sikhdar mengumpulkan data pengukuran, tidak seorang pun pernah menduga bahwa Puncak XV akan menjadi sesuatu yang penting. Keenam titik pengukuran terletak di wilayah India Utara, lebih dari 100 mil jauhnya dari gunung tersebut. Bagi surveyor yang mengukurnya, semua puncak, kecuali ujung runcing dari Puncak XV, terlihat samar karena terhalang oleh tebing-tebing tinggi yang ada di latar depan, beberapa tampak lebih tinggi dari Puncak XV. Namun, berdasakan hasil perhitungan cermat Komputer Sikhdar (dengan memperhitungkan berbagai faktor termasuk lengkungan bumi, refraksi atmosfer, dan pembelokan garis tegak lurus), Puncak XV teryata berada pada ketinggian 29.002[1] kaki di atas permukaan laut, titik tertinggi di planet ini.

Pada 1865, sembilan tahun setelah perhitungan oleh Komputer Sikhdar dikonfirmasikan, Waugh mengubah nama Puncak XV menjadi Puncak Everest, untuk menghormati Sir George Everest, Gubernur Jenderal Pengukuran untuk Wilayah India sebelum dirinya. Ternyata orang-orang Tibet yang tinggal di utara gunung yang megah tersebut sudah memiliki nama yang lebih anggun, Jomolungma, yang berarti “sang dewi, ibu dunia”, dan bangsa Nepal yang tinggal di selatan gunung menamainya Sagarmatha atau “dewi langit”. Namun, Waugh dengan sengaja mengabaikan nama yang diberikan penduduk asli (meskipun secara resmi memberikan keleluasaan untuk tetap memakai nama lokal atau nama lama), sehingga Everest menjadi nama yang tetap diingat hingga kini.

Sesaat setelah Everest dinobatkan sebagai puncak tertinggi di bumi, orang-orang memutuskan bahwa Everest layak didaki. Setelah penjelajah Amerika, Robert Peary, menaklukkan Kutub Utara pada 1909 dan Roald Admundsen memimpin para penjelajah Norwegia menaklukkan Kutub Selatan pada 1911, Everest – yang dinamai Kutub Ketiga – menjadi objek yang paling menarik dalam dunia penjelajahan. Mencapai puncaknya, kata Gunther O. Dyrenfurth, seorang pendaki ternama dan pencatat sejarah pendakian Himlaya, “merupakan upaya manusia yang bersifat mendunia, sebuah sasaran yang layak diraih, apapun risiko dan kerugian yang harus dihadapi.”

Daftar kerugian, ternyata mustahil begitu saja dilupakan. Menyusul penemuan oleh Komouter Sikhdar pada 1852, diperlukan tak kurang 24 korban tewas, penjelajahan 15 tim ekspedisi, dan rentang waktu 101 tahun, sebelum akhirnya Puncak Everest berhasil ditaklukkan.

Di antara para pendaki gunung dan pakar geologi, Everest tidak dianggap sebagai gunung yang indah. Tubuhnya dianggap terlalu besar, lebar, dan kasar. Namun, keanggunan arsitektural yang tidak dimiliki Everest itu diimbangi oleh massanya yang besar dan menakjubkan.

Terletak di perbatasan Nepal dan Tibet, berdiri lebih dari 12.000 kaki di atas lembah yang berada di kaki lereng, Everest menjulang bagaikan piramid tiga sisi terbentuk dari es yang mengilat dan batu berwarna gelap yang carut marut. Delapan tim ekspedisi pertama yang mendaki Everest berasal dari Inggrisl, dan semuanya naik dari arah utara, dari wilayah Tibet – bukan karena sisi itu merupakan jalur pendakian yang paling mudah, melainkan karena pada 1921 Pemerintah Tibet membuka perbatasannya yang sudah lama tertutup bagi orang asing, sementara Kerajaan Nepal masih mengharamkan perbatasannya.


[1] Penelitian modern yang menggunakan laser dan transmisi satelit Doppler, sejenis alat ukur tercanggih, mengoreksi hasilpengukuran sebanyak 26 kaki – menjadi ketinggian yang saat ini diakui, yaitu 29.028, atau 8.848 meter.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home