19 October 2006

INTO THE WILD (Part 3 - Pedalaman Alaska *end*)


Seratus enampuluh kilometer dari Fairbanks, jalan raya itu mulai mendaki memasuki kaki Alaska Range. Ketika truk yang mereka naiki meluncur melintasi jembatan di atas Sungai Nenana, Alex menatap ke bawah, ke arah aliran air yang deras, kemudian berkata bahwa dia takut pada air. “Setahun yang lalu, di wilayah Meksiko,” katanya kepada Gallien, “aku berlayar di laut dengan menggunakan kano dan aku hampir tenggelam ketika dihantam badai.”

Beberapa saat kemudian, Alex menarik peta kasar miliknya dan menunjuk pada garis merah putus-putus yang melintang di atas jalan dekat Healy, sebuah kota tambang batu bara. Garis merah itu merupakan jalan tanah yang dikenal dengan nama Stampede Trail. Karena sangat jarang dilewati, jalan tanah itu bahkan tidak tercantum dalam hampir semua peta jalan untuk wilayah Alaska. Namun, di salam peta Alex, garis putus-putus itu tampaknya berkelok-kelok ke arah barat mulai dari Jalan Raya Parks sejauh kurang lebih 64 km sebelum kemudian menghilang di tengah alam liar yang tidak memiliki jalan tanah di utara Gunung McKinley. Ke tempat itulah, kata Alex kepada Gallien, dia akan pergi.

Gallien piker bahwa rencana pemuda pencari tumpangan itu sangat bodoh dan berkali-kali dia berusaha membujuknya: “Kukatakan padanya bahwa berburu di tempat yang dia tuju bukan pekerjaan mudah, bisa berhari-hari sebelum dia mampu membunuh binatang apa pun. Ketika itu tidak berhasilm aku berusaha menakut-nakutinya dengan cerita-cerita tentang seekor beruang kelabu, hanya membuatnya berang. Sepertinya, Alex tidak tampak cemas. ‘aku akan memanjat pohon,’ hanya itu yang dia katakan. Kemudian, aku menjelaskan bahwa pohon-pohon di wilayah ini tidak cukup besar dan seekor beruang bisa dengan mudah mematahkan batangnya. Namun, dia sama sekali tidak mau menyerah. Dia punya jawaban untuk setiap argument yang kuajukan.”

Gallien menawarkan untuk mengantarkan Alex sampai Anchorage, membelikan peralatan yang layak, dan mengantarkan kembali ke tempat yang dia inginkan.

“Tidak, tetapi terima kasih,” jawab Alex. “Aku akan baik-baik saja dengan semua yang kumiliki.”

Gallien bertanya apakah dia punya izin berburu.

“Sama sekali tidak,” kata Alex mendengus. “Bagaimana aku menghidupi diriku sendiri sama sekali bukan urusan pemerintah. Persetan dengan aturan-aturan konyol mereka.”

Ketika Gallien bertanya apakah orangtua atau salah satu temannya tahu hal yang akan dia lakukan – apakah ada orang yang akan cemas jika menghadapi masalah dan terlambat pulang – dengan tenang Alex menjawab bahwa sudah dua tahun dia tidak pernah berhubungan dengan keluarganya. “Aku benar-benar yakin.” Katanya menenangkan Gallien. “Aku tidak akan berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa kuatasi.”

“Tak ada satu pun yang bisa mencegah niat pemuda itu,” kenang Gallien. “Tekadnya sudah bulat. Dia sangat antusias. Kata yang muncul di benaknya adalah menggebu-gebu. Dia tidak sabar untuk pergi ke tempat itu dan memulainya.”

Tiga jam setelah meninggalkan Fairbanks, Gallien keluar dari jalan raya dan membelokkan kendaraan four wheel drive (mobil dengan penggerak empat roda, cocok untuk berkendara di alam bebas – peny.) tuanya melewati sebuah jalan kecil yang tetutup salju. Beberapa kilometer pertama, Stampede Trail masih cukup mulus dan melewati beberapa gubuk yang tersebar ditengah barisan pohon sejenis cemara dan aspen. Namun, setelah gubuk-gubuk kayu itu terlewati, jalan mulai rusak. Terkikis oleh air dan dipenuhi oleh ilalang, jalan itu berubah menjadi jalan tanah yang tidak terpelihara.

Selama musim panas, jalan di tempat ini akan cukup rumit, tetapi masih bisa dilewati; sekarang, jalanan ini benar-benar tidak bisa dilalui karena tertutup Lumpur salju musim gugur setinggi setengah meter. Enam belas kilometer dari jalan raya Gallien yang merasa cemas mobilnya akan terperosok jika terus mengemudi, menghentikan mobilnya di puncak sebuah tanjakan yang landai. Puncak es gunung-gunung yang paling tinggi di wilayah pengunungan di amerika Utara ini tampak mengilat di ufuk barat daya.

Alex bersikeras memberikan kepada Gallien jam tangan, sisir, dan semua uang kontan yang menurutnya dia miliki: uang receh sebanyak delapan puluh lima sen. “Aku tidak menginginkan uangmu,” protes Gallien, “dan aku sudah punya sebuah jam tangan.”

“Jika kamu tidak menerimanya,aku juga pasti membuangnya,: balas Alex dengan nada ringan. “Aku tidak ingin tahu jam berapa sekarang. Aku tidak ingin tahu hari apa sekarang atau dimana aku saat ini. Semua itu sama sekali tidak berarti.”

Sebelum Alex meninggalkan mobilnya, Gallien memasukkan tangannya ke balik tempat duduk dan menarik sepasang sepatu bot kerja yang terbuat dari karet dan membujuk pemuda itu untuk menerimanya. “Sepatu itu terlalu besar untuknya,” kenang Gallien. “Tetapi, aku berkata, ‘Pakai saja dua pasang kaus kaki dan kakimu harus cukup hangat dan kering.’”

“Berapa utangku padamu ?”

“Jangan cemaskan hal itu,” jawab Gallien. Kemudian, dia menyodorkan secarik kertas kecil bertuliskan nomor telepon yang dengan hati-hati dimasukkan oleh Alex kedalam dompet nilonnya.

“Jika kamu berhasil keluar hidup-hidup, telepon aku dan aku akan katakan cara mengembalikan sepatu itu kepadaku.”

Istri Gallien menyiapkan dua tangkup roti baker berisi keju dan ikan tuna serta sekantong keripik ketang sebagai bekal makan siang; Gallien juga membujuk pemuda pencari tumpangan itu untuk menerima makanan tersebut. Alex mengeluarkan sebuah kamera dari ransel punggungnya dan meminta Gallien membuat foto dirinya yang sedang memanggul senapannya di ujung jalan tanah itu. Kemudian sambil tersenyum lebar, dia menghilang memasuki jalan tanah yang tertutup salju itu. Hari itu Selasa, 28 April 1992.

Gallien membalikkan mobilnya, berjalan menuju Jalan Raya George Parks, dan melanjutkan perjalanan ke Anchorage. Beberapa kilometer setelah masuk ke jalan raya, dia tiba di sebuah kota kecil bernama Healy, di tempat itu Polisi Patroli Negara Bagian Alaska mendirikan pos. Untuk sesaat, Gallien berpikir untuk berhenti dan bercerita tentang Alex kepada pihak berwewenang, kemudian dia mengurungkan niatnya. “Kurasa dia akan baik-baik saja,” katanya menjelaskan. “Kupikir, sebentar saja dia akan kelaparan dan keluar menuju jalan besar. Itulah yang akan dilakukan oleh orang-orang normal.”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home