18 October 2006

INTO THIN AIR - Kisah Tragis Pendaki Everest (Part 1 - Pendahuluan)


PENDAHULUAN


Maret 1996, majalah Outside mengirimku ke Nepal untuk berpartisipasi dalam, menulis tentang, pendakian di Gunung Everest yang dipandu. Aku berangkat sebagai salah seorang dari delapan peserta dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh seorang pemandu terkemuka dari Selandia Baru bernama Rob Hall. Pada 10 Mei, aku tiba di puncak gunung, tetapi keberhasilan mencapai puncak Everest harus dibayar dengan sangat mahal.
Dari lima rekan satu timku yang berhasil mencapai puncak, empat orang, termasuk Hall, tewas di tengah amukan badai yang muncul secara mendadak saat kami masih berada jauh di atas lereng. Ketika aku tiba di Bse Camp, sembilan pendaki dari empat ekspedisi tewas, ditambah tiga pendaki yang tewas sebelum bulan Mei berakhir.
Ekspedisi itu membuatku terguuncang sehingga aku kesulitan menyusun tulisan untuk Outside. Meskipun demikian, lima minggu setelah kembali dari Nepal, aku menyerahkan naskah tulisanku kepada Outside, dan naskah tersebut dipublikasikan dalam edisi Outside bulan September. Setelah naskah selesai, aku berusaha melupakan Everest dan melanjutkan hidupku, tetapi ternyata hal itu tidak mungkin. Di tengah kebut emosi yang galau, aku berusaha memahami peristiwa yang terjadi di atas sana, dan terus terobsesi oleh rentetan peristiwa yang membawa rekan-rekanku menemui ajal mereka.
Artikel yang dimuat di majalah Outside kutulis secermat mungkin dengan mempertimbangkan kondisi saat itu, tetapi tenggat waktu yang diberikan benar-benar mendesak, dan urutan peristiwanya begitu rumit, belum lagi ingatan para pendaki yang selamat ternyata sangat dipengaruhi oleh kelelahan, kekurangan oksigen, dan shock. Sekali waktu, dalam rangka riset untuk tulisanku, aku bertanya kepada tiga orang yang sama-sama menyaksikan peritiwa yang terjadi jauh di atas gunung sana, ternyata kami semua berbeda pendapat, baik tentang waktu, beberapa fakta kunci, maupun tentang apa yang dibicarakan, bahkan siapa saja yang hadir saat itu. Beberapa hari setelah artikel Outside diluncurkan, aku mendapati bahwa beberapa pencarian yang kulaporkan ternyata keliru. Sebagian besar hanya kekeliruan kecil yang lazim muncul dalam karya tulis seorang wartawan yang dikejar tenggat waktu, tetapi salah satunya sama sekali bukan kekeliruan kecil sehingga berakibat menyakitkan bagi teman-teman dan kerabat dari salah seorang korban.
Selain kesalahan-kesalahan kecil tersebut ada hal lain yang cukup mengganggu perasaanku, yaitu banyaknya bagian naskah yang harus dibuang karena keterbatasan ruang. Mark Bryant, salah seorang penyunting majalh Outside, dan Larry Burke, sang penerbit, sudah memberiku ruang yang cukup untuk mengisahkan peristiwa ini: mereka memberiku kelonggaran untuk menulis artikel dengan 17.000 kata – empat atau lima kali lebih panjang dari artikel majalah yang umum. Meskipun demikan, aku merasa bahwa ruang yang diberikan terlalu pendek untuk bisa menceritakan seluruh tragedi itu secara layak. Pendakian Everest telah mengguncangkan hidupku, dan aku harus menceritakan semuanya secara terperinci, tanpa dibatasi oleh panjang kolom. Buku ini merupakan buah dari hasrat tersebut.
Fakta bahwa pikiran manusia pada ketinggian 25.000 kaki sama sekali tidak bisa diandalkan, menyulitkan riset yang kulakukan untuk tulisanku. Untuk menghindari persepsi yang terlalu pribadi, aku berusaha mewawancarai hampir semua tokoh protagonis secara panjang lebar dan tentang berbagai kejadian. Sebagai penunjang, sedapat mungkin aku juga membuka catatan harian komunikasi radio yang dibuat oleh orang-orang di Base Camp, orang-orang yang bisa berpikir secara lebih jernih. Pembaca yang sudah pernah membaca artikelku pada majalah Outside (terutama yang terkait dengan waktu) yang dilaporkan dalam artikel pada majalah dan dalam buku ini; revisi tersebut dibuat karena adanya informasi baru yang munculsetelah artikel tersebut diluncurkan.
Beberapa penulis dan editor yang kuhormati menyarankan agar aku tidak terlalu terburu-buru menulis buku ini; mereka memintaku untuk menunggu dua atau tiga tahun, untuk memberi ruang antara diriku dan ekspedisi Mei 1996 tersebut, agar aku bisa memperoleh sudut pandang yang lebih jelas. Meskipun saran yang mereka berikan sangat bijak, tetapi pada akhirnya aku harus mengabaikannya – terutama karena peristiwa yang terjadi di gunung itu terus menggerogoti jiwaku. Kupikir, menuliskannya ke dalam sebuah buku bisa membuatku melupakan Everest.
Ternyata tidak. Terlebih lagi, aku setuju bahwa kepuasan pembaca kurang terlayani jika karya seorang penulis merupakan bagian dari upaya menyembuhkan jiwa, seperti yang kulakukan dalam buku ini. Namun, aku berharap sesuatu bisa diperoleh jika aku mengungkapkan perasaanku tentang akibat langsung dari bencana tersebut, ketika perasaan sedih dan kenangan tentang itu masih segar dalam ingatanku. Aku ingin ceritaku memiliki kejujuran yang benar-benar mentah dan tanpa belas kasih, kejujuran yang bisa hilang seiring berjalannya waktu dan memudarnya derita yang kurasakan.
Beberapa orang yang mengingatkanku agar tidak terburu-buru menuliskan cerita ini adalah orang-orang yang pernah mengingatkanku agar tidak berangka ke Everest. Ada banyak alasan bagus, mengapa aku tidak boleh pergi, tetapi upaya untuk menaklukkan Everest merupakan tindakan tidak masuk akal yang sudah menjadi bagian dari diriku – kemenangan hasrat atas akal sehat. Setiap orang yang dengan sungguh-sungguh berpikir untuk melakukannya, hampir dipastikan, sudah terganggu akal sehatnya.
Kebenaran yang paling sederhana adalah aku tahu bahwa aku tidak seharusnyapergi ke Everest, tetapi aku pergi juga. Dan karena itu, aku ikut menjadi penyebab tewasnya orang-orang yang baik, sesuatu yang mungkin akan mengusik batinku untuk waktu yang sangat lama.

Jon Krakauer
Seattle
November 1996

0 Comments:

Post a Comment

<< Home