12 October 2006

Ekspedisi Bahau, 1990 (part 1)

BERANGKAT BARENG TIM TATOR

Pada bulan Agustus 1990 kami berangkat ke Surabaya naik kereta api bersamaan dengan tim WS Climbing Tana Toraja; George, Adri, Rudy Kecil CPMK, Christian, Levis, Milug.. masih ada lagi nggak ya... aku lupa. Pada malam sebelum kami berangkat, kami ngumpul di sekretariat Aceh... aku sempat minta Ruslan untuk potong rambutku... karena konon Ruslan itu pemangkas rambut yang oke. Wah aku juga geli kalau ingat, koq ya percaya gitu, soale setelah aku lihat2 koq ya aneh hahahaha. Ini ide boleh dilakukan tapi bukan untuk cewek ya... mending ke salon yang terpercaya. Kami mampir di rumah Milug di Surabaya. Masih teringat aku akan kehangatan sambutan Bapak Ibu nya Milug. Aku juga masih ingat ada air putih yang dimasak bersama pandan, sehingga wangi. Di sana kami sempat mandi, makan dan melepas lelah sebelum ke Tanjung Perak. Kami naik kapal Tidar, yang saat itu masih relatif baru. Kami sempat memindahkan beberapa buah lampu yang nempel di jaket pelampung. Maaf ya…

Kami bareng tim Tator, sehingga ramai. Tidak semua dari kami mendapat tempat tidur di barak. Tapi nggak masalah. Kami asyik jalan-jalan dan main di kapal, tidur di geladak atau di lobby. Di kapal laut kita bias melihat best sunrise dan best sunset... Kalau mau mandi, kita bawa alat mandi, handuk kecil dan baju dalam tas kecil ke kelas 2. Lebih asyik mandinya, air lancar. Makan di kelas 3 harus pakai strategi kalau mau kenyang dan puas, maklum makan hanya nasi, sayur labu, telur rebus pakai sambal atau ikan laut. Kita baris antri membawa tiket, dan tempat makannya semacam baki kayak napi. Jadi kalau sudah diperiksa tiketnya dan hampir sampai depan, tempat makanan, kita oper tiket ke belakang biar double makannya. Paling nggak bisa ada ekstra lauk lah. Pernah aku tunggu teman-teman di bagian agak depan, eh dikirain antri. Padahal ada 3 tiket yang sudah dipakai di tangganku. Jadi dech ada 3 baki tambahan lagi. Mungkin tampangku saat itu bikin ABK-nya kasihan… tampak lapar berat ha... ha... Saat itu kita puas makannya.

MENGINJAKKAN KAKI DI KALIMANTAN

Tim Tator sampai pelabuhan Ujung Pandang dulu dan meneruskan perjalanan ke Tana Toraja. Sedangkan kami masih melewati Sulawesi Tengah alias Poso, di mana kami sempat turun, jalan-jalan dan belanja souvenir tempat rokok dari kayu eboni. Baru besok siangnya kami sampai di Balikpapan. Di sana kita dijemput oleh Pak Harsono dengan sebuah mini bis milik Pemda Kaltim. Kami menginap di mess Pemda Kaltim selama beberapa hari. Karena tim diundang Bapak Gubernur HM Ardans (alm.) untuk mengikuti acara 17-an di kantor gubernur lama di Lamin Etam, yang artinya Rumah Kami. Kami diwawancarai oleh TVRI stasiun Samarinda, difoto, difilm segala. Bowo sebagai Ketua DP menyerahkan peta gua Mangkalihat dan laporannya kepada Bapak Gubernur. Dia tampangnya serius bener waktu wawancara, jaim banget. Wis pokoknya rasa kayak artis saja.

Untuk menghemat waktu, karena kami sudah menghabiskan waktu di Samarinda, perjalanan ke Tarakan, kami tempuh dengan pesawat dari Balikpapan atas biaya Pemda Kaltim, yang saat itu hendak mempromosikan daerahnya dan membuat film. Rombongan yang semula hanya 9 orang; Boedi, Royke, Maman, Liana, Toto, Nurhadi, Bowo, Didonk dan saya, ketambahan 3 orang lagi dari Humas Kaltim; Pak Harsono (orang Jawa), Pak Sachruddin atau dipanggil penduduk setempat Mawak Rudy (orang Banjar), dan Mas Anastasius Adi Nyompe (orang Dayak asli). Di Tarakan, kami disambut oleh Bapak Walikota Tarakan, makan di restoran dan menginap di hotel. Lumayan banget buat kami yang biasa tidur di tenda. Memang beda kalau ada sponsor dari Pemda, mewah sekali rasanya.

Di setiap daerah kami disambut dan dianggap tamunya gubernur. Perjalanan menuju ke titik start Apauping sangat bervariasi. Dari pesawat, kapal besar sampai akhirnya ketinting yang hanya muat 1-2 orang penumpang. Dari Tarakan, kami menuju Tanjung Selor, dimana kami ikut seorang Bos yang mengatur perjalanan kami, namanya Pak Moming. Dia seorang keturunan Cina dan Dayak. Perawakannya kecil, tapi kelihatan benar-benar hidupnya keras. Sebagian awak perahunya adalah guru, yang sangat saya ingat namanya Pak Bawai. Beliau berwajah bijaksana dan simpatik, selalu setia menunggu kalau kami terlambat.

Kami mengerti betapa susahnya menjadi seorang guru di daerah terpencil, gaji tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Mereka harus bertani, bahkan sekolah diliburkan kalau ada musim panen. Kalau anak-anak ditanya kapan masuk sekolahnya, mereka akan menjawab tidak tahu. “Bapak guru akan mencari kami dan memberitahu kami kapan sekolah akan mulai.” Aduh betapa kontrasnya dengan kehidupan kami di Jawa.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home