12 October 2006

Ekspedisi Bahau, 1990 (part 2)

MENUJU LONG PUNJUNGAN

Dari Tanjung Selor kami menuju Long Pujungan naik kapal yang besar. Aku sempat lihat kompasnya yang besar dan antik, pakai air, yang kadang-kadang kalau nahkodanya mau baca arah digoyang goyang terlebih dahulu. Di sepanjang sungai banyak pohon nipah dan juga burung-burung. Sesekali kami melihat rombongan orang utan. Menu favorit kami selama perjalanan adalah ikan dan buah-buahan yang sedang musim, seperti maritam (seperti rambutan tapi banyak airnya), marijo (seperti maritam tapi warnanya hijau), rambutan, buah langsat, buah durian, buah lai, jeruk bali, mata kucing (semacam buah kelengkeng, tapi daunnya seperti daun rambutan), dan juga buah alim. Yang saya paling ingat karena uniknya adalah buah alim, yang bentuknya sebesar buah kelapa, kulitnya berwarna kecoklatan tapi rasanya seperti buah mangga. Cara mengupasnya dengan dikerat kulitnya dan kemudian dibuka seperti membuka buah pisang.

Ikan di sepanjang sungai Bahau rupanya kurang terpelajar atau mungkin populasinya terlalu banyak, sehingga sangat mudah ditangkap. Bahkan umpannya sabun bebek angsa (buat yang senior2 saya pasti tahu deh .. itu yang keras, warna hijau atau cream n harganya murah hehehe). Toto sempat foto dengan senyuman lebar, mata berbinar-binar dan membawa ikan besar. Sebagai tambahan informasi yang kami dapat dari additional crews alias tukang perahu, bahwa kalau musim buah biasanya banyak lalat dan merupakan musim anjing kawin. Entah apa hubungan lalat dan anjing kawin. Di Long Pujungan, kami menginap di rumahnya Pak Moming. Kami dijamu dengan daging rusa, atau penduduk setempat menyebutnya payau. Menurutku biasa saja, bahkan agak keras, atlit lari tea... Ada anaknya Pak Moming yang lucu, Mei-mei namanya. Umurnya sekitar 5 tahun saat itu, kelihatan sehat sekali, karena sering bermain di sungai. Di situ kami makan banyak durian, atau disebut brayut.. sampai pada kepanasan, sehingga kami naik ayun-ayunan sampai malam karena tidak bisa tidur.

Ada satu kejadian yang bikin kami semua geli yang ada hubungannya dengan durian. Mungkin saking semangatnya Nurhadi nyomot jempolku... bukan durian hehehee... Ga ingat apakah dia pakai kacamata tebalnya atau enggak. Kontan kami semua tertawa terbahak-bahak. Kami selalu mencari informasi, mengingat-ingat dan mencatat keadaan sungai agar nanti kami bisa antisipasi keadaan sungai. Beberapa kali kami mengalami hambatan, karena jeram atau riamnya besar. Yang pertama adalah jeram Luk. Perahu hampir karam, sehingga semua barang harus diturunkan dari perahu, dan kami harus menarik perahu tersebut. Seru juga. Aku ingat aba-aba Pak Moming hanya ...duaaa... tigaaaa… Satunya hanya pelan mengucapkannya. He... he... irit nafas ‘kali. Kami sangat bersyukur karena kejadian ini sempat diabadikan baik dalam bentuk foto, maupun film 16mm.

Pernah kami berhenti di suatu tempat karena tercium aroma buah durian hutan yang aduhai. Aduuhh tak terbayangkan enaknya. Namun pernah juga di tempat kami beristirahat merupakan sarang lebah, dan entah siapa yang mengganggu mereka, sehingga kami harus menyebur ke sungai dan segera hengkang dari tempat itu. Desa terakhir yang akan kami tuju adalah desa Apauping, tepatnya ada 3 desa, yang lupa nama kedua desa lainnya, yang dijadikan satu karena para penghuninya banyak yang hijrah ke Malaysia. Sehingga di sana jarang terlihat anak-anak muda, hanya anak-anak dan orang tua. Di sini kami beristirahat selama beberapa hari. Tim dibagi menjadi 2 bagian, ada yang observasi hewan di sabana dan sebagian lagi pengamatan kehidupan masyarakat di desa Apauping. Di sini peran Liana sebagai Ibu Guru sangat dominan. Dia sempet mencatat lagu daerah sana dan bergaul erat dengan anak-anak.

Tim sabana tidak bertemu dengan banteng liar, hanya bekas-bekas jejak dan kotorannya. Well, mereka cukup bahagia dengan hasil foto dan pengalamannya. Tim desa sempat mengunjungi Posyandu dan seperti biasa dikira Ibu Mantri (kesehatan). Selain itu juga kami ikut menanam padi di ladang. Mereka bergotong-royong mengerjakan lahannya. Lahannya bukan sawah, tapi hutan yang dibakar, bahkan yang berbukit-bukit pun tidak masalah. Kaum lelaki membawa tongkat yang ujungnya runcing dan membuat lubang di tanah. Sedangkan kaum perempuan menaruh biji padi pada lubang itu.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home