31 May 2007




Turut berduka cita atas meninggalnya :
Ibunda dari Samsu (Angkatan Hujan Konyal)
dan Ayahanda dari Ian (Angkatan Mandala Surya Purnama)

Semoga arwah mereka diterima di sisi-Nya dan diberikan ketabahan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Amin

Foto Jaman Dulu - Dikenang Sepanjang Masa

Apa kabar semuanya...?
Saat ini saya mencoba untuk menampilkan foto-foto tempo dulu dari prajurit-prajurit tua yang dulu hingga sekarang meiliki semangat yang nyaris tidak berkurang !

Saya gak bisa bercerita apa-apa lagi, soalnya mungkin pada saat foto itu diambil, saya mungkin belum lahir. Moga-moga teman-teman bisa menikmati foto-foto yang akan dikenang sepanjang masa...


salam,
Audy Tanhati
M 2000511 ATSA













26 May 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian II

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

Bagian II :

Kathmandu – Lukla (2840m) Phakding (2610M)

Jarak : 8,5 Km

Waktu Tempuh : 4 jam (Normal)


“Nothing more than the Corps, Keep onwards and no retreats”

Mahitala – Unpar

Dudh Kosi – Air sungai itu bergelora, deras menerjang batu–batu besar seukuran “yak” (Kerbau Nepal), bergelora terus ke hilir tanpa peduli. Air membuncah berbuih putih seperti air susu dengan suara bergemuruh. Saya masih berdiri diatas jembatan gantung dari kabel baja dengan ukuran lebar 1,5 M yang dibangun oleh pemerintah Swiss, terayun–ayun puluhan meter diatas Dudh Kosi itu. (Dudh = susu, Kosi = sungai, dalam bahasa Nepal), dapat dimengerti mengapa sungai itu dinamakan demikian, karena layaknya cairan air susu yang tumpah ruah.

Saya mencoba membayangkan dahsyatnya bencana banjir di Dudh Kosi pada bulan September 1977 ketika terjadi longsoran salju raksasa (Avalanche) yang turun dari Ama Dablam (6856 M), masuk ke danau di kaki gunung yang mengakibatkan gelombang air setinggi 10 M dan menyapu sekitarnya, menerjang Dudh Kosi.

Banjir besar ini juga menghanyutkan jalur trekking, 7 jembatan sekitar Jorsale dan menewaskan 3 penduduk desa. Pada tahun 1985, bencana ini terulang lagi ketika danau gletser di Thami jebol. Sisa kerusakan masih jelas membekas di sepanjang daerah aliran sungai. Dudh Kosi adalah salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Nepal, diawali di kaki Himalaya, membelah Nepal terus ke Selatan, menembus ke India dan bergabung dengan aliran sungai lainnya ke selatan benua itu. (Gambar 4)

Gambar 4 – Salah satu jembatan kayu tradisional yang tersisa melintas
Dudh Kosi yang bergemuruh

Di pagi buta itu, Sabtu 28 Oktober 2006, kami dipaksa bangun untuk segera berkemas, meninggalkan Buddha Hotel dikawasan Thamel menuju Airport untuk terbang ke Lukla (2840 M) kota terakhir di jalur pendakian ke Everest Base Camp lewat gerbang selatan. Lukla mempunyai landasan pesawat udara ukuran Twin Otter yang konon merupakan pelabuhan udara no. 3 tersibuk di Nepal. Untuk memastikan mendapatkan panorama indah dari udara ke pegunungan salju abadi Himalaya saya memastikan untuk duduk di sisi kiri pesawat dan ternyata panorama itu sangatlah spektakuler. Selama 30 menit kami menikmati Wisata Dirgantara yang jarang kami alami dengan keindahan panorama yang tidak tertandingi. (Gambar 5)

Gambar 5 – sebagian Tim EBC 2006 - Mahitala Unpar di Lukla sebelum menuju Phakding.
Dari kiri ke kanan : Ambrin, Samsu, BHP, Olin, George, Lily, Didiet, Chaca & Susanto

Pukul 08.30 kami mendarat di Lukla, langsung menuju ke Khumbu Resort untuk makan pagi sebelum melanjutkan perjalanan ke Phakding (2610 M). Tampak Sani Handoko, Ketua Ekspedisi EBC 2006 – Mahitala dibantu Mario & Ian sibuk mengorganisir anggota tim-nya, baik pengaturan barang dan porter. Lelaki paruh abad Angkatan Gunung Batu di Mahitala ini memang dinamis, mudah bergaul, ringan tangan untuk membantu dan disukai oleh banyak orang.

Perawakannya tinggi dan tegap dengan potongan rambut cepak ala TNI masih menyisakan postur tubuhnya yang atletis. Bapak dua anak yang merupakan suami seorang Cathy saat ini menjabat sebagai Presiden Direktur PT. MudKing Asia Pasifik Raya, perusahaan perdagangan & supplier alat berat dan peralatan pengeboran minyak yang cukup ternama, beruntung kami dapat mengembara bersamanya di Pegunungan Himalaya.

Dengan aba-aba Pak Komandan, kami ber-21 mulai pengembaraan di celah-celah Pegunungan Himalaya menuju Everest Base Camp. Diawali perjalanan ke utara menapaki jalan batu hingga tiba di “Kaanis” semacam gapura di batas kota. Segera jalanan menurun tajam lewat tangga batu yang disusun rapi, melewati tanah perkebunan penduduk diselingi dengan pemandangan jauh kekiri ke relung-relung lembah Dudh Kosi yang indah. Tak berapa lama kemudian melewati Chaunrikharka, sekolah lokal pada persimpangan ke Jiri untuk terus menuju Chablung (2700 M) desa pertama setelah Lukla.

Sungguh menyenangkan “Trekking” di hari pertama itu dan bertemu “Yak” (sejenis kerbau Nepal berkaki pendek tapi kokoh) yang berjalan pelan dengan beban berat dipunggungnya yang diperkirakan antara (80 – 100) kg. Yak banyak dipergunakan sebagai sarana alat angkut logistik menuju Everest Base Camp atau tujuan puncak gunung lainnya untuk mendukung aktivitas para pendaki. Yak terbukti amat efektif sebagai alat angkut pada daerah pegunungan tinggi. (Gambar 6)

Gambar 6 – para “yak” berpose dengan beban berat hingga 100 kg, terengah-engah mendaki di pegunungan tinggi Himalaya

Makan siang di Thado (Kusum) Kosi Stream setelah berjalan 5 Km dari Lukla dan kami memilih Kusum View Lodge yang resik dan ditata apik dengan bunga-bunganya. Saya duduk di teras luar bermandikan matahari ditemani Lily Nababan, Tisi, Chandra Heru, Milug, Mario dan pesan menu standart nasi goreng dan teh manis hangat sambil bebas mengamati para pendaki yang naik / turun sambil mendengarkan “keliningan” yang berbunyi dari kalung-kalung di leher Yak. Nyatanya bunyi keliningan Yak ini mampu berdenging di telinga saya sampai berbulan-bulan kemudian, bahkan sampai sekarang seperti nada memanggil untuk kembali ke Himalaya atau Annapurna trek.

Dalam perjalanan ke Phakding ini pertama kali saya menemui “Chorten” yaitu tumpukan batu yang disusun rapi ditengah jalan dan ditulis huruf warna putih tulisan Nepal yang berisi mantera-mantera. Menurut kepercayaan kita harus berjalan disisi kiri “Chorten”, dan selanjutnya kami akan banyak menemui Chorten-chorten lain di sepanjang pengembaraan kami nanti. (Gambar 7)

Gambar 7 – Chorten dengan tulisan mantera-mantera, banyak ditemui sepanjang jalan

Menjelang pukul 16.00 rombongan pertama tiba di Phakding setelah melewati Ghat dan menginap di Prince of Everest Lodge. Lokasi Lodge sangat ideal, bagian belakang ada taman luas sekitar 500 M2 dibatasi lembah sungai dan puncak gunung berselaputkan salju. Udara sejuk, beberapa rekan melemaskan badan, berbincang di taman belakang, tampak Susanto, Hasan Sunardi, Ambrin Siregar, Lily Nababan, Milug, Mario, Chaca, Suhanto dan beberapa rekan lainnya. Sedangkan yang lainnya masih dalam perjalanan menuju Phakding dengan dikawal George, komandan perjalanan yang bertugas sebagai Tim Penyapu. Sejak hari pertama George sudah mengemban tugas berat, yang acap kali memaksa George menguras tenaganya naik turun bukit untuk memastikan rombongan terakhir masih dapat dimonitor dan berada dalam jalur pendakian yang benar. (Gambar 8)

Gambar 8 – Mario dengan Himalaya Lodge-nya

Penginapan murah Twin Sharing di Phakding berkisar NRs 1000/orang, sementara harga-harga lain berkisar antara :

o Teh......................NRs 30

o Kopi.....................NRs 40

o Bubur...................NRs 100

o Nasi Goreng..........NRs 120

o Apple Pie..............NRs 140

o Bir (750 ml)...........NRs 200

o Coca Cola.............NRs 60

o Mineral Water........NRs 60

Perlu diketahui, harga-harga ini semakin mahal ditempat yang lebih tinggi, hingga akhirnya untuk charge batere tustel dikenakan sampai NRs 200 dengan catatan, ( 1 NRs = Rp. 120,- ; 1 US$ = NRs 71 )

Akhirnya kami mengakhiri trekking di hari pertama dengan baik dan kondisi semua anggota tim masih prima, meskipun suasana koordinasi hari itu masih tumpang tindih, pengaturan porter masih kacau balau dan tidak jelas distribusi barang-barang kami masing-masing, Sempat membuat bingung adalah pada saat mencari barang yang diperlukan, ternyata sulit diketemukan karena dibawa porter yang sudah berjalan terlebih dahulu. Semua serba spontan, untung saja masing-masing membawa “day-pack” yaitu ransel perjalanan kecil berisikan perlengkapan pribadi, makanan kecil & minuman seberat (5-12) Kg sehingga cukup memenuhi kebutuhan perjalanan hari itu.

Mengingat suasana hari pertama itu, saya teringat ketika melakukan Ekspedisi Maoke 1983 Mahitala Unpar ke Irian pada tahun 1983, 24 tahun yang lalu mengembara di lembah Baliem – Pegunungan Tengah Jayawijaya untuk mendaki Puncak Trikora (Wilhelmina – 4730 M). Suatu nostalgia bersama di antara Sani Handoko, Hasan Sunardi, Chandra Heru dan BHP yang juga tergabung dalam Tim Maoke 1983 Mahitala Unpar dan sekarang 4 sekawan ini juga tergabung dalam Tim EBC 2006 Mahitala Unpar. Masih jelas saat itu dihari pertama urusan logistik berantakan karena porter suku Dani “belum” bisa diatur. Ternyata suku Dani takut hujan, sehingga sewaktu turun hujan mereka lari lintang pukang menyelamatkan diri sambil membawa logistik (dus) yang selama ini mereka bawa.

Saat itu total logistik mencapai berat hampir 2 ton, yang di packing menjadi sekitar 120 koli ukuran besar yang harus dipikul dari Wamena ke Base camp pada ketinggian 3600 M, untuk selanjutnya didistribusikan ke Flying Camp. Saya ingat betapa bantuan Kang Zaska, Broer Ambrin dan rekan senior Mahitala lainnya dalam mempersiapkan semua logistik di Jakarta menjelang keberangkatan Tim Maoke 1983 Mahitala Unpar sungguh mengharukan. Sungguh kenangan itu begitu lekat dalam ingatan dan kerap memanggil kembali kami untuk mengembara di alam bebas dan … “ keep exploring and continue the long and never ending journey”

Namaste,
Budi Hartono Purnomo
M-78188 AS



19 May 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian I : Mimpi itu menjadi kenyataan, dari Jakarta ke Sagarmatha terus ke Himalaya

Hai....
Setelah absen beberapa waktu untuk esekian kalinya, saya akan coba menampilkan sebuah cerita bersambung karya Veteran Mahitala yang konon masih saja getol melakukan kegiatan alam bebas layaknya anak-anak muda. Berikut ini adalah cerita-cerita BHP mengenai pengalaman yang masih saja terlintas di pikiran kita sewaktu Perjalanan EBC Mahitala Unpar tempo hari...

Selamat menikmati !

Audy Tanhati
M 2000511 ATSA

nb : Pejuang Tua sudah mulai unjuk gigi....ayo mana hasil karya pejuang muda...??



PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

Bagian I :

Mimpi itu menjadi kenyataan, dari Jakarta ke Sagarmatha terus ke Himalaya

Men play at tragedy because they do not believe in the reality of the tragedy which is actually being staged in the civilized world.

Jose Ortega y Gasset.

Gambar 1 - Suasana menjelang keberangkatan Kloter 2
di Bandara Soekarno Hatta – Kamis, 26 OKT 2006

Haru biru perasaan menyeruak dan menyergap dalam ke relung kalbu pagi itu, Jumat 27 Oktober 2006. Mata nanar memandang dari jendela pesawat kearah kanan, kearah deretan pegunungan tinggi berselaput salju yang memanjang berbaris tak ada habis nya. Masih tercenung mata menerawang ke pegunungan itu yang diseling puncak-puncak menjulang langit dengan awan putih berarak di bawah nya.

Ditingkah desing mesin pesawat jenis Boeing 747 Thai Airways yang mulai mengurangi ketinggian, pikiran terus berputar, apakah mimpi akan menjadi kenyataan, paling tidak dalam sebulan kedepan kami ber 21 akan berkutat dan mengembara di salah satu celah Pegunungan Himalaya itu, yang paling tidak dalam kurun waktu 30 tahun menjadi obsesi dan mimpi mimpi saya untuk dapat ke sana.

Sebelum menerawang lebih jauh pesawat sudah mendarat di Pelabuhan Udara di Kathmandu, Nepal jam 10.30. Setelah selesai dengan urusan Imigrasi kita keluar dari Bandara dan di jemput Mr. Nava pimpinan First Environmental Trekking Pte. Ltd dan beberapa rekan dari kloter 1. (beda waktu adalah 1 jam 15 menit, Nepal lebih dulu). (Gambar 2)

Gambar 2 - Sebagian anggota Tim Ekspedisi setelah menerima kalung bunga ucapan selamat datang

Kelompok terbang 1: berangkat lebih awal yaitu Senin, 23 Oktober 2006, terdiri : Ambrin Siregar, Hasan Sunardi, Chandra Heru, George, Susanto, SieLing, Syamsuliarto, Irsan, Irma dan Suhanto dari San Diego langsung. Kelompok terbang 2: berangkat Kamis 26 Oktober 2006, terdiri dari : Sani Handoko, Milug, Didiet, Lily Nababan, Olin, Chaca, Mario, Ian, BHP dan Hani & Tisi dari Kualalumpur, ketemu di Bangkok waktu transit. (Gambar 1)

Rencana besar ini diawali dengan ide rekan rekan Mahitala yang terus di matangkan dan di motori Sani Handoko hingga terwujud. Paling tidak kami bisa mengembara di puncak puncak tinggi kelas “dunia” dan menginjak salju.

Persiapan demi persiapan sudah di mulai dari penghujung tahun 2005, diteruskan sepanjang tahun 2006 hingga waktu keberangkatan. Yang mengesankan adalah anggota ekspedisi ini melibatkan lintas antar waktu dan benua, melibatkan 11 angkatan di Mahitala, dengan perbedaan usia hampir 3 putaran shio dan antar Negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Amerika. Menarik dan berkesan melakukan perjalanan bersama keluarga besar Mahitala, dalam jumlah besar dan situasi berbeda, terutama usia. Kebingungan, kurang percaya diri, ragu-ragu serta gamang amat mewarnai suasana saat itu.

Lucu juga, banyak kawan yang dahulu sudah pernah melakukan perjalanan dan ekspedisi masih “bingung” dalam persiapan peralatan dan memenuhi “check-list” perjalanan yang telah di buat George yang waktu itu rajin mengingatkan kita. Nafsu belanja sudah nampak yang di motori Susanto yang selalu datang pertemuan dengan barang barang yang sudah di beli lengkap dengan spesifikasi dan harga yang membuat anggota lain jadi “minder”. (ternyata hobby belanja ini tetap di juarai Susanto, baik di Nepal, Bangkok maupun Singapore).

Kathmandu, Ibu kota Nepal dengan Thamel (sbg pusat seperti “down-town” nya) memang sarat dengan daya tarik sebagai Kota atau Negara tujuan pendakian ke “atap-atap” dunia. Suasana sudah terasa ketika kaki menjejak bandara, yang di penuhi turis “back packer”, perlengkapan pendakian dan jumlah cargo yang besar. Kathmandu kota berdebu dengan tingkat kebisingan teratas di dunia, jamak menemukan sapi berdiri santai di lampu merah perempatan jalan raya. Binatang yang di sucikan ini seolah punya hak istimewa di negara gerbang Selatan atap dunia ini. Nepal Negara kecil yang amat tergantung dari pemasukan “fee” yang di tarik dari para pendaki gunung dan devisa yang di bawa masuk para turis. Negara ini tahu persis memanfaatkan kelebihan tersebut.

Melintasi kawasan Thamel dengan lorong nya sudah cukup mewakili profil Negara ini, karena letak Geografis nya maka bagian selatan di dominasi etnis India, sementara di belahan Utara di dominasi etnis Gurkha dan Cina, kebudayaan juga campuran sehingga unik. Agama Budha masih dominant, disusul Hindu, kemudian agama lainnya. (Gambar 3)

Gambar 3 – Kawasan Tamel dengan lorong-lorong perdagangannya

Toko-toko banyak menjual souvenir dan perlengkapan pendakian gunung, serta kain sutera yang merupakan hasil utama, juga kerajinan tangan dan pisau legendaries “kukrie” yang sempat melegenda krn merupakan senjata andalan tentara Gurkha yang merupakan bagian tentara khusus Kerajaan Inggris Raya, yang dikenal sangat pemberani, tangguh dan sangat setia.

Jumat 27 Oktober 2007 itu merupakan hari panjang dalam persiapan perjalanan di area Solokhumbu, menuju area Sagarmatha di utara. Udara sejuk Kathmandu yang hingar bingar dengan ucapan khas bahasa Nepali, paling tidak sudah di mulai “aklimatisasi” menyeluruh. Besok pagi-pagi jam 05.00 sudah di mulai perjalanan sebenar nya, di mulai terbang ke Lukla (2840 M), untuk seterus nya akan berjalan setiap hari hingga ke Kallapatthar,….dan …Everest Base Camp…maka …Moment of Doubt…sudah di mulai…