22 October 2006

INTO THIN AIR - Kisah Tragis Pendaki Everest (Part 6 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*bersambung*)


Tiga hari kemudian, berita tentang keberhasilan mereka sampai di telinga Ratu Elizabeth, tepat satu hari sebelum penobatan dirinya, dan koran Times di London menyiarkan berita tersebut pada 2 Juni dalam edisi awal. Berita tersebut dikirim secara rahasia dari Everest melalui pesan radio (agar pesaing Times tidak menyabot berita pertama mereka) oleh seorang wartawan muda bernama James Morris; dua puluh tahun kemudian, setelah menjadi penulis ternama, James Morris melakukan operasi kelamin menjadi wanita dan mengubah nama depannya menjadi Jan. Empat dekade setelah penaklukan yang bersejarah itu, Morris menulis: Penobatan Everest: Penaklukan Pertama dan Berita yang Menobatkan sang Ratu,

Sulit dibayangkan sekarang ini, bagaimana dua peristiwa yang terjadi hampir secara serempak tersebut (penobatan sang Ratu dan penaklukan Everest) disambut dengan kegembiraan yang magis di Negara Inggris. Setelah lepas dari masa-masa suram yang menyelimuti mereka sejak Perang dunia II, surutnya kebesaran Kerajaa Inggris dan berkurangnya pengaruh mereka di muka bumi, orang-orang Inggris hampir percaya bahwa dinobatkannya sang Ratu yang muda belia merupakan isyarat bagi dimulainya era baru – era Elizabeth, demikian koran-koran menyebutnya. Hari penobatan, pada 2 Juni 1953, adalah hari yang melambangkan harapan dan kegembiraan. Pada hari itu semua patriot pendukung Inggris tiba pada satu momentum yang paling istimewa, keajaiban di atas semua yang ajaib, karena pada hari itu sebuah kabar datang dari tempat yang jauh – dari garis depan Kerajan Inggris lama – bahwa sebuah tim pendaki bangsa Inggris… berhasil menaklukan objek penjelajahan dan petualangan tertinggi di muka bumi, puncak dunia…

Peristiwa tersebut memicu munculnya berbagai emosi di dalam hati rakyat Inggris – kebanggaan, patriotisme, nostalgia tentang kekalahan mereka dalam perang masa lalu, dan tentang tindakan-tindakan mereka yang gagah berani pada zaman lampau, serta harapan akan masa depan yang lebih baik… Sampai saat ini, orang-orang usia tertentu masih mengingat dengan jelas, ketika mereka – sambil berdiri di bawah siraman hujan rintik-rintik untuk menunggu iring-iringan prosesi penobatan melewati Kota London – mendengar kabar mengejutkan bahwa puncak dunia, boleh dikatakan, sudah menjadi milik mereka.

Tenzing menjadi pahlawan nasional di seluruh dunia, Nepal dan Tibet, masing-masing negara tersebut mengakui Tenzing sebagai warganya. Setelah mendapat gelar bangsawan dari Ratu Elizabeth, Sir Edmud Hillary menyaksikan wajahnya muncul dalam perangko, komik, buku-buku, novel, dan sampul majalah – dalam waktu semalam, pria berwajah tirus, peternak lebah dari Kota Auckland ini berubah menjadi pria paling terkenal di muka bumi.

Pelaklukan Everest oleh Hillary dan Tenzing terjadi sebelum aku dilahirkan, jadi aku tidak merasakan kebanggaan dan kekaguman yang melanda dunia – sebuah peristiwa yang menurut teman-temanku yang lebih tua, bisa disejajarkan dengan pendaratan pertama manusia di bulan. Namun satu dekade kemudian, ditaklukannya Everest untuk kedua kalinya, membantu memantapkan arah hidupku.

Pada 22 Mei 1963, Tom Hornbein, tiga puluh dua tahun, seorang dokter dari Missouri, dan Willi Unsoeld, tiga puluh enam tahun, seorang professor teologi dari Oregon, tiba di Puncak Everest melalui Lereng Barat yang sulit dan belum pernah didaki. Sampai saat itu, Puncak Everest sudah empat kali ditaklukkan oleh sebelas pendaki, tetapi Lereng Barat dianggap sebagai rute lain yang kerap dilalui: Jalur Selatan dan lereng Tenggara atau Jalur Utara dan Lereng Timur Laut. Pendakian yang dilakukan Hornbein dan Unsoeld – merupakan, dan masih dianggap, sebagai prestasi terbesar dalam dunia pendakian gunung.

Menjelang sore, dalam perjalanan menuju puncak, kedua warga Amerika tersebut dihadapkan pada sebuah alur batuan yang terjadl dan rapuh – Jalur Kuning (the Yellow Band) yang berbahaya. Mendaki lintasan ini membutuhkan kekuatan dan keahlian tinggi; tidak ada jalur pendakian yang secara teknik lebih menantang dan lebih tinggi letaknya daripada jalur ini. Setibanya di puncak Jalur Kuning, Hornbein dan Unsoeld meragukan kemampuan mereka untuk bisa turun melalui jalur yang sama. Satu-satunya harapan agar mereka bisa turun dari gunung dalam keadaan hidup, demikian keputusan mereka, adalah bergerak terus sampai puncak dan kemudan turun melalui Lereng Tenggara, rute yang kerap dilalui. Rencana yang sangat berani, mengingat hari sudah menjelang sore, medan yang belum mereka kenal, dan persediaan oksigen yang menipis dengan cepat.

Hornbein dan Unsoeld tiba di Puncak Everest pada pukul 18.15, tepat pada saat matahari terbenam, dan dipaksa menghabiskan malam di bawah udara terbuka pada ketinggian lebih dari 28.000 kaki – perkemahan tertinggi sampai saat itu. Udara malam sangat dingin, untungnya tidak berangin. Meskipun jari-jari kaki Unsoeld membeku dan kemudian harus dipotong, keduanya selamat untuk menceritakan pengalaman mereka.

Saat itu usiaku baru sembilan tahun dan tinggal di Corvallis, Oregon, kota yang sama dengan tempat Unsoeld tinggal. Dia teman baik ayahku, dan aku kerap bermain dengan anak-anak Unsoeld yang tertua – Regon, yang usianya setahun lebih tua dariku, dan Devi, setahun lebih muda dariku. Beberapa bulan sebelum Willi Unsoeld berangkat ke Nepal, aku menaklukkan puncak gunungku yang pertama – sebuah gunung dengan ketinggain 9.000 kaki dan terletak di Cascade Range, sebuah puncak yang saat itu bisa dicapai dengan menggunakan kereta gantung – ditemani Ayah, Willi, dan Regon. Tidak mengherankan jika peristiwa penaklukan Everest 1962 bergema kuat dan lama di dalam imajinasi praremajaku. Ketika teman-temanku mengidolakan John Glenn, Sandy Koufax, dan Johnny Unitas, maka Hornbein dan Unoseld merupakan pahlawan pujaanku.

Dian-diam aku bermimpi, aku akan mendaki Everest suatu hari nanti; selama lebih dari satu dekake, impian itu menjadi ambisiku yang tidak pernah padam. Di awal usia dua puluhan, mendaki sudah menjadi pusat kehidupanku sehingga aku hampir-hampir mengabaikan semua hal yang lain. Menaklukkan puncak gunung merupakan sesuatu yang nyata, permanen, dan konkret. Bahaya yang menyertainya menjadikan kegiatan ini sesuatu yang sungguh-sungguh, kesungguhan yang tidak kumiliki dalam bagian kehidupanku yang lain. Aku bergairah oleh pemikiran-pemikiran baru yang muncul setiap kali aku berhasil menaklukan sebuah bidang yang vertikal.

Mendaki juga mampu mencipakan perasaan memiliki. Menjadi seorang pendaki berarti bergabung dengan kelompok masyarakat mandiri yang sangat idealis, kelompok yang kerap diabaikan, tetapi secara mengejutkan, tidak tercemar oleh dunia secara keseluruhan. Mendaki gunung adalah budaya yang ditandai dengan persaingan, sangat maskulin, dan yang terpenting, semua pendaki perusaha untuk mengesankan pendaki lain. Mencapai puncak gunung manapun dianggap kurang penting dibanding dengan cara seseorang mencapainya: seorang pendaki akan merasa bangga jika dia berhasil mencapai puncak melewati rute paling sulit dengan perlengkapan minimal, dan dengan keberanian yang sulit dibayangkan. Tidak ada pendaki yang lebih dikagumi selain dari para pendaki solo: para pemimpi yang mendaki sendirian, tanpa tali atau perlengkapan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home