26 October 2006

INTO THIN AIR - Kisah Tragis pendaki Everest ( Part 8 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*end*)


Sebelumnya, Everest secara umum dianggap sebagai wilayah para pendaki elite. Seperti yang diucapkan oleh Michael Kennedy, editor majalah Climbing, “Diundang untuk ikut dalam ekspedisi Everest merupakan kehormatan yang hanya akan Anda peroleh setelah cukup lama dan cukup terlatih mendaki puncak-puncak yang lebih rendah. Dan, jika Anda benar-benar berhasil menalkukannya, Anda akan dianggap sebagai bintang oleh pendaki elite.” Keberhasilan Bass mencapai puncak mengubah semua itu. Setelah berhasil menundukkan Everest, Bass menjadi orang pertama yang berhasil menundukkan Tujuh Puncak[*], membuat namanya termasyhur di seluruh penjuru dunia, memicu para pendaki gunung akhir pecan untuk mengikuti jejak petualangannya, dan dengan kasar menarik Everest ke dalam era pascamodern.

“Bagi seorang pengkhayal yang beranjak tua seperti aku, Dick Bass merupakan inspirasi,” Beck Weathers, yang terlahir di kawasan pantai, berkata dengan aksen Texasnya yang kental dalam perjalanan ke perkemahan Everest pada April lalu. Patologis berusia empat puluh sembilan tahun dan penduduk Dallas ini, merupakan satu dari delapan pendaki yang dipandu Rob Hall dalam ekspedisi Everest 1996. “Bass menunjukkan bahwa Puncak Everest ternyata bisa ditaklukan oleh orang-orang biasa, asalkan orang itu memiliki fisik yang prima dan tabungan yang cukup. Bagi aku, meninggalkan pekerjaan dan keluarga selama dua bulan, merupakan hambatan yang paling besar.”

Bagi sejumlah besar pendaki – sesuai dengan catatan yang ada – meninggalkan rutinitas sehari-hari ternyata bukan hambatan yang sulit diatasi, begitu pula soal biaya yang besar. Selama setangah dekade terakhir, jalur-jalur yang menuju Tujuh Puncak, terutama yang menuju Puncak Everest, terus bertambah ramai. Seiring dengan meningkatnya permintaan, jumlah perusahaan komersial yang menawarkan jasa pemandu untuk mendaki Tujuh Puncak, terutama Puncak Everest, ikut meingkat pula. Selama musim semi 1996 saja tiga puluh ekspedisi besar tercatat mendaki Everest, sedikitnya sepuluh tim diantaranya dikelola untuk mencari keuntungan.

Pemerintah Nepal menyadari bahwa berbondong-bondongnya kelompok pendaki yang ingin mendaki Everest bisa menimbulkan masalah yang serius, baik ditinjau dari aspek keselamatan, estetika, maupun ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan. Untuk menanggulangi masalah ini, para menteri Negara Nepal muncul dengan solusi yang diharapkan bisa memberi dua keuntungan, yaitu mengurangi jumlah dan meningkatkan devisa: mereka menaikkan tarif perizinan. Pada 1991, Kementrian Pariwisata Nepal menetapkan tarif sebesar 2.300 dolar untuk setiap tim yang ingin mendaki Everest. Pada 1992, tarif tersebut dinaikkan lagi menjadi 10.000 dolar untuk setiap tim yang maksimum beranggotakan sembilan orang, ditambah biaya tambahan sebesar 1.200 dollar untuk setiap peserta tambahan.

Tetapi jumlah pendaki yang ingin menaklukan Everest terus saja meningkat, meskipun tarif terus dinaikkan. Pada musim semi 1993, empat puluh tahun setelah Everest ditaklukkan untuk pertama kalinya, lima belas tim terdiri dari 294 pendaki mencoba menaklukan Puncak Everest dari arah Nepal, sebuah rekor dalam jumlah tim. Musim semi tahun yang sama, Kementrian Pariwisata Nepal kembali menaikkan tarif perizinan menjadi 50.000 dolar untuk satu tim yang maksimal beranggotakan lima orang, ditambah 10.000 dolar unfuk setiap peserta tambahan dengan jumlah maksimum tujuh orang. Selain itu, Pemerintah Nepal juga membatasi tim ekspedisi yang diizinkan mendaki Everest dari wilayah Nepal dalam satu musim pendakian menjadi maksimal empat tim.

Yang tidak diperhitungkan Pemerintah Nepal adalah kenyataan Pemerintah Cina hanya menetapkan tarif 15.000 dolar untuk setiap tim yang ingin mendaki dari arah Tibet tanpa mambatasi jumlah anggota tim, maupun jumlah tim ekspedisi dalam satu musim pendakian. Karena itu, gelombang pendaki Everest, mengalihkan kegiatan mereka dari Nepal ke Tibet, menyebabkan ratusan suku Sherpa kehilangan pekerjaan. Protes dan jeritan suku Sherpa membuat Pemerintah Nepal, pada musim semi 1996, secara mendadak menghapuskan aturan yang membatasi jumlah tim pendaki hingga maksimal empat tim. Pada saat yang sama, mereka menaikkan tarif perizinan menjadi 70.000 dolar untuk setiap tim yang maksimal beranggotakan tujuh orang, ditambah biaya tambahan sebesar 10.000 dolar untuk setiap peserta tambahan. Mengingat bahwa enam belas dari tiga puluh tim yang mendaki Everest musim semi lalu mendaki jalur yang berada di wilayah Everest musim semi lalu mendaki jalur yang berada di wilayah Nepal, menunjukkan bahwa mahalnya tarif perizinan tampaknya tidak mengurangi minat para pendaki.

Bahkan sebelum pendakian pramusim penghujan pada 1996, yang berakhir dengan bencana itu, meningkatnya komersialisasi Everest selama satu dekade terakhir sudah sering memicu kritikan. Para pendaki tradisional berang karena puncak tertinggi dunia tersebut dijual kepada para penjelajah yang kaya raya – beberapa dari mereka, jika tidak dibantu seorang pemandu, mungkin akan kesulitan mencapai puncak gunung dengan ketinggian menengah seperti Mount Rainier sekalipun. Puncak Everest, kecam para pendaki tradisional, sudah direndahkan derajatnya dan dicemarkan.

Para kritikus juga menambahkan bahwa berkat komersialisasi Everest, puncak yang dulunya suci sekarang dikotori oleh campur tangan hukum Negara Amerika Serikat. Setelah membayar cukup mahal untuk dipandu mencapai Puncak Everest, sejumlah pendaki menuntuk pemandu mereka karena tidak berhasil mencapai puncak. “Kadang-kadang Anda mendapat klien yang merasa bahwa mereka sudah membeli tiket yang menjamin mereka sampai ke puncak,” keluh Peter Athans, seorang pemandu kawakan yang sudah sebelas kali mendaki Everest dan empat kali mencapai puncak. “Banyak yang tidak memahami, bahwa ekspedisi ke Puncak Everest tidak selalu berjalan lancar seperti kereta api di Negara Swiss.”

Sayangnya, tidak semua tuntutan tentang Everest tidak berdasar. Beberapa perusahaan pendakian yang tidak bonafide, berkali-kali gagal menyediakan perlengkapan logistik yang sangat penting – misalnya tabung oksigen – sesuai dengan perjanjian. Dalam beberapa ekspedidi, hanya pemandu yang berhasil sampai ke puncak, meninggalkan semua klien yang sudah membayar mahal, membuah klien mereka kecewa dan menuduh bahwa mereka diajak untuk sekadar menutup biaya perjalanan pemandu. Pada 1995, seorang pemilik perusahaan ekspedisi komersial melarikan uang kliennya sebesar sepuluh ribu dolar bahkan sebelum pendakian dimulai.

Maret 1995, aku dipanggil dan ditawari oleh editor majalah Outside untuk ikut dalam sebuah ekspedisi Everest yang dipandu, yang dijadwalkan akan berangkat dalam lima hari, dan aku diminta untuk menulis artikel tentang menjamurnya komersialisasi pendakian Everest serta berbagai kontroversi seputar masalah itu. Majalah tersebut tidak memintaku untuk ikut sampai ke puncak; si editor hanya memintaku untuk ikut sampai Base Camp dan melaporkan ceritaku dari Gletser Rongbuk Timur, kaki gunung yang terletak di wilayah Tibet. Aku mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh penawaran mereka – aku bahkan sudah memesan tempat dan melakukan beberapa imunisasi yang diperlukan – tetapi mundur pada menit-menit terakhir.

Karena selama beberapa tahun terakhir aku memandang rendah Puncak Everest, cukup beralasan jika orang-orang beranggapan bahwa penolakanku dipicu oleh pandanganku tersebut. Kenyataannya, tawaran majalah Outside secara tidak terduga menghidupkan kembali keinginan besar yang sudah lama kupendam. Aku menolak penugasan tersebut, karena aku yakin, aku akan frustasi jika harus tinggal selama dua bulan di bawah bayang-bayang Everest tanpa boleh mendaki lebih tinggi dari Base Camp. Jika aku memang harus melakukan perjalanan ke belahan dari bumi ini, dan menghabiskan delapan minggu jauh dari istri dan rumahku, aku harus diberi kesempatan untuk mendaki gunung tersebut.

Aku meminta kepada Mark Bryant, editor Outside, untuk megundurkan penugasanku selama dua belas bulan (sehingga aku bisa melakukan latihan fisik yang dibutuhkan untuk ekspedisi seperti itu.) Aku juga meminta kepada majalah Outside untuk mendaftarkan diriku sebagai klien perusahaan pendakian yang lebih bonafide – serta membayar biaya pendakian sebesar 65.000 dolar – untuk memberiku kesempatan benar-benar mencapai puncak. Aku tidak sungguh-sungguh berharap permintaanku akan dikabulkan. Selama lima belas tahun terakhir, aku sudah menulis lebih dari enam puluh artikel untuk majalah Outside, tetapi biaya perjalanan untuk masing-masing penugasan biasanya tidak lebih dari dua ribu atau tiga ribu dolar.

Bryant menelponku sehari kemudian setelah dia mengadakan pertemuan dengan penerbit Outside. Menurutnya, majalah tersebut tidak bersedia menutupi biaya perizinan sebesar 65.000 dolar, tetapi dia dan beberapa editor lain percaya bahwa komersialisasi Everest merupakan topik yang penting. Jika aku sungguh-sungguh ingin mendaki gunung itu, katanya bersikeras, majalah Outside akan berusaha untuk mewujudkan keinginanku.

Selama tiga puluh tahun menyebut diriku sebagai pendaki, aku sudah mendaki beberapa puncak yang cukup sulit. Di Alaska, aku pernah mendaki sebuah jalur baru dan sempit bernama Mooses Tooth, melakukan pendakian solo ke puncak Devils Thumb, yang memaksaku untuk tinggal sendirian selama tiga minggu dia atas sebuah puncak gunung es yang terpencil. Aku juga sudah mendaki beberapa puncak gunung es yang cukup tinggi di Kanada dan Colorado. Dekat ujung selatan Benua Amerika, di tempat angina menerjang daratan seperti “sapu dewa” – la escoba de Dios, demikian nama yang diberikan penduduk setempat – aku pernah dihadapkan pada mengalaman yang sagat menegangkan ketika dipaksa mendaki sebuah dinding granit vertikal setinggi satu mil dinamai Cerro Torre; di bawah terjangan angin dengan kecepatan seratus knot, dan lereng yang tertutup es, gunung itu pernah (meskipun tidak lagi) dianggap sebagai gunung tersulit di dunia.

Namun, semua petualangan itu kulakukan beberapa tahun berselang, beberapa bahkan terjadi lebih dari satu dekade lalu, ketika usiaku masih dua puluh atau tiga puluhan. Sekarang usiaku sudah empat puluh satu tahun, masa jaya fisikku sebagai pendaki sudah lewat, janggutku sudah berubah kelabu, gusi-gusiku memburuk, dan perutku tujuh setengah kilogram lebih berat. Aku sudah menikah dengan seorang wanita yang sangat kucintai – dan mencintaiku. Setelah menemukan karier yang cukup lumayan, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku bisa hidup di atas garis kemiskinan. Kerinduanku untuk mendaki sudah mulai memudar karena berbagai bentuk kepuasan yang kemudian menumpuk menjadi sesuatu yang umum disebut kebahagiaan.

Selain itu, gunung-gunung yang pernah kutaklukkan tidak ada yang lebih tinggi dari gunung dengan ketinggian menengah. Terus terang, aku belum pernah mendaki gunung yang lebih tinggi dari 17.200 kaki – artinya tidak lebih tinggi dari Base Camp Everest.

Sebagai orang yang rajin mengikuti sejarah dunia pendakian, aku tahu Everest telah menewaskan lebih dari 130 orang sejak tim ekspedisi Inggris pertama kalinya mendaki pada 1921 – artinya satu kematian untuk setiap empat pendaki yang berhasil mencapai puncak – dan mereka yang tewas tersebut memiliki kekuatan fisik serta pengalaman mendaki yang jauh lebih baik daripada diriku. Namun, impian masa kanak-kanak ternyata sulit dipadamkan; lagipula persetan dengan akal sehat ! Akhir Februari 1996, Bryant menelpon dan mengatakan bahwa satu tempat kosong masih tersedia dalam tim ekspedisi Rob Hall yang berikutnya. Ketika dia bertanya, apakah aku bersungguh-sungguh dengan niatku, aku menjawab ya, bahkan tanpa berhenti sekejap pun untuk menarik napas.


[*] Puncak-puncak tertinggi di tujuh benua adalah : Everest, 29.028 kaki (Asia); Aconcagua, 22.834 kaki (Amerika Selatan); McKinley – dikenal juga dengan nama Denali – 20.230 kaki (Amerika Utara); Kilimanjaro, 19.340 kaki (Afrika); Elbrus, 18.510 (Eropa); Vincon Massif, 16.067 kaki (Antartika); Kosciucko, 7.316 kaki (Australia). Setelah Dick Bass menaklukan ke tujuh punca tersebut, seorang pendaki Kanada bernama Patrick Morrow menyanggah dengan mangatakan bahwa karena puncak tertinggi di wilayah Oceania, kelompok kepulauan trmasuk Australia, bukan Kosciusko melainkan puncak lain yang lebih sulit didaki, yaitu Cartenz Pyramid (16.535 kaki) yang terletak di Provisi Irian Barat, Indonesia (sekarang Papua). Dengan demikian menurut Morrow, Bass bukanlah orang pertama yang menaklukkan Tujuh Puncak – melainkan dia, Morrow. Bukan satu saja yang mengkiritik konsep Tujuh puncak tersebut, dengan mengatakan bahwa mendaki puncak tertinggi kedua di tiap benua lebih sulit ketimbang mendaki Tujuh Puncak tertinggi di dunia, beberapa diantaranya merupakan puncak yang sangat sulit didaki.

2 Comments:

At June 10, 2014 4:25 PM, Blogger globepin.blogspot said...

keren om, ane mau pergi ke EBC melalui tibet tgl 12 juni ini, mgkn bisa dilihat reviewnya di www.initial-hkos.blogspot.com

 
At September 23, 2015 1:36 PM, Blogger Aya said...

Indeed semoga setelah film Everest tayang, nasibnya gak sama kayak semeru

 

Post a Comment

<< Home