INTO THIN AIR - Kisah Tragis pendaki Everest ( Part 8 - Bab 2 Dehra Dun, India 1852 2.234 kaki*end*)
Sebelumnya, Everest secara umum dianggap sebagai wilayah para pendaki elite. Seperti yang diucapkan oleh Michael Kennedy, editor majalah Climbing, “Diundang untuk ikut dalam ekspedisi Everest merupakan kehormatan yang hanya akan Anda peroleh setelah cukup lama dan cukup terlatih mendaki puncak-puncak yang lebih rendah. Dan, jika Anda benar-benar berhasil menalkukannya, Anda akan dianggap sebagai bintang oleh pendaki elite.” Keberhasilan Bass mencapai puncak mengubah semua itu. Setelah berhasil menundukkan Everest, Bass menjadi orang pertama yang berhasil menundukkan Tujuh Puncak[*], membuat namanya termasyhur di seluruh penjuru dunia, memicu para pendaki gunung akhir pecan untuk mengikuti jejak petualangannya, dan dengan kasar menarik Everest ke dalam era pascamodern.
“Bagi seorang pengkhayal yang beranjak tua seperti aku, Dick Bass merupakan inspirasi,” Beck Weathers, yang terlahir di kawasan pantai, berkata dengan aksen Texasnya yang kental dalam perjalanan ke perkemahan Everest pada April lalu. Patologis berusia empat puluh sembilan tahun dan penduduk
Bagi sejumlah besar pendaki – sesuai dengan catatan yang ada – meninggalkan rutinitas sehari-hari ternyata bukan hambatan yang sulit diatasi, begitu pula soal biaya yang besar. Selama setangah dekade terakhir, jalur-jalur yang menuju Tujuh Puncak, terutama yang menuju Puncak Everest, terus bertambah ramai. Seiring dengan meningkatnya permintaan, jumlah perusahaan komersial yang menawarkan jasa pemandu untuk mendaki Tujuh Puncak, terutama Puncak Everest, ikut meingkat pula. Selama musim semi 1996 saja tiga puluh ekspedisi besar tercatat mendaki Everest, sedikitnya sepuluh tim diantaranya dikelola untuk mencari keuntungan.
Pemerintah
Tetapi jumlah pendaki yang ingin menaklukan Everest terus saja meningkat, meskipun tarif terus dinaikkan. Pada musim semi 1993, empat puluh tahun setelah Everest ditaklukkan untuk pertama kalinya,
Yang tidak diperhitungkan Pemerintah
Bahkan sebelum pendakian pramusim penghujan pada 1996, yang berakhir dengan bencana itu, meningkatnya komersialisasi Everest selama satu dekade terakhir sudah sering memicu kritikan. Para pendaki tradisional berang karena puncak tertinggi dunia tersebut dijual kepada para penjelajah yang kaya raya – beberapa dari mereka, jika tidak dibantu seorang pemandu, mungkin akan kesulitan mencapai puncak gunung dengan ketinggian menengah seperti
Sayangnya, tidak semua tuntutan tentang Everest tidak berdasar. Beberapa perusahaan pendakian yang tidak bonafide, berkali-kali gagal menyediakan perlengkapan logistik yang sangat penting – misalnya tabung oksigen – sesuai dengan perjanjian. Dalam beberapa ekspedidi, hanya pemandu yang berhasil sampai ke puncak, meninggalkan semua klien yang sudah membayar mahal, membuah klien mereka kecewa dan menuduh bahwa mereka diajak untuk sekadar menutup biaya perjalanan pemandu. Pada 1995, seorang pemilik perusahaan ekspedisi komersial melarikan uang kliennya sebesar sepuluh ribu dolar bahkan sebelum pendakian dimulai.
Maret 1995, aku dipanggil dan ditawari oleh editor majalah Outside untuk ikut dalam sebuah ekspedisi Everest yang dipandu, yang dijadwalkan akan berangkat dalam lima hari, dan aku diminta untuk menulis artikel tentang menjamurnya komersialisasi pendakian Everest serta berbagai kontroversi seputar masalah itu. Majalah tersebut tidak memintaku untuk ikut sampai ke puncak; si editor hanya memintaku untuk ikut sampai Base Camp dan melaporkan ceritaku dari Gletser Rongbuk Timur, kaki gunung yang terletak di wilayah
Karena selama beberapa tahun terakhir aku memandang rendah Puncak Everest, cukup beralasan jika orang-orang beranggapan bahwa penolakanku dipicu oleh pandanganku tersebut. Kenyataannya, tawaran majalah Outside secara tidak terduga menghidupkan kembali keinginan besar yang sudah lama kupendam. Aku menolak penugasan tersebut, karena aku yakin, aku akan frustasi jika harus tinggal selama dua bulan di bawah bayang-bayang Everest tanpa boleh mendaki lebih tinggi dari Base Camp. Jika aku memang harus melakukan perjalanan ke belahan dari bumi ini, dan menghabiskan delapan minggu jauh dari istri dan rumahku, aku harus diberi kesempatan untuk mendaki gunung tersebut.
Aku meminta kepada Mark Bryant, editor Outside, untuk megundurkan penugasanku selama dua belas bulan (sehingga aku bisa melakukan latihan fisik yang dibutuhkan untuk ekspedisi seperti itu.) Aku juga meminta kepada majalah Outside untuk mendaftarkan diriku sebagai klien perusahaan pendakian yang lebih bonafide – serta membayar biaya pendakian sebesar 65.000 dolar – untuk memberiku kesempatan benar-benar mencapai puncak. Aku tidak sungguh-sungguh berharap permintaanku akan dikabulkan. Selama
Bryant menelponku sehari kemudian setelah dia mengadakan pertemuan dengan penerbit Outside. Menurutnya, majalah tersebut tidak bersedia menutupi biaya perizinan sebesar 65.000 dolar, tetapi dia dan beberapa editor lain percaya bahwa komersialisasi Everest merupakan topik yang penting. Jika aku sungguh-sungguh ingin mendaki gunung itu, katanya bersikeras, majalah Outside akan berusaha untuk mewujudkan keinginanku.
Selama tiga puluh tahun menyebut diriku sebagai pendaki, aku sudah mendaki beberapa puncak yang cukup sulit. Di Alaska, aku pernah mendaki sebuah jalur baru dan sempit bernama Mooses Tooth, melakukan pendakian solo ke puncak Devils Thumb, yang memaksaku untuk tinggal sendirian selama tiga minggu dia atas sebuah puncak gunung es yang terpencil. Aku juga sudah mendaki beberapa puncak gunung es yang cukup tinggi di Kanada dan
Namun, semua petualangan itu kulakukan beberapa tahun berselang, beberapa bahkan terjadi lebih dari satu dekade lalu, ketika usiaku masih dua puluh atau tiga puluhan. Sekarang usiaku sudah empat puluh satu tahun, masa jaya fisikku sebagai pendaki sudah lewat, janggutku sudah berubah kelabu, gusi-gusiku memburuk, dan perutku tujuh setengah kilogram lebih berat. Aku sudah menikah dengan seorang wanita yang sangat kucintai – dan mencintaiku. Setelah menemukan karier yang cukup lumayan, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku bisa hidup di atas garis kemiskinan. Kerinduanku untuk mendaki sudah mulai memudar karena berbagai bentuk kepuasan yang kemudian menumpuk menjadi sesuatu yang umum disebut kebahagiaan.
Selain itu, gunung-gunung yang pernah kutaklukkan tidak ada yang lebih tinggi dari gunung dengan ketinggian menengah. Terus terang, aku belum pernah mendaki gunung yang lebih tinggi dari 17.200 kaki – artinya tidak lebih tinggi dari Base Camp Everest.
Sebagai orang yang rajin mengikuti sejarah dunia pendakian, aku tahu Everest telah menewaskan lebih dari 130 orang sejak tim ekspedisi Inggris pertama kalinya mendaki pada 1921 – artinya satu kematian untuk setiap empat pendaki yang berhasil mencapai puncak – dan mereka yang tewas tersebut memiliki kekuatan fisik serta pengalaman mendaki yang jauh lebih baik daripada diriku. Namun, impian masa kanak-kanak ternyata sulit dipadamkan; lagipula persetan dengan akal sehat ! Akhir Februari 1996, Bryant menelpon dan mengatakan bahwa satu tempat kosong masih tersedia dalam tim ekspedisi Rob Hall yang berikutnya. Ketika dia bertanya, apakah aku bersungguh-sungguh dengan niatku, aku menjawab ya, bahkan tanpa berhenti sekejap pun untuk menarik napas.
[*] Puncak-puncak tertinggi di tujuh benua adalah : Everest, 29.028 kaki (Asia); Aconcagua, 22.834 kaki (Amerika Selatan); McKinley – dikenal juga dengan nama Denali – 20.230 kaki (Amerika Utara); Kilimanjaro, 19.340 kaki (Afrika); Elbrus, 18.510 (Eropa); Vincon Massif, 16.067 kaki (Antartika); Kosciucko, 7.316 kaki (
2 Comments:
keren om, ane mau pergi ke EBC melalui tibet tgl 12 juni ini, mgkn bisa dilihat reviewnya di www.initial-hkos.blogspot.com
Indeed semoga setelah film Everest tayang, nasibnya gak sama kayak semeru
Post a Comment
<< Home