PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian VII
PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN
Bagian VII :
Dingboche (4360 M) – Chhukhung Villages (4750 M) –
Chhukhung RI (5559 M)
Jarak : 8,5 Km
Waktu Tempuh : 3 jam + 3 jam (normal)
The more improbable the situation and greater the demands made on (the climber), the more sweetly the blood flows later in release from all that tension. The possibility of danger serves merely to sharpen his awareness and control. And perhaps this is the rationale of all risky sports. You deliberately raise the ante of effort and concentration in order as were, to clear your mind of trivialties.
It’s a small scale model for living, but with a difference : Unlike your routine life, where mistakes can usually be recouped and some kind of compromise patched up, your actions, for however brieft a period, are deadly serious.
A. Alvarez
The Savage God :
A Study of Suicide
“Dingboche” Pagi, Kamis 02 Nopember 2006 itu masih “buta” dan dingin begitu menusuk tulang, sebagian besar Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar masih bergelung nikmat didalam sleeping bag hangat masing-masing, tetapi “kehebohan” telah terjadi. Sujan tour guide leader kami dan Susanto menggedor pintu kamar Sani Handoko yang sekamar dengan Tjandra Laksanahadi (Didiet) untuk melaporkan bahwa George tidak sadar (nampaknya dari semalam sudah kritis). Mereka bergegas menuju kamar George yang sekamar dengan Susanto dan mendapati George tergolek lemah, tak berdaya, tidak ada respons yang berarti dan matanya sudah tak berkedip dan dominan warna putihnya. Tarikan nafasnya lemah, sulit dan terdengar suara seperti gemuruh air sungai Dudh Kosi dari dada George setiap menarik nafas. Mereka mencoba berkomunikasi tetapi tidak berhasil.
Pagi itu digelar rapat tidak resmi yang singkat dan kita memutuskan harus segera membawa turun George langsung ke
Seperti yang sudah kita ketahui, hampir mustahil mengirim helikopter meskipun untuk penyelamatan nyawa manusia bila tidak ada yang menjamin pembayarannya (cash deposit) oleh seseorang / badan / organisasi di Kathmandu, karena biasanya semua tim pendaki berada di pegunungan. Sistim pembayaran adalah “cash before delivery” artinya, tidak ada uang tunai (US$) jangan harap ada helikopter terbang. Mr. Nava mengatur pengi
Kesibukan pun terjadi dalam rangka mempersiapkan George untuk ditandu ke Pheriche (4280 M), desa di lembah sungai Khumbu Khola (ujung bawah area Khumbu – Glacier), sebelah barat Dingboche sekitar dua kilometer jauhnya yang dapat ditempuh satu jam perjalanan dari Dingboche. Sebagian anggota tim yang memang tidak mendaki
Gambar 35 –
Himalayan Rescue Association dan Tokyo Medical College yang dilengkapi dengan fasilitas kesehatan dan sarana inap yang cukup memadai amat membantu melayani para pendaki memeriksa kesehatan mereka. Klinik tersebut dikawal 2 (dua) orang dokter Amerika dan sejumlah Tim Medis Lokal
Pukul 08.30 rombongan George tiba di klinik yang dioperasikan oleh Himalayan Rescue Asociation (HRA) di Pheriche, yang juga terdapat
Gambar 36 –
Tjandra Laksanahadi (Didiet) di depan klinik di Pheriche, Kamis 02 Nopember 2006
Pheriche adalah “highest point“ terakhir dimana para pendaki berkesempatan memeriksakan kondisi fisik untuk terakhir kalinya. Disini Didiet dan beberapa anggota Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar memeriksakan kondisi fisiknya
Akhirnya Didiet mengutus porter kembali ke Dingboche dengan pesan agar anggota tim yang lain yang kondisinya kurang baik dan punya gejala AMS agar berangkat ke Pheriche untuk diperiksa. Cukup banyak yang berangkat ke Pheriche, antara lain: Tisi, Hani, Olin, Irsan, Irma, Susanto, dan Hasan sekalian menjenguk George. Ide Didiet cukup baik karena menyadari bahwa kondisi sebagian besar Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar di Dingboche ini, sudah “melorot” drastis.
Didiet yang nama lengkapnya Tjandra Laksanahadi adalah anggota Mahitala Angkatan Agni Loka, Sarjana Teknik Sipil Unpar lulusan tahun 1990, memang sudah matang dan berpengalaman. Hanya bekerja satu tahun di bidang Teknik Sipil yang kemudian memutuskan bergabung dengan Accenture Consulting Firm suatu perusahaan konsultan bergengsi waktu itu. Perusahaan ini awalnya bernama SGV Utomo, yang berganti nama menjadi Arthur Anderson, dan bagian consulting nya memisahkan diri dengan nama Anderson Consulting yang akhirnya berubah menjadi Accenture Consulting Firm.
Saat ini Didiet menjabat sebagai Senior Manager setelah bertugas selama 16 tahun di perusahaan Konsultan Multi National yang berbasis di Amerika itu. Suatu prestasi yang membanggakan. Bapak seorang anak yang bernama Reyhan (8 tahun) juga telah mendidik Reyhan untuk menjadi pecinta alam sejati, sadar & mencintai lingkungannya. Reyhan bersama Didiet sudah mengembara ke Gunung Halimun ketika Reyhan berusia 3 tahun, kemudian ke Way Kambas – Sumatera Selatan untuk lebih menggenal alam, satwa liarnya dan mengikuti program pelatihan & pendidikan di alam bebas oleh Pelopor Adventure Camp (PAC) yaitu perusahaan pelatihan manajemen dan pembentukan karakter di alam bebas (Outbound Training Center). Suatu pilihan yang pas telah dibuat Didiet bersama Aning, Ibu Reyhan yang juga bekerja sebagai pemasar produk asuransi dari Manulife Insurance.
George menunggu hampir 2 (dua) jam di klinik Pheriche sebelum helikopter datang sekitar pukul 10.00, hampir bersamaan dengan kedatangan anggota tim lainnya seperti : Hani, Tisi, Olin, Irsan, Irma, Susanto & Hasan yang sekaligus mengantar George terbang ke Kathmandu dan memeriksakan diri mereka, yang nantinya diketahui mereka terkena AMS ringan, baru dalam tahap pusing & mual. Dokter menyarankan bila besok pagi masih pusing maka tidak boleh melanjutkan perjalanan. Bila pusing hilang boleh terus melanjutkan pendakian ketempat yang lebih tinggi.
Suasana perpisahan dengan George amat mengharukan, sebagian rekan hanya diam membisu sambil mengigit bibir bawah, ada beberapa yang menghela nafas dalam dan menitikkan air mata menyaksikan helikopter yang membawa George dan korban porter, hilang lenyap dibatas lazuardi biru menuju Kathmandu. George didudukkan di kursi depan, samping kiri pilot, masih belum sepenuhnya sadar, sedangkan korban porter yang terjatuh ditidurkan dalam tandu dan diletakkan di bagian belakang helikopter, terbaring di lantai helikopter dengan kepala penuh balutan perban yang masih berdarah, dalam kondisi koma.
Gambar 37 –
George terbang ke Kathmandu, Kamis 02 Nopember 2006
Suasana saat mengantar George untuk kembali ke Kathmandu bersama porter group lain yang luka parah dikepala karena terjatuh di jurang sedalam 30 meter.
Haru biru menerpa perasaan kami Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar
Gambar 38 –
Milug di Bibre (4574 M),dan Ama Dablam (6856 M), Kamis 02 Nopember 2006
Milug Tri Sardjono dengan gayanya yang khas, berpose didepan Ama Dablam (6856 M) dalam perjalanan ke Bibre (4574 M) setelah melewati lembah sungai Imja Khola
Pukul 11.30 kami bertujuh tiba di
“Places between Two Rivers“ tampak dari bukit, Kamis 02 Nopember 2006
Tempat ini benar-benar “sunyi“ dan memendam sejuta makna “Places between Two Rivers“, tampak di kejauhan : Tjandra Heru, Ian, porter, dibelakangnya : Lily, Sujan, Chaca dan Milug
Dari Chhukhung RI (5539 M) atau Chhukung View Point (5350 M) bila cuaca bagus dapat dilihat dengan jelas paling tidak keagungan 4 (empat) puncak atap dunia yaitu : Mt. Everest (8848 M) – puncak tertinggi didunia, Lhotse (8501 M) – puncak ke 4 (empat) dunia, Makalu (8463 M) – puncak ke 5 (lima) dunia, dan Cho – Oyu (8201 M) – puncak ke 6 (enam) dunia, semua puncak itu punya ketinggian diatas 8200 M tentunya pengalaman itu tidak dapat dilupakan seumur hidup.
Island Peak (6173 M) dengan burung gagaknya, Kamis 02 Nopember 2006
Island Peak / Imja Tze (6173 M) merupakan puncak gunung yang sering digunakan untuk “aklimatisasi“ oleh para pendaki sebelum ke Mt. Everest (8848 M)
Terkenal dengan burung gagaknya yang agresif dan suka melubangi tenda / benda-benda yang ditinggal tanpa penjaga ketika pendaki melakukan “Summit – Attack“
Setelah makan siang dan beristirahat, Tjandra Heru, Lily Nababan dan Chaca memilih tinggal di Chhukhung Village dan langsung kembali ke Dingboche. Pukul 12.30 kami berempat: Milug, Ian, BHP didampingi Sujan mulai mendaki gunung batu terjal itu Chhukhung RI (5559 M).
Tanjakannya benar-benar maut dan edan. Kaki terasa pegal dan mulai kejang, sedangkan nafas terus tersengal-sengal menuntut supply oksigen lebih. Perjalanan dua setengah jam itu benar-benar menguras tenaga saya, dan membuat saya capai. Radang tenggorokan saya bertambah parah dan sakit dileher tidak hilang sedangkan sakit diare saya sudah sembuh, tapi masih lemas, yang akhirnya terobati lunas setelah melihat pemandangan sangat spektakuler di atas gunung berbatu cadas hitam itu. Banyak foto diambil disini, termasuk foto kami dengan bendera kebanggaan Mahitala Unpar dan Merah Putih. Perjalanan Turun ke Chhukhung Village dilakukan amat cepat, hanya 30 menit.
Trio : Milug, Ian dan BHP di puncak Chhukhung (5350 M), Kamis 02 Nopember 2006
Pemandangan disini sungguh “fantastis“.
Trio Mahitala berpose bersama bendera kebangsaan Mahitala Unpar dengan latar belakang Lhotse (8501 M)
Sang Merah Putih didepan Lhotse-Nuptse Ridge dan Lhotse (8501 M),
Di ketinggian ini dapat dilihat dengan jelas 4 (empat) puncak dunia dengan ketinggian diatas 8200 M, yaitu Mt. Everest (8848 M – 1), Lhotse (8501 M – 4),
Luar biasa ... ...
Pukul 15.30 kami berempat sudah sampai di Chhukhung Village, ternyata Tjandra Heru, Lily Nababan dan Chaca sudah kembali ke Dingboche, maka kami segera kembali ke Dingboche karena tidak ingin kemalaman dijalan. Perjalanan benar-benar dilakukan secara cepat menuruni lembah, menyusuri Imja Khola untuk menuju Dingboche. Udara dingin tidak dirasakan lagi, badan bergerak cepat sehingga sampai di Dingboche pukul 17.30, tepat sebelum keremangan senja menyelimuti Dingboche.
Malam itu udara begitu dingin di Dingboche, sehingga saya malas ke kamar, hanya duduk di dekat perapian yang hangat di restoran sambil mengeringkan sepatu, kaos kaki dan sarung tangan dan pikiran menerawang jauh. Sudah 2 buah kaos kaki saya hangus terbakar selama ini karena melamun di perapian, sedangkan kaos kaki kami dikeringkan di besi panas. Masih tergiang kata-kata Didiet kepada George yang setengah sadar di Pheriche, yang juga diulang di Kathmandu nantinya setelah bertemu George, setelah misi EBC selesai :
“George, eloe itu punya tugas yang lebih mulia dari kami. Secara sadar atau tidak eloe telah menyelamatkan nyawa Porter yang “sekarat” karena ditinggal oleh tim nya setelah jatuh ke jurang 30 meter. Sedangkan kami cuma naik beberapa gunung di Himalaya. Jadi eloe tidak boleh sedih …… “
Dalam benar makna kata-kata itu, begitu menggugah sanubari … … People always thinks as themselves and never understanding about the God’s plan and His purposes … ….
Namaste,
M-78188 AS
0 Comments:
Post a Comment
<< Home