15 June 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian IV

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

Bagian IV :
Aklimatisasi ke Syhangboche Peak (3760 M)
Namche Bazaar (3440 M) – Syhangboche Peak (3760 M) –

Namche Bazaar (3440 M)

“Not only during the ascent but also during the descent my will power is dulled. The longer I climb the less important the goal seems to me, the more indifferent I become to myself.
My attention has diminished, my memory is weakened. My mental fatigue is now greater than the bodily.
It is pleasant to sit doing nothing and therefore so dangerous. Death through exhaustion is like death through freezing a pleasant one”

Reinhold Messner
The Crystal Horizon


Gambar 14 – Everest region : Lower Khumbu – Partha S. Banerjee



Gambar 15
4 sekawan Tim Maoke 1983 - Mahitala Unpar, Senin 30 Oktober 2006
4 sekawan Tim EBC 2006 - Mahitala Unpar, yang juga Tim Maoke 1983 - Mahitala Unpar (dari kiri ke kanan : Tjandra Heru, Hasan Sunardi, Sani Handoko dan BHP) dengan latar belakang Mount Everest (8848 M), Lhotse (8501 M) dan Ama Dablam (6856 M)

“AMS” – (Altitude Mountain Sickness) – kata-kata itu begitu menakutkan bagi para pendaki gunung, termasuk saya. Jujur saja, meskipun saya punya pengalaman mendaki di puncak-puncak tinggi di atas 5000 M dan paling tidak mendaki tiga kali di gunung salju, tetap saja saya takut dan ngeri dengan yang satu ini. Apalagi mengetahui data statistik di Nepal bahwa setiap tahun rata-rata ada 3 pendaki yang tewas karena AMS.

AMS merupakan penyakit yang muncul pada pendaki gunung di ketinggian tertentu yang dapat berakibat fatal yaitu kematian. AMS dapat terjadi pada ketinggian di atas 2800 M tergantung kepekaan badan orang tersebut terhadap ketinggian dan gejala AMS muncul karena badan tidak bisa beradaptasi di ketinggian tertentu. Makin tinggi suatu tempat, maka tekanan udara menurun dan kadar oksigen menipis, oleh karena itu badan manusia harus menyesuaikan diri terhadap kondisi tersebut.

AMS muncul biasanya karena pendaki kurang beraklimatisasi di ketinggian tertentu untuk memberi waktu cukup agar tubuh mampu secara bertahap menyesuaikan dengan ketinggian itu, tipisnya udara serta berkurangnya supply oksigen ke tubuh. Faktor lain yaitu pendaki terlalu capai karena memforsir tenaga untuk mendaki, dan kurangnya cairan dalam tubuh karena dehidrasi akibat kurang minum.

Gejala AMS sebenarnya bertahap dan tidak muncul secara tiba-tiba sehingga seharusnya setiap orang sudah tahu bila timbul gejala AMS pada dirinya, tetapi pada umumnya mereka “gengsi” dan keras kepala tetap bersikukuh merasa “sehat” sehingga memperburuk keadaan. Pengobatan yang paling manjur yaitu segera turun ke tempat lebih rendah dan biasanya gejala AMS akan hilang, kecuali sudah terlalu parah.

Sebenarnya badan kita punya kemampuan beradaptasi di tempat tinggi asalkan diberikan waktu cukup untuk aklimatisasi yang setiap orang berbeda-beda (tergantung genetika / pembawaan dan jam terbang). Bila langsung ke tempat tinggi maka akan terkena AMS. Sebagai contoh, bila seseorang diterbangkan dengan pesawat dari pantai terus mendarat di Mount Everest (8848 M) maka begitu turun dari pesawat hanya sadar beberapa menit, lalu “shock” (koma/pingsan) dan meninggal dunia.

Kalau kita mendaki secara bertahap dan waktu cukup untuk aklimatisasi maka gejala AMS tidak muncul. Setiap orang punya batas ketinggian tertentu (Acclimatisation Line), tergantung pembawaan dan latihan dimana pada batas itu AMS akan muncul bila tidak dilakukan aklimatisasi dengan baik. Proses aklimatisasi yang baik akan menghindarkan gejala AMS.

AMS terjadi karena karena gagalnya badan beradaptasi terhadap suatu ketinggian sehingga banyak cairan berkumpul di antara sel-sel dalam tubuh terutama di paru-paru yang disebut H.A.P.E (High-Altitude Pulmonary Oedema) atau di otak yang disebut H.A.C.E (High-Altitude Cerebral Oedema). Hal ini disebabkan karena supply udara atau oksigen dalam darah berkurang sehingga “ruang kosong” itu diisi cairan tubuh yang menerobos masuk. Gejala HAPE sebagai akibat banyaknya cairan berkumpul di paru-paru adalah : sulit bernafas, sesak, bernafas secara cepat dan pendek-pendek (dog breathing), bahkan bila berhenti dan istirahat akan lebih sulit bernafas. Gejala diikuti batuk-batuk, batuknya kering, sakit dan mengakibatkan iritasi pada tenggorokan. Selanjutnya keluar dahak yang warnanya merah muda karena bercampur dengan percikan darah. Penderita harus segera turun sebelum kehilangan kesadaran.

Sedangkan gejala HACE, sebagai akibat banyaknya cairan yang berkumpul di otak adalah : diawali pusing yang berkepanjangan, menurun/hilangnya nafsu makan, mual-mual dan diikuti muntah-muntah. Gejala selanjutnya sangat capai dan ingin berbaring terus dan tidak ingin mengerjakan sesuatu pun. Pada tingkat akut akan kehilangan keseimbangan (seperti orang mabuk berat) dan hilang koordinasi. Kalau dibiarkan berbaring akan tidur dan merasa nyaman, terus koma dan meninggal dunia. Penderita harus segera turun. Gejala HAPE dan HACE bisa timbul sendiri-sendiri atau timbul bersamaan sebagai suatu kombinasi.

Masing-masing orang punya daya tahan sendiri dan batas ketinggian tertentu (Acclimatisation Line) ada yang di ketinggian 2800 M, 3000 M, 3500 M, 3500 M, 4000 M ….. dll. Untuk pendakian di Nepal biasanya diatur setiap harinya hanya boleh mendaki antara 500 M – 1000 M tergantung daya tahan anggota tim tersebut. Diantara waktu perjalanan itu disisipkan pendakian puncak gunung disekitar lokasi sebelum menuju ke tempat yang lebih tinggi.

Beberapa pencegahan agar tidak meninggal dunia karena AMS :

1) Amati gejala yang timbul pada badan kita.

Setiap orang harus mengerti dan tahu gejala AMS baik itu HAPE atau HACE, seperti : kepala pusing, kehilangan nafsu makan, mual-mual, muntah dan capai sekali. Biasanya ada pemicu (trigger) yang langsung menimbulkan gejala AMS seperti : kepanasan dibawah terik matahari, dehidrasi (kurang cairan dalam tubuh karena kurang minum), kepala terbentur tembok / pintu yang rendah, jatuh, tidur di ruangan berasap, minum obat-obatan yang salah dan berlebihan, batuk / bronchitis, flu.

Untuk kasus Sieling, AMS muncul segera setelah Sieling terjatuh (“ngegelinding”) waktu turun dari restoran panggung di Phunki – Tenga sehingga belakang kepalanya terbentur batu. Begitu gejala AMS muncul agar berhati-hati, jangan naik dan berhenti untuk tinggal beberapa saat agar badan dapat menyesuaikan diri, bila perlu bermalam atau segera turun.

2) Dilarang terus naik dan bermalam di tempat yang lebih tinggi bila sudah muncul gejala AMS

Kalau gejala masih ringan, dapat beristirahat saja, tapi tidak boleh naik. Biasanya karena gengsi orang akan “memaksa” naik karena malu sebab teman seperjalanannya terus naik. Ditemukan data bahwa korban meninggal karena AMS sebesar 80 % terjadi pada group pendaki yang diorganisir dengan baik. Padahal di Nepal pendaki dalam group hanya 40 % saja. Sementara pendaki yang melakukan perjalanan tidak dalam group besar lebih kecil resikonya.

Mengapa..??

Karena dalam suatu group besar biasanya seseorang yang terkena gejala AMS “malu” atau “gengsi” mengakuinya, terlebih karena rekan-rekan seperjalanan lainnya masih segar, tertawa dan terus mendaki. Gejala di tekan sekuat-kuatnya dan berperilaku tetap sehat padahal gejala AMS sudah jelas terlihat dan semakin parah.

Perhatian group leader maupun tour guide terpecah dan baru sadar setelah korban “shock” dan “collapse”, biasanya “hingar bingar” akan muncul, heboh, saling menyalahkan, main perintah, marah dan mengambil tindakan spontan yang kurang tepat dan bahkan memperburuk keadaan korban. Bila group kecil (kurang dari 5 orang) akan lebih aman, karena begitu ada yang sakit biasanya semua berhenti, beristirahat dan bermalam.

3) Segera turun bila gejala AMS terus memburuk dan jangan bermalam di tempat itu.

Biasanya terjadi bila seseorang kurang aklimatisasi, terlalu capai, kurang minum dan sudah berada jauh lebih tinggi di batas ketinggiannya (Acclimatisation Line). Sangat berbahaya bila kondisi seseorang dalam kondisi istirahat tetapi masih sulit bernafas (terkena HAPE) maka harus segera turun.


Apabila seseorang sudah turun ketempat yang lebih rendah dan sudah bebas dari gejala AMS, maka pendaki itu boleh naik lagi secara bertahap dan tidak jarang pendaki itu berhasil sampai puncak.

Beberapa obat yang perlu dibawa untuk membantu mencegah timbulnya gejala AMS.

§ ACETAZOLAMIDE (DIAMOX)

Diamox berguna untuk mengobati sakit kepala dan mual-mual, juga berguna untuk membantu tidur di malam hari di tempat tinggi karena membantu pernafasan.

Dosis yang diperlukan : 125 mg (setengah tablet) setiap 12 jam

Efek samping : - Kesemutan di tangan & kaki tapi tidak apa-apa
- Buang air kecil lebih banyak
- Tidak disarankan bagi yang alergi terhadap belerang / sulphur

§ DEXAMETHASONE (DECADRON)

Obat ini khusus mengurangi gejala yang timbul karena AMS – HACE terutama karena kurang aklimatisasi, seperti kepala pusing yang berat dan berkepanjangan dan gangguan / kehilangan keseimbangan badan. Obat ini punya pengaruh manjur untuk menghilangkan gejala AMS – HACE, meskipun AMS – HACE belum hilang sama sekali tetapi pendaki sudah merasa sembuh sehingga terus melanjutkan perjalanan maka akan lebih berbahaya, karena itu bila obat ini diminum, harus segera turun atau beristirahat total. Baik sudah sembuh dan lewat 24 jam tidak minum obat / serta tidak timbul gejala AMS – HACE, maka boleh melanjutkan perjalanan.

§ NIFEDIPINE

Obat ini khusus mengurangi gejala yang timbul karena AMS – HAPE terutama mengatasi problem jantung dan tekanan darah tinggi. Obat ini telah terbukti mampu mengurangi tekanan dalam pembuluh darah utama arteri di dalam paru-paru.

Dosis awal : 10 mg setiap 8 jam
Pemakaian obat ini juga dibarengi turun segera ketempat yang lebih rendah.

Sebagai contoh : NAMCHE BAZAAR (3440 M), dibulatkan menjadi 3500 M, berarti sewaktu bernafas, tubuh hanya menerima kadar oksigen 64 % dibanding kalau kita bernafas di pantai tepi laut yang kadar oksigennya 100%. Oleh karena itu badan perlu penyesuaian bertahap terhadap berkurangnya oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Gagalnya program aklimatisasi akan berakibat pendaki terkena efek AMS (HAPE / HACE).

Pagi itu, Senin 30 Oktober 2006, sambil menunggu sarapan pagi, saya melemaskan badan (stretching), disamping Shangri-La Lodge tempat kami bermalam, sambil menatap puncak Kwangde (6187 M) yang tertutup salju. Udara begitu dingin hingga saya mengigil, secara otomatis saya melatih 3 jurus dasar “chi-gung” untuk menghangatkan badan. Tak lama saya merasa hangat karena aliran hawa hangatnya mulai mengalir ke tubuh menembus blokade hawa dingin. Terasa energi “chi” gunung itu amat besar. Seseorang mendekati saya, ternyata Samsyuliarto salah satu rekan Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar, angkatan hujan konyal yang pendiam itu. Saya kenal samsu belum lama, dan hanya sekali bertemu waktu Sancosh meninggal dunia karena kecelakaan di Denpasar pentas tahun 2006, dan dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta.

Samsu pribadi yang unik, meskipun pendiam tapi cerdas, penuh perhatian dan ingin selalu membantu rekannya yang menemui kesulitan. Saya merasa dekat dengannya karena ada persamaan pendapat dibeberapa hal.

Lelaki kidal ini ternyata menguasai tari Bali dan Vegetarian tulen serta mempunyai tingkat spiritual yang kuat. Selain itu Samsu memperdalam kemampuan mengolah energi murni tubuh dengan tujuan pengobatan (healing) yang biasanya dapat dikirim ke tempat lain guna pengobatan jarak jauh. Hal ini juga saya yakini dan pelajari sewaktu bergabung dengan Merpati Putih, kemudian Kalimasada (juga Teddy Gozali dan Frans Setiawan yang saat itu sering berjumpa waktu ujian kenaikan tingkat) beberapa tahun silam. Sekarang Samsu mengelola kegiatan sejenis “out-bound” atau pelatihan “outdoor life” untuk remaja & umum dengan tenaga pelaksana pemuda lokal Bali untuk tunjang kegiatannya. Rasa setia kawannya terlihat dalam hubungan sehari-hari dengan teman, tetangga, terutama almarhum rekan Sancosh yang tinggal serumah dengan keluarga Samsu.

Perbincangan singkat pagi itu yang dilanjutkan selama jalan bareng ke Syhangboche Peak tentang betapa besar dan murninya energi chi gunung di Nepal. Pagi itu Syamsu berkata : “Kak Budi, saya bersyukur bisa ke Nepal, ini anugerah Tuhan setelah banyaknya halangan dan hambatan dari keluarga sebelum berangkat”. “Saya sadar bisa sampai ke Namche – Bazaar saja sudah bagus, mengingat perjalanan kemarin sangat berat” sambungnya. Saya termenung mengingat “tanjakan maut” kemarin selepas jembatan Larja Dhoban hingga Namche Bazaar, ternyata beberapa rekan staminanya “melorot” di tanjakan ini. “Sekarang saya sudah puas, kalau tidak memungkinkan, saya akan tinggal saja. Hari-hari selanjutnya akan saya jalani tanpa beban, kalau masih kuat saya terus, kalau sakit akan berhenti dan tunggu rekan-rekan lain” - cetusnya lagi dengan enteng.

Saya diam dan kagum dengan pendapatnya yang sederhana dan pasrah. Kepasrahan ini justru yang membuat Samsu tegar dan mampu menyelesaikan seluruh rangkaian etape ke Everest Base Camp hingga kembali ke Lukla dan Kathmandu.


Gambar 16 - Syhangboche Peak (3760 M) Senin, 30 Oktober 2006
Samsyuliarto – Angkatan Hujan Konyal berpose di sekitar Syhangboche Peak dengan latar belakang gunung Ama Dablam (6856 M) (lihat tanda panah)

Pukul 09.00 kami ber – 17 mulai berjalan menuju Puncak Syhangboche (3760 M) menapaki salah satu jalan batu yang membelah Namche Bazaar kearah barat laut. Lepas jalanan / tangga batu kami mulai mendaki ke lereng lembah barat laut Namche Bazaar menuju Chhorkung (3540 M), suatu bukit diatas Namche Bazaar yang juga merupakan pertemuan jalur pendakian beberapa arah dari Namche Bazaar. Dari Chhorkung, pemandangan sangat indah, tampak Namche Bazaar sebagai kota indah terletak di lembah seperti di dasar mangkok, (NAMCHE = Nauje dalam bahasa Nepali yang artinya dataran rendah (Low Land), juga Kwangde (6187 M) (Gambar 17)
Gambar 17 – Namche Bazaar, Senin 30 Oktober 2006
Namche Bazaar tampak dari Chhorkung. “Nauje – Low Land” ini sebagian terletak di lereng dan dasar “mangkuk raksasa”

Jalanan segera menanjak tajam sampai di Syhangboche air field yang merupakan dataran padang rumput rata di kaki gunung Thamserku (6608 M). (Gambar 18)

Gambar 18 – Thamserku (6608 M), Senin 30 Oktober 2007.
Padang rumput dengan lereng miring dikaki gunung Thamserku, merupakan batas akhir landasan pesawat (Air Strip) sebelum menuju Syhangboche Peak

Lapangan udara kecil ini dibangun awal tahun 1990 dengan tujuan untuk sarana angkut tamu hotel mewah Everest View Hotel dengan pesawat kecil. Konon tarif hotel cukup mahal, berkisar US$ 200 – 250 semalam dengan fasilitas hotel berbintang 4 serta panorama langsung menghadap Mount Everest (8848 M).

Lepas landasan pesawat ini kami mendaki terus hingga puncak Syhangboche (3760 M) sekaligus menikmati indahnya panorama Mount Everest, Nuptse dan Lhotse Ridge dari kejauhan dengan awan-awan putihnya di arah timur laut.

Pada arah tenggara tampak deretan pegunungan tinggi seperti Kangtega (6783 M), Thamserku (6608 M) dan Kusum Kanguru (6367 M). Sungguh indah sekali, cuaca sangat cerah di tingkah angin berdesir dingin mengalahkan terik matahari tersebut. Perjalanan turun dari Syhangboche Peak kembali ke Shangri-La Lodge di Namche Bazaar berlangsung cepat, jalanan menurun tajam. Matahari terik, pemandangan indah tapi sangat silau menatap deretan puncak salju dari “House of Three Snow Peaks” yang terdiri dari : Thamserku, Kangtega dan Khumbila, seolah-olah Namche Bazaar dijaga oleh gunung salju itu.

Gambar 19 – RIP : Colin Douglas Mandel (USA). Senin 30 Oktober 2006.Salah satu tugu peringatan untuk mengenang yang meninggal di Himalaya, lokasi di bukit, sedikit di atas landasan pesawat (Air Strip) di Syhangboche. Model tugu peringatan ini sangat banyak ditemukan di sepanjang Himalaya Trek. Menurut data, selama ini 2000 orang sudah mendaki ke Mount Everest (8848 M) dan 200 orang yang meninggal

Tiba di Shangrila Lodge langsung ke restoran untuk makan siang dan bertemu rekan lain, a.l : Sieling, Ambrin, Irma, Tisi …dll. Acara makan siang sangat seru karena Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar buka lagi logistik yang dibawa dari Jakarta. Menu hari itu ada tambahan dendeng “sapi pendek” dan daging semur “sapi pendek” dalam kaleng yang sangat lezat aroma dan rasanya.

Sempat “kasihan” juga dengan rekan yang lainnya seperti Tjandra Laksanadi (Didiet), Milug dan Ambrin yang pantang menyantap “sapi pendek” itu, sebagai gantinya mereka mendapat jatah abon “sapi tinggi” yang terus dipegang Didiet dan “tidak berbagi” dengan yang lain. Acara makan siang itu amat “heboh” dan tak beraturan yang sempat membuat pendaki negara lain “terganggu” dan merasa “tersisih”. Kadang-kadang gaya “Mahitala” kalau kelewat batas juga kurang baik, terutama bila ada pihak lain.

Saya sempat mendengar cerita bahwa rekan lain yang tidak ke Syhangboche Peak, melakukan aklimatisasi mendaki bukit menuju “gompa” di dekat Namche Bazaar untuk ketemu Lhama disana dan berdoa bersama penduduk local lainnya yang berdatangan dari desa sekitar Namche Bazaar seperti Phurtse – Thamu - Thame. Setelah itu beberapa rekan ke tempat wisata, bengkel perbaikan helikopter Rusia yang jatuh, ke kantor pos,….dll. Karena aklimatisasi bisa berjalan kemana saja tanpa harus mendaki bukit / gunung.

Saya mengamati bahwa Tim makin kompak, penuh canda ria. Yang paling rapi dan selalu memakai perlengkapan sempurna termasuk 2 bundel tas kamera yang tidak kurang dari 5 kg, juga trekking pole & kaca mata hitamnya adalah Suhanto, Angkatan Agni Loka. Suhanto saat ini menetap di San Diego USA : Sarjana Teknik Sipil Universitas Parahyangan ini memang tampil prima, sifatnya tertib, disiplin dan lugas. Saat ini Suhanto bersama Elly WU sedang mengorganisir bantuan kemanusiaan dari Amerika ke pulau Nias. Saya tantang Suhanto untuk mempersiapkan pendakian ke Aconcagua (gunung tertinggi di Rocky Mountains – Amerika Selatan) atau Mc Kinley (gunung tertinggi di Alaska – Amerika Utara) tahun 2009. Siapa tahu mimpi-mimpi ini akan menjadi kenyataan. Bukankah mimpi adalah kenyataan di masa depan? bila terus di kejar pantang menyerah……. Lets pursue it until the dream come true as a reality in the future…… isn’t.???

Namaste,

Budi Hartono Purnomo

M-78188 AS


1 Comments:

At May 29, 2008 10:38 AM, Blogger genx said...

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,...jadi kepingin naik gunung jg hehehe

 

Post a Comment

<< Home