05 June 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian III

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

Bagian III :

Phakding (2610 M) Namche Bazaar (3440 M)

Jarak : 10,5 Km

Waktu Tempuh : 5 jam (Normal)

“Long live – Marxism – Leninism

Maoism and Prachanda Path !!

Long live – Great Nepali Revolution !!”

“We want to give a New Message of Liberation to the World by Erecting Revolution Flag on the Top of the Mount Everest.

Comrade Prachanda


Gambar 9 – tercipta suasana santai di pos pemeriksaan Maoist setelah saya menyebut nama : Soekarno – Presiden RI – 1

Maoist – Kata itu terus berputar di kepala saya, pemerintah resmi Nepal sering menyebutnya kelompok separatis Maoist yang mencoba mendirikan pemerintahan tandingan. Sempat kata “Maoist” menjadi “momok” penduduk setempat termasuk porter dan sherpa. Apalagi disebutkan gerilyawan yang terdiri dari para separatis Mao sering berkeliaran di Everest trek maupun Annapurna trek yang kadang-kadang menyandera turis/pendaki gunung untuk minta tebusan guna membiayai “perjuangan” mereka.

Terlebih sebelum meninggalkan Indonesia, tanggal 23 Oktober 2006 berita-berita tentang gerakan separatis Maoist makin hangat & gencar sampai ke koran dan TV di Jakarta. Waktu itu sempat mencemaskan keluarga di Jakarta karena gerakan separatis Mao meningkat dan cenderung “memberontak” untuk mendirikan Negara baru yang liberal. Mr. Nava dari First Environmental Trekking sempat berpesan “bisa saja perjalanan dibatalkan bila bertemu dengan gerilyawan Maoist yang kadang tidak kenal kompromi dan situasi dinilai tidak aman”.

Rasa was-was itu sempat menggumpal ketika kami mendekati pos Maoist selepas jembatan gantung baja di ujung utara Phakding. Kami harus melapor, mendaftar dan diperiksa surat ijin pendakian serta ditarik biaya NRs 100/hari per orangnya (tiap orang membayar NRs 1300 untuk 13 hari perjalanan, total NRs 27300 = Rp. 3.276.000,- untuk 21 orang selama 13 hari di Himalaya).

Rupanya gerilyawan Mao membangun pos di utara Phakding, guna menggalang dana untuk membiayai “perjuangan” mereka. Di pos tersebut berdiri 2 (dua) tenda, meja & kursi untuk petugas, bendera Mao dan spanduk yang menjelaskan mengapa mereka menarik “upeti” NRs 100/hari-orang. Sepintas tampak gagang senapan laras panjang menyempul dari balik tenda, sekilas seperti model AK-60 dan M-16.

Suasana kaku menjadi cair setelah terjadi dialog ringan antara Tim EBC 2006 Mahitala Unpar dengan penjaga pos. Ada hal-hal lucu, mereka mengira saya orang Nepal, karena itu saya katakan benar saya Nepali : papa Gurkha, mama Sherpa dan mereka tertawa. Ketika saya tanyakan “tahu Indonesia?”, mereka jawab tidak, ketika saya tanyakan lagi “tahu Bali?”, mereka juga jawab tidak. Setelah termenung, saya tanyakan lagi “tahu Soekarno?”, mereka terdiam, yang dua orang menggeleng, yang satu menjawab lirih “tahu, pernah dengar dan baca ceritanya……hah……surprise juga. (Gambar 9)

Sikap mereka berubah lebih ramah dan bersemangat menjelaskan tujuan perjuangan mereka, kemudian mereka menepuk pundak saya dan berkata “kita bersaudara…(???)”. Mereka ramah karena anggota Tim EBC 2006 Mahitala Unpar sopan, juga ramah, tertib dan mau berkomunikasi. Satu hal yang jelas, karena Tim EBC 2006 Mahitala Unpar membantu mendanai perjuangan mereka dengan sumbangan senilai Rp 3.276.000,- …wallahuallam… .

Perjalanan ke Namche Bazaar dilanjutkan lagi, Minggu pagi 29 Oktober 2006 itu, terus ke utara mendaki perbukitan berpanorama indah lewat Zamphute dan Toktok. Setelah menyeberang jembatan gantung lagi diatas Dudh Kosi, kita tiba di Waterfall Rest House Lodge di tepi air terjun yang indah di kaki gunung Thamserku (5608 M). Restoran dan lodge ini dikelola warga negara Jerman di desa Benkar. (Gambar 10)

Gambar 10 – Gunung Thamserku (5608 M) terlihat gagah selepas Benkar. Kalau diperhatikan tampak patung Buddha “terpekur” di kanan atas pada tebing berwarna hitam (lihat tanda panah)

Waktu istirahat sambil menikmati air terjun dan udara dingin, saya buka termos air panas dan memasukkan daun teh kering (Oolong Tea – pemberian Sieling) yang langsung tumpah ke termos dalam jumlah banyak, karena sayang daun teh itu tidak saya buang dari thermos, terlalu pekat juga tidak apa-apa pikir saya. Ternyata hal seperti ini nantinya membuat “problem serius” bagi saya karena sulit tidur di malam hari, alias mata “nyalang” terus karena kebanyakan minum Oolong Tea pekat dalam jumlah banyak.

Dari Benkar sedikit mendaki dengan pemandangan indah dan gemuruh suara Dudh Kosi di bawah, kami sampai di Chumua terus mendaki hingga tiba di Monjo (2840 M), sudah setengah jalan ke Namche Bazaar kami makan siang di Namaste Lodge tampak Sieling sudah sampai di Monjo dan sedang membantu memasak di dapur. Salah satu menu adalah Momo (Nepalese Dumpling – isi sayuran) yang rasanya cukup aneh di lidah kami.

Semua masakan Nepal beraroma & rasa kari, nasi goreng rasa kari, mie rebus rasa kari, momo juga rasa kari…… Atas inisiatif sendiri, Sieling membantu pemilik restoran menyiapkan makan siang kami. Sieling adalah ibu dari 3 orang anak (lelaki usia 17 tahun dan 15 tahun, yang perempuan berusia 13 tahun), juga anggota Mahitala Angkatan Gunung Batu, meskipun berstatus ibu rumah tangga, tetapi tetap aktif melakukan perjalanan ke alam bebas, dan rupanya status ibu rumah tangga tidak mampu mengekang hasrat Sieling untuk terus mengembara di alam bebas.

Ibu yang satu ini memang “lain” dibanding dengan ibu-ibu pada umumnya, terbukti tanggal 19 Maret 2007 sampai 22 April 2007 Sieling ternyata kembali ke Nepal seorang diri, kemudian bersama Sujan (tour leader kami), Binsin (porter) dan porter lain kembali mengembara ke Himalaya, mengulang perjalanan tahun 2006 yang belum tuntas dan sempat ke Gokyo dan sebagian Annapurna trek, sebelum dihentikan pengembaraannya karena ada operasi dari gerilyawan separatis Mao.

Lepas dari Monjo, jalanan datar dan sedikit menurun ke Jorsale (2805 M) sempat berjalan di dasar sungai Dudh Kosi yang dibeberapa bagian kering dan merupakan pemandangan yang agak lain, jalanan pasir diseling batu besar dan gemericik air sungai. Tempat ini sebenarnya cocok untuk “camping” karena indah pemandangannya. Jalanan kemudian mendaki tajam tanpa henti hingga sampai di atas jembatan Larja Dhoban Bridge (dibangun pemerintah Swiss tahun 1980) diatas pertemuan sungai Dudh Kosi dengan Bothi Kosi yang datang dari sebelah barat. Bekas-bekas kerusakan karena banjir pada bulan September 1977 masih jelas terlihat. Di kedua sisi aliran sungai tampak bekas gerusan air bah. Diatas bukit, disisi kanan sungai kami menemui beberapa rumah penduduk di kedua sisi jalan. Tampak beberapa anak kecil asli Nepal bagian utara asyik bermain. Rata-rata mereka “beringus” karena tinggal di daerah tinggi dan dingin, selain kebersihan lingkungan dan fasilitas kesehatan belum memadai. (Gambar 11)

Gambar 11 – Beberapa anak Nepal dikawasan utara yang didominasi etnis Sherpa yang bercirikan : badan pendek, gempal, bermata sipit, rahang dan dagu keras berbentuk segi empat

Perjalanan semakin berat karena mulai dari sini tanjakan amat terjal dan berat. Masih ada beda ketinggian 700 M dengan Namche Bazaar, dan para porter menyebutnya “tanjakan maut”.

Disarankan pada etape ini agar berjalan perlahan, atur nafas dan tidak boleh terburu-buru karena pengaruh ketinggian tempat terhadap badan kita mulai terasa. Penyakit ketinggian di gunung, yaitu : Altitude Mountain Sickness (AMS – HAPE/HACE) mulai menunjukkan gejalanya (pusing, mual, sesak nafas dan letih berkepanjangan), terutama bagi pendaki yang terlalu memforsir tenaga hingga capai, kurang minum dan kurang aklimatisasi.

Tanpa sadar, saya berjalan cepat bersama Sujan (tour guide), Milug, Chandra Heru dan Lily Nababan untuk mengejar tiba di suatu tempat di Larja (pada suatu celah gunung) untuk dapat melihat puncak Mount Everest pertama kalinya sebelum tertutup awan.

Pukul 15.30 kami tiba di celah itu, beruntung masih tampak Mount Everest dan Lhotse, serta Nuptse Ridge dengan awan putihnya yang berarak, sempat saya menahan nafas melihat panorama itu (oh Tuhan……… saya akhirnya bisa melihat Mount Everest dengan mata telanjang untuk pertama kalinya), Sujan (tour guide kami) menjelaskan posisi gunung-gunung itu. (Gambar 12)

Gambar 12 – Dari celah gunung di Larja tampak Mount Everest (8848 M), Lhotse (8501 M) dan Nuptse Ridge

Namche Bazaar masih sekitar 1,5 Km dari sini, meskipun tanjakan agak berkurang, tapi cukup tajam menurut ukuran kami. Karena pengaturan yang kurang benar serta mau cepat agar masih sempat melihat Mount Everest, sisa perjalanan ke Namche Bazaar saya rasakan makin berat. Beberapa kali kaki saya mulai kejang dan sakit, untung tidak sampai “kram”. Pengaruh ketinggian mulai terasa, nafas sesak (berat), paru-paru sering terasa kekurangan oksigen.

Bernafas dibantu mulut, masih tersengal-sengal dan terasa oksigen tidak cukup. Seringkali berhenti jalan untuk mengatur nafas. Saya bisa bayangkan betapa lelah nya George dan Susanto yang mendapat tugas sebagai Tim Penyapu di lintasan ini. Seperti kita ketahui, menunggu rekan lain yang berjalan pelan adalah bukan pekerjaan mudah, butuh kesabaran.

Karena sering berhenti malah membuat badan lebih capai. Akhirnya pukul 17.00 saya sampai di Namche Bazaar, “kota” ini sudah tampak di kejauhan berupa deretan bangunan berwarna cerah, dengan “chorten” warna putih yang sangat besar, kuil dan susunan bangunan rapi bertengger di lereng bukit. Untuk masuk kota harus lewati “kaanis” yang dihiasi lukisan Nepal warna merah yang sangat indah.

Sore itu saya sempat berkunjung ke pasar tradisional yang menjual barang dagangan dengan cara di gelar di lapangan, macam “sogo – jongkok” di jalan Fachrudin Tanah Abang Jakarta “tempo doeloe”. Barang yang dijual kebanyakan perlengkapan pendakian, mulai dari sepatu, sandal, jaket, celana sampai ransel. Kualitas cukup bagus, harga sangat murah karena buatan Cina dan dibawa dari daratan Cina / Tibet ke Namche Bazaar menembus pegunungan Himalaya dengan Yak. (Gambar 13)

Gambar 13 – Namche Bazaar (3440 M) dengan “sogo – jongkok”nya. Disini setiap sabtu dan minggu ada pasar kaget, dimana pedagang mengelar dagangannya di tanah. Harga murah, kualitas baik

Benar-benar Negara Cina ini tidak mau menyia – nyiakan kesempatan untuk melempar hasil produksinya, termasuk ke Namche Bazaar-Nepal menembus celah pegunungan Himalaya. Indonesia saat ini juga “pusing” atas serbuan barang-barang made in Cina, mulai dari perlengkapan pertukangan ringan (Rp. 10.000,- 2 buah : tang & obeng) sampai celana jin hanya Rp. 60.000,- atau kaos kilo-an yang dihargai Rp. 5.000 – Rp. 10.000 / buah), juga ada sepeda motor seharga Rp. 4 – 5 juta, keramik kecil (pot, gelas, hiasan) serba Rp. 5.000,-Kondisi ini mungkin menguntungkan konsumen, tetapi tidak sehat buat Negara / pasar industri. Tapi itulah bisnis dan persaingan global.

Namche Bazaar seperti “oase” di padang gurun, semua serba ada dari perlengkapan gunung, café Danfe, Hermann Helmer’s bakery, wartel, warnet, money changer, bank, kantor pos, klinik dan lain lain. Tapi tidak ada kendaraan bermotor baik roda 2, 3 atau 4. Semua berjalan kaki di atas jalanan berbatu.

Minggu malam 29 Oktober 2006 itu, saya merasa capai dan tampak beberapa rekan kondisinya tampak merosot drastis, bayangan AMS (Altitude Mountain Sickness) makin jelas, beberapa rekan membeli Diamox, obat untuk mencegah kemungkinan terkena AMS, “momok” yang mulai ditakuti. Pikiran gagal meneruskan pengembaraan karena kena AMS amat menghantui saya. Namun pesona Himalaya yang berarti “abode of snow” with over 1,000 peaks above 6100 M really become my obsession…

Namaste,

Budi Hartono Purnomo

M-78188 AS



0 Comments:

Post a Comment

<< Home