21 June 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian V

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

Bagian V :
Namche Bazaar (3440 M) – Tengboche (3860 M)
Jarak : 10 Km
Waktu Tempuh : 5 jam (normal)

Resham pheeree ree, Resham pheeree ree
Udeyra jaunkee dandaa ma bhanjyang
Resham pheeree ree
My heart is fluttering like silk in the wind
I can not decide whether to fly or to sit on the hill top
Ek naley bunduk, dui naley bunduk, mriga lai takey ko
Mriga lai mailey takey ko hoeina, maya lai dankey ko

One – barrelled gun, two – barrelled gun ? targeted at a deer ?
It’s not the deer that I am aiming at, but at my beloved.

Nepali Folk Songs
Stan Armington


“Resham pheeree ree” : lagu itu begitu popular, enak di dengar dan menyentuh kalbu di sepanjang perjalanan Himalaya trek yang kerap di dendangkan oleh para porter selama pendakian. Kadang-kadang kami ikut berdendang bersama mereka untuk menghibur diri sendiri. Terkadang di malam hari para porter bernyanyi dan menari di lengkapi alat musik semacam “kendang” kecil yang disebut : “madal”. Lantunan lagu itu begitu membekas.
Ternyata “Resham pheeree ree” amat membantu meningkatkan semangat pada etape Namche Bazaar – Tengboche, Selasa 31 Oktober 2006, yang tidak kalah berat dari etape Phakding – Namche Bazaar, apalagi etape kali ini penuh debu kering berterbangan sepanjang jalan. Karena tidak membawa “masker” untuk hidung dan mulut yang memadai, saya hanya memakai syal / torniket Mahitala untuk menutup hidung dan mulut dari serbuan debu yang beterbangan, bercampur dengan kotoran kering yak.

Di etape ini akibat debu, saya mulai terserang radang tenggorokan yang berlanjut terus hingga ke Everest Base Camp dan “gangguan” ini amat mengganggu karena nantinya ketika radang tenggorokan makin parah, untuk menelan air minum tegukan pertama saja sangat sakit sampai keluar air mata.

Lepas dari Namche Bazaar jalanan mendaki tajam ke Chhorkung, baru jalanan datar “melipir” bukit ke kanan menuju jalan pintas ke Tengboche. Di tengah jalan kami beristirahat sebentar di salah satu “chorten” besar yang juga dibuat monumen besar peringatan 50 tahun pendakian Mt. Everest oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay (sebelum Kyangjuma – 3600 M). Di tempat ini kami bertemu : Perthemba Sherpa, salah satu “Sherpa” terkenal di Nepal, yang pernah di undang ke Indonesia untuk memberikan pengarahan mengenai pendakian ke Himalaya. Suasana sangat “heboh” ketika Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar minta tanda tangan dan foto bersama. Saya masih ingat Susanto minta celana panjangnya yang warna putih di tanda tangani. Perthemba Sherpa sosok yang ramah, rendah hati dan dengan sabar meladeni permintaan kami yang kadang-kadang konyol. Sepintas tidak nampak sebagai “Sherpa” terkenal yang juga telah banyak melahirkan buku-buku tentang pendakian gunung-gunung di Himalaya. Perthemba Sherpa sendiri telah beberapa kali ke Mt. Everest; tergabung dengan banyak ekspedisi besar. Saat itu Perthemba Sherpa sedang memimpin sekelompok pendaki Jepang.


Gambar 20 –
Chorten of Everest 50th Anniversary 1953 – 2003, Selasa 31 Oktober 2006

Di chorten “keramat” ini kami Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar bertemu dengan Perthemba Sherpa.

Di chorten ini ada monumen keramat dengan tulisan :

Everest 50th Anniversary 1953 – 2003.

This chorten stands in honour of Tenzing Norgay and the Sherpas of Everest -
all true Tigers of the Snows

Without whose devotion, skill, courage and sacrifice the great mountain Chomolungma would never been climbed.

This chorten is built and blessed with the unerring support of Rolex - Geneva


Gambar 21 –
Perthemba Sherpa di chorten Everest 50th Anniversary, Selasa 31 Oktober 2006
Perthemba Sherpa dan BHP di chorten Everest 50th Anniversary dengan latar belakang Thamserku (6608 M)


Perjalanan dilanjutkan menuju Kyangjuma – 3600 M melipir tebing tinggi dengan lembah dalam di kanan kita dan tampak Dudh Kosi mengalir deras di dasar lembah. Kyangjuma dan Sanasa adalah dua desa yang bernuansa Tibet dan banyak di jual souvenir Tibet disana. Minum teh dan mie Nepal merupakan kenikmatan tersendiri setelah berjalan sepanjang pagi itu. Perjalanan hampir setengahnya, tinggal menuju Tashinga terus ke Phunki Tenga untuk makan siang.

Gambar 22 –
Salah satu etape antara Kyangjuma – Phunki Tenga, Selasa 31 Oktober 2006

Di sebelah kiri pada tebing-tebing terjal sering ditemui : “Himalayan Tahr” (rusa Nepal) sedang nongkrong, di sebelah kanan jurang curam & dalam dengan Dudh Kosi mengalir deras di dasarnya



Dari Sanasa (3600 M) jalanan menurun tajam, berbelok-belok menuju dasar lembah, menyeberang Dudh Kosi, naik sedikit dan tiba di Phunki Tenga – 3250 M. Kadang-kadang saya berpikir dan mengeluh : ……… edan juga dari Namche Bazaar susah payah naik ke Chhorkung (3540 M), naik turun sampai Kyangjuma, terus Sanasa (3600 M), sudah sampai di 3600 M turun ke tepi Dudh Kosi, naik lagi ke Phunki Tenga (3250 M) yang bahkan lebih rendah dari Namche Bazaar (3440 M). Kalau dibayangkan, jarak Phunki Tenga ke Tengboche hanya seperempat dari jarak Namche Bazaar ke Tengboche, tapi kami harus naik 610 M dari Phunki Tenga (3250 M) ke Tengboche (3860 M) dapat di pastikan akan ketemu “tanjakan maut” lagi yang edan seperti waktu naik dari Larja ke Namche Bazaar, waktu itu harus menanjak 700 M untuk sepenggal jalan.

Gambar 23 –
Rhododendron sebelum Phunki Tenga, Selasa 31 Oktober 2006

Rhododendron dengan warna merah cerianya banyak di temui tumbuh di tebing tinggi sebelum Phunki Tenga. Tanaman ini tumbuh di daerah Subalpine dengan ketinggian antara (3000 – 4000) M


Begitu tiba di Phunki Tenga, yang saya cari buru-buru adalah WC. Perut dari tadi sudah “berontak”. Saya sadar, gejala diare sudah dimulai, yang besar kemungkinan karena makan telur setengah matang dan proses masak air minum yang kurang matang di Namche Bazaar. WC hanya merupakan bangunan sementara dari kayu, dengan atap seng ukuran (2 X 3) M2, terletak di lereng tebing, bagian bawah dari papan dengan lubang untuk pembuangan kotoran (tinja). Tidak ada air, tissue atau yang lain, hanya tumpukan daun kering kasar warna coklat, ukuran panjang daun (4 – 5) Cm dan lebar (2 – 3) Cm. Sempat bingung juga melihat tumpukan daun-daun kering itu, berpikir apa fungsinya ? Apa benar untuk pembersih kotoran seperti fungsi kertas tissue karena tidak ada air ??... Atau juga sebagai penimbun kotoran (tinja) di bawah sana ??? Karena bawa tissue, saya pakai tissue untuk pembersih (bisa “hancur” pantat bagian bawah saya kalau pakai daun kering kasar tadi sebagai pembersih), sedangkan daun kering saya pakai menimbun kotoran dibawah. Lega sekali rasanya, kendati perut masih “bergolak” dan “mulas”.

Pemandangan di Phunki Tenga indah, restoran & lodge letaknya di tempat tinggi, di bawahnya ada anak sungai kecil.Kami beristirahat cukup lama untuk kumpulkan energi sebelum tanjakan maut ke Tengboche. Sieling ketika mau turun dari restoran terpeleset dan jatuh kebawah (ngegelinding), belakang kepala terbentur batu dan memar. Setelah ditolong Harry (Sherpa) dan beristirahat sebentar Sieling meneruskan perjalanan ke Tengboche dengan susah payah karena kepala pusing, mual dan ingin muntah. Gejala AMS pada Sieling mulai jelas terlihat yang dipicu (trigger) jatuh dari restoran dan kepala membentur batu. Sejak terjatuh Sieling terus muntah-muntah, terutama setelah minum atau makan.

Perjalanan dari Phunki Tenga ke Tengboche seperti dugaan, amat berat meskipun jaraknya pendek, kami harus mendaki 610 M terakhir untuk mencapai Tengboche lewat hutan setelah Phunki Tenga dan tebing curam dengan jurang dikiri dengan Dudh Kosi di lembahnya. Tanjakan maut itu benar-benar menguras stamina kami, bernafas menjadi sulit meskipun dibantu mulut. Terasa benar dada sesak karena oksigen yang menipis. Seringkali kami berhenti berjalan hanya sekedar untuk menarik nafas dalam-dalam dan menetralkan nafas yang mulai tersengal-sengal. Ketika saya masih “ribet” mengatur nafas dan berpaling kebawah, saya melihat sesuatu yang membuat saya tersenyum dan sekejab penat itu berangsur hilang dan nafas lebih teratur. Di kejauhan sana, masih dilembah saya melihat Carolina Djunaidi (Olin) dengan jaket birunya yang khas. Adikku yang satu ini, memang “top”, yang membuat saya suka tersenyum yaitu melihat badannya yang mungil sering terdorong kedepan karena di lehernya terngantung tas besar isi kamera digital Canon dengan lensa tele-nya, belum “seabreg” asesorisnya. Tampak selintas “lebih besar” tas kameranya dibanding badannya yang mungil, yang terkadang tampak “merepotkan”. Olin nama akrabnya pantang menyerah maju terus meskipun terkadang “terseok” dalam perjalanannya di Himalaya trek. Olin juga anggota Mahitala angkatan Cadas Halimun dengan latar belakang pendidikan arsitektur Unpar. Saat ini Olin berwiraswasta membuka kantor konsultan arsitek : Carolinaarchitect, bergerak dalam renovasi & membangun rumah / kantor dengan disain klasik – ekletik atau semi etnik minimalis. Di sela-sela kesibukannya masih mengajar di studio arsitektur Universitas Pelita Harapan sebanyak 2 kali seminggu @ 3 jam.

Olin memang ulet dan mau belajar, dalam perjalanannya ke Nepal olin rajin memotret detail bangunan kuno, baik bentuk disain atap, pintu, jendela dan segala pernak perniknya yang berguna bagi pekerjaannya, dunia arsitektur itu.

Gambar 24 –
Lhotse
(8501 M), Selasa 31 Oktober 2006

Tampak Lhotse Ridge dengan keindahan yang amat menawan di sore hari dalam perjalanan ke Tengboche


Pukul 17.00 saya tiba di Tengboche, “tanah suci” dan pusat peribadatan dari seluruh desa-desa di area Solukhumbu yang didominasi etnis sherpa. Selama berada di Tengboche dilarang membunuh makhluk apapun atau “menumpahkan darah” ke tanah. Pendatang diingatkan oleh Ngawang Tenzing Zangbu yang di yakini sebagai titisan dari Tengboche tokoh Buddha, bahwa Tengboche adalah “tanah suci” tempat untuk berdoa kepada Tuhan.

Gambar 25 –
Para
Lhama Tengboche, Selasa 31 Oktober 2006

Dari kiri ke kanan : BHP, 3 Lhama Tengboche dan Olin (baris depan) berfoto bersama di pintu utama kuil Tengboche

Udara dingin menusuk tulang di Tengboche tidak menyurutkan semangat rekan-rekan untuk beraktivitas : Samsu dan Olin langsung ke kuil terbesar dan tertua di Solukhumbu area itu (selesai dibangun tahun 1919), Hani, Tisi dan Sani berburu foto matahari terbenam yang semburat cahayanya menerpa puncak Mt. Everest (Chomolungma) yang didampingi Lhotse tampak jelas dari Tengboche seperti lidah api lilin raksasa. Sedangkan Didiet dan George berburu ke warnet didepan Lodge tempat kami menginap. Pemandangan sore itu sangat spektakuler.

Gambar 26 –
Panorama sore ke Chomolungma (8848 M) dari Tengboche, Selasa 31 Oktober 2006

Sore yang indah itu kami beruntung, karena cuaca cerah sempat menikmati pesona senja pada puncak-puncak atap dunia. Tampak rembulan redup mulai menampakkan jati dirinya

Malam itu kami menginap di Himalaya Lodge & Restaurant, sambil menunggu makan malam kami berdesakan duduk di restoran yang hangat karena di kamar sangat dingin. Di restoran hangat karena ada perapian yang dinyalakan dengan bahan dasar kotoran yak yang dikeringkan (Dunk) yang dibuat mirip gumpalan gula jawa. Di ruang makan ada belasan pendaki asing (bule) yang terkagum-kagum melihat “keakraban” dan “kehebohan” kami. Saya masih ingat malam itu Samsu memijat sekujur badan saya terutama kedua lengan, punggung, pundak dan leher. Nyaman sekali, peredaran darah terasa lancar dan sekejab kelelahan hilang, selanjutnya beberapa rekan antri minta di pijat. Saya sempat nyeletuk; “Kalau kita tawarkan ke pendaki “bule” itu, dan ditarik US$ 50/orang, paling tidak bisa kantongi US$ 250 / setiap buka praktek”. Lumayan kan, rekan lain tertawa tetapi Samsu hanya tersenyum.

Malam itu sulit dilupakan, Sieling drop drastis karena hantaman AMS yang dipicu jatuh di Phunki Tenga dan siang itu sempat muntah sedikit cairan dan sisa makanan pagi. Sungguh menderita karena setelah jatuh, selalu muntah bila makan bahkan minum air pun. Karena seringnya muntah, maka tidak ada yang tersisa di perut, bahkan cairan pun sudah kosong, tinggal air liur saja. Menurut Sieling kepala berdenyut sakit seperti mau meledak, mual, lemas, dan telinga mendengung seperti gemuruh air terjun. Tidak ada yang dapat dilakukan selain berbaring dan muntah. Rekan lain heboh dan mencoba ingin membantu / menolong Sieling. Sebagian besar menganut teori tentang AMS, Sieling harus turun ke Phunki Tenga atau Namche Bazaar malam itu, ditemani rekan lain atau porter. Sieling menolak, sempat timbul ketegangan karena rekan-rekan lain menganggap Sieling bandel, keras kepala, tidak mau menurut…… dsb. Akhirnya setelah bersitegang dan “kompromi” diputuskan Sieling akan turun ke Namche Bazaar keesokan harinya ditemani Bhimsen Paneru salah satu porter handal & kuat.

Sieling kemudian cerita bahwa perjalanan turun dari Tengboche – Pungki Tenga – Namche Bazaar, Rabu 1 November 2006 itu bagai perjalanan di “neraka”. Pagi itu darah segar keluar dari hidung, nyaris tidak berhenti sepanjang hari itu dalam perjalanan ke Namche Bazaar, sampai Mingma Sherpani pemilik Himalaya Lodge di Tengboche jadi panik. Dalam perjalanan turun yang digendong porter, karena guncangan sepanjang jalan, kondisi Sieling makin memburuk, darah makin deras keluar dari hidung yang sebagian membeku setengah padat, bola mata sudah tidak ada warna putihnya, semua berubah merah karena pendarahan, kepala sakit karena pusing dan telinga “mendengung”.

Di tengah jalan bertemu sepasang pendaki “bule” yang ternyata dokter dan langsung memeriksa Sieling, suhu 39,5 C tapi badan mengigil kedinginan. Setelah mereka memeriksa Sieling dan melihat darah “belepotan” ‘di pakaian, mereka geleng-geleng kepala dan berkata: “Sorry Mam, you can’t survive, sorry” dan mereka setelah memberi beberapa obat (Dexamethasone / Decadron ???) terus melanjutkan perjalanannya, setelah mencatat data Sieling dan alamat First Environmental Trekking Pte.

Saya bisa membayangkan betapa “hancur” nya perasaan dan hati Sieling di tengah penderitaannya dan merasa di tinggalkan oleh teman-teman seperjalanannya. Sampai di Namche Bazaar langsung dibawa ke dokter yang punya apotik itu, diperiksa, darah sudah berhenti dan kondisi Sieling stabil, dokter bilang Sieling sudah baikan, tidak apa-apa hanya perlu istirahat. Setelah istirahat 2 hari di Namche Bazaar kondisi Sieling hampir pulih. Terbukti bahwa pengobatan yang paling manjur terhadap AMS adalah turun ke tempat rendah secepat mungkin.

Belakangan baru diketahui bahwa Sieling menolak turun malam itu bukan karena sakit akibat AMS atau bandel, tetapi karena : … … Sieling takut kegelapan … … ya ampun … … masalah semalam jadi tegang hanya karena ada yang takut gelap.

Malam itu saya merasa capai, mungkin juga karena pengaruh perut mulas yang cukup mengganggu selama perjalanan hari ini. Tanjakan lepas Phunki Tenga ke Tengboche cukup menguras stamina, untungnya setelah istirahat dan makan malam stamina mulai pulih. Tampak Hani, Tisi dan Didiet agak membaik setelah mampu “bertahan” dalam medan sulit hari ini. Keputusan mereka bertiga untuk mempergunakan kuda di sebagian etape hari ini sangat bijaksana, paling tidak mereka dapat “bertahan” untuk etape berikutnya.

Perjalanan belum setengah jalan dan medan di hari-hari mendatang semakin berat, terutama hawa dingin dan tipisnya udara, saya berkesimpulan bahwa hanya semangat tinggi dan daya tahan yang membuat kami dapat menyelesaikan perjalanan ini … … … Let’s finish this trip and back to Indonesia alive in one pieces … …

Namaste,
Budi Hartono Purnomo

M-78188 AS

0 Comments:

Post a Comment

<< Home