PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian V
PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN
Bagian V :
Namche Bazaar (3440 M) – Tengboche (3860 M)
Jarak : 10 Km
Resham pheeree ree, Resham pheeree ree
Udeyra jaunkee dandaa ma bhanjyang
Resham pheeree ree
My heart is fluttering like silk in the wind
I can not decide whether to fly or to sit on the hill top
Ek naley bunduk, dui naley bunduk, mriga lai takey ko
Mriga lai mailey takey ko hoeina, maya lai dankey ko
One – barrelled gun, two – barrelled gun ? targeted at a deer ?
It’s not the deer that I am aiming at, but at my beloved.
Nepali Folk Songs
Stan Armington
“Resham pheeree ree” : lagu itu begitu popular, enak di dengar dan menyentuh kalbu di sepanjang perjalanan
Ternyata “Resham pheeree ree” amat membantu meningkatkan semangat pada etape Namche Bazaar – Tengboche, Selasa 31 Oktober 2006, yang tidak kalah berat dari etape Phakding – Namche Bazaar, apalagi etape kali ini penuh debu kering berterbangan sepanjang jalan. Karena tidak membawa “masker” untuk hidung dan mulut yang memadai, saya hanya memakai syal / torniket Mahitala untuk menutup hidung dan mulut dari serbuan debu yang beterbangan, bercampur dengan kotoran kering yak.
Di etape ini akibat debu, saya mulai terserang radang tenggorokan yang berlanjut terus hingga ke Everest Base Camp dan “gangguan” ini amat mengganggu karena nantinya ketika radang tenggorokan makin parah, untuk menelan air minum tegukan pertama saja sangat sakit sampai keluar air mata.
Lepas dari Namche Bazaar jalanan mendaki tajam ke Chhorkung, baru jalanan datar “melipir” bukit ke kanan menuju jalan pintas ke Tengboche. Di tengah jalan kami beristirahat sebentar di salah satu “chorten” besar yang juga dibuat monumen besar peringatan 50 tahun pendakian Mt. Everest oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay (sebelum Kyangjuma – 3600 M). Di tempat ini kami bertemu : Perthemba Sherpa, salah satu “Sherpa” terkenal di
Chorten of Everest 50th Anniversary 1953 – 2003, Selasa 31 Oktober 2006
Di chorten “keramat” ini kami Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar bertemu dengan Perthemba Sherpa.
Di chorten ini ada monumen keramat dengan tulisan :
Everest 50th Anniversary 1953 – 2003.
This chorten stands in honour of Tenzing Norgay and the Sherpas of Everest - all true Tigers of the Snows
Without whose devotion, skill, courage and sacrifice the great mountain Chomolungma would never been climbed.
This chorten is built and blessed with the unerring support of Rolex - Geneva
Perthemba Sherpa di chorten Everest 50th Anniversary, Selasa 31 Oktober 2006
Salah satu etape antara Kyangjuma – Phunki Tenga, Selasa 31 Oktober 2006
Di sebelah kiri pada tebing-tebing terjal sering ditemui : “Himalayan Tahr” (rusa
Rhododendron sebelum Phunki Tenga, Selasa 31 Oktober 2006
Rhododendron dengan warna merah cerianya banyak di temui tumbuh di tebing tinggi sebelum Phunki Tenga. Tanaman ini tumbuh di daerah Subalpine dengan ketinggian antara (3000 – 4000) M
Pemandangan di Phunki Tenga indah, restoran & lodge letaknya di tempat tinggi, di bawahnya ada anak sungai kecil.Kami beristirahat cukup lama untuk kumpulkan energi sebelum tanjakan maut ke Tengboche. Sieling ketika mau turun dari restoran terpeleset dan jatuh kebawah (ngegelinding), belakang kepala terbentur batu dan memar. Setelah ditolong Harry (Sherpa) dan beristirahat sebentar Sieling meneruskan perjalanan ke Tengboche dengan susah payah karena kepala pusing, mual dan ingin muntah. Gejala AMS pada Sieling mulai jelas terlihat yang dipicu (trigger) jatuh dari restoran dan kepala membentur batu. Sejak terjatuh Sieling terus muntah-muntah, terutama setelah minum atau makan.
Perjalanan dari Phunki Tenga ke Tengboche seperti dugaan, amat berat meskipun jaraknya pendek, kami harus mendaki 610 M terakhir untuk mencapai Tengboche lewat hutan setelah Phunki Tenga dan tebing curam dengan jurang dikiri dengan Dudh Kosi di lembahnya. Tanjakan maut itu benar-benar menguras stamina kami, bernafas menjadi sulit meskipun dibantu mulut. Terasa benar dada sesak karena oksigen yang menipis.
Olin memang ulet dan mau belajar, dalam perjalanannya ke Nepal olin rajin memotret detail bangunan kuno, baik bentuk disain atap, pintu, jendela dan segala pernak perniknya yang berguna bagi pekerjaannya, dunia arsitektur itu.
Lhotse
Tampak Lhotse Ridge dengan keindahan yang amat menawan di sore hari dalam perjalanan ke Tengboche
Para
Dari kiri ke kanan : BHP, 3 Lhama Tengboche dan Olin (baris depan) berfoto bersama di pintu utama kuil Tengboche
Panorama sore ke Chomolungma (8848 M) dari Tengboche, Selasa 31 Oktober 2006
Sore yang indah itu kami beruntung, karena cuaca cerah sempat menikmati pesona senja pada puncak-puncak atap dunia. Tampak rembulan redup mulai menampakkan jati dirinya
Malam itu sulit dilupakan, Sieling drop drastis karena hantaman AMS yang dipicu jatuh di Phunki Tenga dan siang itu sempat muntah sedikit cairan dan sisa makanan pagi. Sungguh menderita karena setelah jatuh, selalu muntah bila makan bahkan minum air pun. Karena seringnya muntah, maka tidak ada yang tersisa di perut, bahkan cairan pun sudah kosong, tinggal air liur saja. Menurut Sieling kepala berdenyut sakit seperti mau meledak, mual, lemas, dan telinga mendengung seperti gemuruh air terjun. Tidak ada yang dapat dilakukan selain berbaring dan muntah. Rekan lain heboh dan mencoba ingin membantu / menolong Sieling. Sebagian besar menganut teori tentang AMS, Sieling harus turun ke Phunki Tenga atau Namche Bazaar malam itu, ditemani rekan lain atau porter. Sieling menolak, sempat timbul ketegangan karena rekan-rekan lain menganggap Sieling bandel, keras kepala, tidak mau menurut…… dsb. Akhirnya setelah bersitegang dan “kompromi” diputuskan Sieling akan turun ke Namche Bazaar keesokan harinya ditemani Bhimsen Paneru salah satu porter handal & kuat.
Sieling kemudian cerita bahwa perjalanan turun dari Tengboche – Pungki Tenga – Namche Bazaar, Rabu 1 November 2006 itu bagai perjalanan di “neraka”. Pagi itu darah segar keluar dari hidung, nyaris tidak berhenti sepanjang hari itu dalam perjalanan ke Namche Bazaar, sampai Mingma Sherpani pemilik Himalaya Lodge di Tengboche jadi panik. Dalam perjalanan turun yang digendong porter, karena guncangan sepanjang jalan, kondisi Sieling makin memburuk, darah makin deras keluar dari hidung yang sebagian membeku setengah padat, bola mata sudah tidak ada warna putihnya, semua berubah merah karena pendarahan, kepala sakit karena pusing dan telinga “mendengung”.
Di tengah jalan bertemu sepasang pendaki “bule” yang ternyata dokter dan langsung memeriksa Sieling, suhu 39,5 C tapi badan mengigil kedinginan. Setelah mereka memeriksa Sieling dan melihat darah “belepotan” ‘di pakaian, mereka g
Saya bisa membayangkan betapa “hancur” nya perasaan dan hati Sieling di tengah penderitaannya dan merasa di tinggalkan oleh teman-teman seperjalanannya. Sampai di Namche Bazaar langsung dibawa ke dokter yang punya apotik itu, diperiksa, darah sudah berhenti dan kondisi Sieling stabil, dokter bilang Sieling sudah baikan, tidak apa-apa hanya perlu istirahat. Setelah istirahat 2 hari di Namche Bazaar kondisi Sieling hampir pulih. Terbukti bahwa pengobatan yang paling manjur terhadap AMS adalah turun ke tempat rendah secepat mungkin.
Belakangan baru diketahui bahwa Sieling menolak turun malam itu bukan karena sakit akibat AMS atau bandel, tetapi karena : … … Sieling takut kegelapan … … ya ampun … … masalah semalam jadi tegang hanya karena ada yang takut gelap.
Malam itu saya merasa capai, mungkin juga karena pengaruh perut mulas yang cukup mengganggu selama perjalanan hari ini. Tanjakan lepas Phunki Tenga ke Tengboche cukup menguras stamina, untungnya setelah istirahat dan makan malam stamina mulai pulih. Tampak Hani, Tisi dan Didiet agak membaik setelah mampu “bertahan” dalam
Perjalanan belum setengah jalan dan medan di hari-hari mendatang semakin berat, terutama hawa dingin dan tipisnya udara, saya berkesimpulan bahwa hanya semangat tinggi dan daya tahan yang membuat kami dapat menyelesaikan perjalanan ini … … … Let’s finish this trip and back to Indonesia alive in one pieces … …
Namaste,
M-78188 AS
0 Comments:
Post a Comment
<< Home