HELL WEEK by Kang Zaska - Pekik
Satu lagi, karya murni Anggota Mahitala dan kebetulan beliau banyak konsen di dunia Pendidikan dan Pelatihan Dasar Mahitala Unpar. Cerita bersambung ini terdiri dari 7 bab. Sengaja saya sambung menjadi satu (tetap terbagi menjadi 7 bab). Dan semoga semua dapat menikmatinya. Kita sambut sekali lagi "HELL WEEK" karya kang Zaska dari Angkatan PEKIK.....
BSTRGDS,
Audy Tanhati
M 2000511 ATSA
HELL WEEK (2)
Sekarang konsep dan kegiatan survival difokuskan pada solo survival. Prinsipnya, secara perorangan, selama 4 hari 3 malam siswa jugaakan bergerak dari 1 titik ke titik lain", jelas Wisa.
untukmengatasi ketakutan, kesendirian atau kebosanan ketika mereka sendirian dihutan. Lalu dituliskan. Besoknya di-share bersama dengan hasil refleksi siswa-siswa lain. Tujuannya belajar tentang attitude yang diperlukan dalam situasi survival secara experiential.
"Lalu, kok semua fokusnya pada kegiatan individu? Apa alasannya?", tanya saya penasaran.
"Idenya bermula dari kejadian di Argopuro bulan Januari tahun 2006. Seorang rekan kita, yang pencinta alam, sendirian mendaki gunung. Di satu tempat dia membuat shelter. Dia kemudian pergi membawa beberapa perlengkapan. Ransel besar dan beberapa baranglain ia tinggalkan di shelter. Dia tidak berhasil kembali ke shelter-nya. Dia tersesat dan hilang di gunung. Dari kejadian tersebut dan komentar teman-teman di milis,saya dan beberapa teman mencoba menganalisis apa yang terjadi", kata Wisa"Lalu, mendiskusikan apa yang dapat dilakukan untuk memperkecil resiko hilang di gunung".
Timbul gagasan untuk memulai sesuatu yang baru. Terutama setelah sentilan kak Mul bahwa yang muda-muda cuma bisa bilang"dulu juga gitu". Dari diskusi muncul ide untuk memulainya pada DikSar. Kita coba menggunakan pendekatan baru dalam sesi survival. Yaitu, bagaimana siswa belajar untuk bertahan hidup dalam suatu situasi darurat. Terutama jika diaharus MENJALANINYA SEORANG DIRI seperti yang dialami rekan kita di Argopuro.
Jadi selama 4 hari 3 malam para siswa akan diberi pengalaman untuk mengatasi bagaimana cara beradaptasi dengan kesendirian, dingin, basah, ketidaknyamanan, keterbatasan. So, they will go to hell, and come back alive. Seperti judul novel ja-dul tentang tentara Amerika di PD 2 yang kemudian dibuat film.
Kami lakukan brainstorming tentang ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seorang solo survivor. Salah satunya adalah usulan kak Sur tentang ketrampilan berkomunikasi dengan bakal penolongnya.
"Jadi siswa cuma diajarkan memakai kompas Silva model ini?", tanya saya.
HELL WEEK (3)
INDIVIDUAL SURVIVAL KIT
"Oh, tidak", jawab Monik. "Di sesi navigasi, mereka diajarkan menggunakan berbagai macam jenis kompas: prisma, Silva bidik, Silva orienteering. Bahkan penggunaan GPS, seperti yang pernah diusulkan kak Budi HaHa di milis. Tapi di sesi survival, mereka dikondisikan dalam situasi di mana yang ada hanyalah kompas Silva yang selalu tergantung di leher mereka".
"Eh, jadi inget komentar kak Budi di milis. Kenapa kok Hell Week? Padahal cuma 4 hari", kata saya.
Lalu Monik menambahkan, "Khusus mengenai pengadaan kompas Silva, kami kerjasama dengan kak Victor dan kak Bondan dari Kawani. Dan beberapa sponsor serta donatur lain. Khususnya Jakarta charter. Sehingga para siswa bisa membeli kompas itu dengan harga khusus. Fungsi utamanya adalah backup compass kalau kita pergi ke alam terbuka. Sehingga kalau kita menemui situasi darurat, kompas sudah pasti ada. Menggantung di
leher di leher kita".
"Ya, ingat. Pernah baca di milis", jawab saya.
"Nah, kita juga mencoba memasukkan unsur SAR dalam program Hell Week ini. Dengan penekanan agar survivor mengetahui pola dan cara pikir yang biasa digunakan tim SAR. Sehingga dia dapat "membantu" tim SAR menemukan dirinya", jelasnya. "Di samping juga cara-cara memberikan tanda pada tim penolong tentang keberadaannya" .
Kabut mulai menipis. Sinar mentari mulai membagi kehangatannya. Si siswa tampak sudah selesai mengemasi barang-barangnya. Area tempatnya bermalam tampak sudah kembali alami. Hampir tidak ada tanda-tanda seseorang pernah menginap di
"Eh, tentang makanan survival, gimana?
"Dalam sesi sebelum masuk ke Hell Week, para siswa diajarkan membuat atau menyusun perlengkapan minimal untuk bertahan hidup. Kami menyebutnya: Individual Survival Kit. Di dalamnya ada ponco, baju cadangan dalam plastik, first aid, matras dan juga makanan. Survival kit ini disarankan untuk SELALU dibawa pada saat melakukan perjalanan di alam terbuka kelak. Nah, dalam Hell Week peserta akan mempraktekan
penggunaan Individual Survival Kit tersebut. Tapi selain itu, peserta juga tetap diperkenalkan dengan tumbuhan yang aman untuk di makan", Wisa menimpali.
Pantes, ransel siswa kelihatan kempes, kata saya dalam hati.
"Biar isi ranselnya sedikit, tapi kegiatan yang dilakukan banyak lho", kata Monik seolah bisa membaca pikiran saya
Kegiatannya apa aja sih?
HELL WEEK (4)
ATTITUDE
Di antara bebatuan itu terlihat 3 orang senior. Mereka kelihatannya sedang asyik membicarakan sesuatu. Kira-kira 5 meter di depannya, belasan siswa-siswi duduk di rumput beralaskan matras mereka. Membentuk setengah lingkaran menghadap ke arah para senior.
"Hai", sapa mereka kepada siswa yang baru datang.
"Hai", si siswa membalas sapaan rekannya. Dia pun segera bergabung dengan teman-temannya. Dari tiga arah yang berlainan kelihatan 6 siswa-siswi menuju ke arah kerumunan rekan-rekannya.
Canda siswa-siswi membuat suasana pagi menjadi lebih hangat. Apalagi ditimpali kicauan burung yang berkejaran di dahan-dahan. Pepohonan yang mengelilingi lapangan rumput seolah menyaring sinar mentari pagi. Membentuk garis-garis lurus putih yang kontras dengan latar belakangnya yang kehijauan.
07:30 semua siswa-siswi sudah berkumpul. Jumlahnya 18 orang. 12 siswa dan 6 siswi.
"Selamat pagi !", kata salah seorang senior yang berdiri di depan mereka. Suaranya tegas dan lantang.
"Selamat pagi !", jawab para siswa-siswi serempak dan penuh semangat.
Si senior berbadan langsing. Mengenakan celana lapangan cokelat tua dan kemeja cokelat muda. Pada kopel rim di pinggangnya tergantung tempat minum militer. Dia memakai topi pet. Seperti siapa ya? Seperti kak Didiet, kah?
"Siapa dia?", tanya saya pada Wisa.
"Kami memanggilnya
"Dia akan membawakan sesi apa?"
"DIAM DI TEMPAT"
"Ah, apalagi tuh?"
"Kita lihat saja lah".
Saya jadi tertarik untuk mengamati aktivitas pagi ini.
"Masih ingat sesi First Aid?", tanya
"Korban diminta duduk tegak".
"Kepala tegak, jepit kedua lubang hidung".
"Tekan selama lebih kurang 2 menit dan minta korban bernafas lewat mulut".
"Mengapa posisi kepala harus tegak?", tanya
"Supaya darah tidak mengalir ke tenggorokan. Karena kalau tertelan bisa mengakibatkan mual, lalu muntah", kata mereka.
"Baik, sekarang kita akan praktekkan. Pertama kalian buat kelompok berdua-berdua. Salah seorang jadi korban, rekannya jadi First Aider", kata
Setelah siswa-siswi menunjukkan respon bahwa mereka mengerti,
"Ya, waktu dua menit selesai. Sekarang gantian", kata
Setelah semua mendapat giliran menjalani peran sebagai First Aider dan korban,
"Nggak nyaman". "
"Lalu apa yang dilakukan para First Aider untuk membuat si korban merasa nyaman selama mereka menjepit hidung korban?", tanya
Kali ini siswa-siswi terdiam. Beberapa saat kemudian terdengar salah seorang dari mereka berkomentar bahwa rekannya mencoba menghibur:"Rileks saja, memang ngga enak, tapi coba tahan, ya". Lalu dua-tiga orang lainnya memberikan komentar serupa.
"Nah, itulah ATTITUDE seorang First Aider yang baik. Anda punya SKILLS yang baik: teknik menjepit lubang hidung korban. Anda pun punya KNOWLEDGE yang baik: darah jangan sampai masuk ke tenggorokan, bisa membuat korban merasa mual. Tapi punya skills dan knowledge yang baik saja tidak cukup. Kita juga harus punya attitude yang tepat",
Sampai di sini saya masih belum dapat menebak kemana kira-kira arah pembicaraan
HELL WEEK (5)
COMMON SENSE
"Sekarang, coba ingat-ingat ketika kalian menjadi korban, siapa saja yang rekannya menghibur kalian", tanya
Beberapa tangan terangkat ke atas. Cuma ada 4 orang.
"Beruntung kalian yang rekannya mencoba menghibur. Nah, buat yang lainnya, apa yang kalian lakukan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang dirasakan?", tanya
Siswa-siswi beruntun memberikan respon.
"Dibikin enak aja. Ini
"Jangan dirasain ngga enaknya. Untung masih bisa napas lewat mulut"
"Jangan pikirin kapan selesainya. Rileks. Anggap aja lagi latihan diving"
"Diam dan tenang. Pikirin sesuatu yang bisa bikin nyaman"
"Yes !", kata
Kondisi yang dialami seorang solo survivor mirip dengan si korban dalam latihan First Aid. Sama-sama mengalami hal yang tidak nyaman. Bedanya dalam keadaan survival, survivor harus mengatasi sendiri ketidaknyamanan itu. Dalam ketidakpastian. Dalam tingkat kegawatan yang lebih berat. Mungkin dalam situasi yang lebih mencekam. Dalam jangka waktu yang lebih lama. Tapi untuk bisa mengatasi semua hal tersebut, prinsipnya tetap sama: ATTITUDE & SELF TALK YANG POSITIF.
Dalam situasi survival, attitude dan self talk positif inilah yang bisa membentuk atau memperkuat kemauan untuk hidup atau THE WILL TO SURVIVE. Sehingga seseorang dapat bertahan untuk tetap hidup.
"Sekarang, keluarkan Field Manual kalian," kata
Mendengar sebutan "Field Manual" langsung terlintas dalam benak saya sebuah diktat. Fotokopi-an dengan kertas ukuran Folio. Tebalnya kira-kira 3 cm-an. Isinya tentang topik yang dibahas dalam DikSar. Tapi yang saya lihat kemudian sungguh di luar dugaan.
"Itu apa?", tanya saya pada Monik.
Dia menunjukkan kain serupa pada saya. Ukurannya lebih besar dari bandana yang saya kenakan di leher. "Ini Field Manual yang digunakan oleh siswa-siswi" .
"Wah, boleh juga idenya" kata saya kagum. Di kain tersebut di-sablon diagram, gambar dan tulisan yang berkaitan dengan LEARNING POINTS yang dibahas selama sesi survival. Gambar dan tulisannya dibuat seperti kartun. Tapi sistematikanya jelas. Lay out-nya juga bagus, karena kalau dilipat dan digunakan sebagai ikat leher, motifnya jadi enak dilihat.
"Iya, selain praktis dan multi fungsi, siswa-siswi juga gampang kalau mau mengingat-ingat lagi inti pelajaran yang sudah dibahas" kata Monik.
"Sekarang kita lihat gambar di sudut kiri" kata
Kata-kata yang ada di lapisan dasar piramid adalah ATTITUDE: THE WILL TO LIVE. Menurut John Wiseman, dengan modal attitude yang tepat orang dapat bertahan hidup dalam situasi survival. Meski dia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan buku aturan survival sekalipun. Jadi inilah fondasi yang perlu ada agar kita bisa survive.
Dan kita dapat lebih percaya diri dan lebih mudah membuat keputusan, dalam situasi survival, kalau kita punya KNOWLEDGE. Seperti terlihat di lapisan kedua.
Kemungkinan survive akan lebih besar lagi kalau kita juga punya SKILLS untuk bertahan hidup. Nah, idealnya skills ini terus menerus di asah. Supaya kita betul-betul trampil menggunakannya. Skills menjadi lapisan ketiga.
Di puncak piramid ada tulisan KIT atau EQUIPMENT. Kita akan sangat beruntung kalau kita juga dilengkapi oleh peralatan yang cukup. Ketika harus bertahan hidup di situasi darurat.
"Tentang attitude, selain menjadi fondasi, apa yang membedakannya dengan lapisan-lapisan yang lain" tanya
"Wah, sekarang instrukturnya pakai pendekatan fasilitasi ya?" tanya saya.
"Iya, tapi tetap tegas lho" kata Wisa. "Semua yang diajarkan pada dasarnya adalah COMMON SENSE. Jadi kami juga tidak ingin mereka hanya dicekoki dengan instruksi satu arah."
Itulah salah satu hal yang membedakan pendidikan Special Forces dengan infanteri biasa. Special Forces harus bisa menganalisa masalah dan mengambil keputusan sendiri. Karena mereka kadang berada jauh di belakang garis pertahanan musuh. Dalam jumlah kecil. Dan tidak bisa segera mendapatkan bantuan. Demikian Wisa menambahkan.
"Waktu habis!" kata
Bergantian siswa-siswi mengemukakan pendapatnya.
"Karena itulah, hari ini kegiatan kita akan lebih banyak berfokus pada attitude" kata
HELL WEEK (6)
STAY PUT
Di Field Manual kain itu terbaca "You are responsible for all of your experiences of life." Dan siswa-siswi pun kemudian terlihat asyik berdiskusi.
Beberapa saat kemudian komentar pun mulai bersahutan.
"Ngga setuju, ah. Masa orang yang bikin ulah, kita harus ikut tanggung jawab."
"Berat amat. Kalo kita musti tanggung semuanya"
"Lagipula banyak kejadian yang menimpa kita, yang penyebabnya ada di luar kontrol kita"
"Eit, tenang. Memang sih ini pake bahasa Inggris. Dan kalimatnya memang rada-rada menjebak." Jawab Bowie. "Kata penulisnya, Charles Swindoll, dalam kalimat tersebut tertulis OF LIFE dan bukan IN LIFE."
"Maksudnya?"
Kita memang tidak usah bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi pada kita. Tapi kita harus BERTANGGUNG JAWAB ATAS REAKSI KITA terhadap apa yang terjadi pada kita. Formulanya adalah "Life acts. You react". Reaksi kita ada di bawah kendali kita. Demikian Bowie menjelaskan. Kemudian dia mengambil buku catatan kecil dari kantung celana lapangannya. Lalu membacakan kutipan dari tulisan Charles Swindoll.
Your reaction is under your control. In any life situation you are always responsible for at least one thing. You are always responsible for the attitude towards the situation in which you find yourself. Your attitude is your reaction to what life hands you. You can have either a more positive or a more negative attitude. Your attitude is under your control and can be changed. With the right attitude you can be a resilient person.
Siswa-siswi terlihat manggut-manggut. "Resilient person apa sih kak?"
"Apa ya, …… eh … kira-kira artinya orang yang fleksibel. Kalo lihat di thesaurus arti lainnya bisa juga tough." Kata Bowie "Tapi kata kuncinya adalah bahwa attitude kita ada dibawah kendali kita. Dan inilah yang akan kita coba praktekan hari ini. Meski hanya dalam tingkatan yang amat dasar."
Lalu Bowie melanjutkan. "Kalau pada siang hari, di hari-hari kemarin, biasanya kita bergerak secara fisik. Hari ini pergerakan fisik akan sangat kita minimalkan. Tugas kita adalah diam di satu tempat. Hanya diam. Secara fisik kita akan diam. Tapi kita akan aktifkan semua panca indera kita. Dan selain berlatih mengendalikan reaksi terhadap apa yang dialami, kita juga akan gunakan kesempatan ini untuk mendekatkan diri dan belajar dari alam.
Idenya diambil dari buku Belajar Mencintai Alam, karangan Phillipe Vaquette. Sebuah buku untuk menggugah penginderaan pada alam untuk anak-anak usia 5 sampai 12 tahun. "Saya akan bacakan kutipan dari buku itu."
"Pendidikan di Semak-semak" inilah yang selama ini kita inginkan untuk diangkat kembali nilainya, ......Sikap kita terhadap alamlah yang menentukan kualitas dari pendidikan ini. Alam tak mendatangi kita, karena kita bukan pusat dunia seperti yang ingin kita yakini saat kita keluar dari mobil. Kitalah yang semestinya berjalan menujunya, karena alam mengandung banyak hal maupun keajaiban yang dapat kita ungkapkan.
Siapkah kita menerimanya? Untuk menerimanya, kita harus membuka mata, telinga, dan lubang hidung lalu maju untuk menyentuh dan membelai.
.... Anak-anak yang datang dari dunia yang bising, sulit menyesuaikan diri. Biasanya di lingkungan mereka sehari-hari, untuk memperoleh tempat terbaik, mereka harus menjadi yang pertama, paling cepat, paling berisik, paling memiliki semangat juang.
Di lingkungan hidup yang masih alamiah ini, semuanya serba terbalik. Dan pendidikan yang mempunyai peranan adalah pendidikan yang merendahkan hati. Tempat yang diperuntukkan bagi yang tenang, yang tahu menunggu dan yang dapat mengecilkan diri.
….. Sikap yang benar adalah berada di
"Jadi ada 2 hal yang akan kita lakukan hari ini. Berlatih mengendalikan diri dan sekaligus mendekatkan diri dengan alam." Demikian dikatakan
"Apa yang akan kalian lakukan jika kalian tersesat sendirian di hutan?" sambung
Dan siswa-siswipun seolah berlomba memberi jawaban.
"Berhenti, diam di tempat, tenangkan diri"
"Setelah tenang, pelajari lingkungan sekitar"
"Analisis situasi dan alternatif pilihan"
"Pertimbangkan medan, cuaca, dan sumber daya yang dimiliki"
"Pertimbangkan juga kemampuan kita"
"Setelah tenang, buat rencana untuk mengatasi keadaan"
"Bagus", kata Bowie. "Kedengarannya gampang, ya. Tapi seperti juga prinsip atau aturan sederhana lainnya. Hal itu ternyata tidak mudah dalam penerapannya. Terutama ketika kita harus mengatasi panik. Panik yang timbul saat kita mulai menyadari bahwa kita tersesat. Yaitu ketika kita tidak mengenali tempat di mana kita berada. Dan kita tidak tahu ke arah mana kita harus menuju"
Menurut beberapa referensi tentang survival, kepanikan ini timbul karena adanya rasa takut. Takut akan ketidak-nyamanan. Ketidak-pastian. Kesendirian. Takut akan apa yang akan dikatakan orang lain pada kita. Atau mungkin juga takut mempermalukan organisasi. Pecinta alam anu kok nyasar.
"Dalam latihan hari ini skenarionya adalah kalian tersesat sendirian. Dan kalian memutuskan untuk diam di tempat sampai pertolongan datang. Kami tidak bisa merekayasa situasi yang dapat membuat kalian takut. Tapi yang pasti kalian akan sendirian di satu tempat untuk jangka waktu yang belum ditentukan." Kata Bowie. "Tahu `
"Di mana tuh?", tanya saya pada Monik
"Di punggungan
"Jadi kita tidak usah kuatir mereka nyasar, ya. Karena lokasi mereka sudah dikepung oleh tali pengaman yang ada rambunya. Panitia juga jadi lebih gampang kalau mau kontrol siswa-siswi. Wah, koordinasi antara sesi SAR dan sesi survival kalian memang jempolan," saya memuji.
"Terima kasih, kak. Ini
"Seperti dalam latihan SAR kemarin, kalian akan dibagi ke dalam 3 tim. Masing-masing tim akan diantar oleh senior ke lokasi yang berbeda. Di
"Apa itu IBM?"
"Individual Body Maintenance. Kalian bisa lepaskan sepatu dan angin-anginkan kaki kalian. Kalau ada sinar matahari jemur kaki kalian. Periksa bagian-bagian yang berpotensi lecet. Tempel plester di
Kemudian Bowie mengingatkan siswa-siswi kembali dalam hal safety. "Dalam skenario ini kalian akan tetap tinggal di lokasi yang ditentukan hingga tim SAR menemukan dan menjemput kalian. Ingat, sekali lagi, jangan tinggalkan tempat sebelum dijemput tim SAR. Jangan tiup peluit, kecuali dalam keadaan darurat. Dan jangan berkomunikasi satu sama lain dengan cara apapun. Misal, teriak-teriak atau pukul-pukul piring. Jelas?
Siswa-siswi lalu mengemasi barang-barangnya. Lalu dengan ransel di punggung mereka berkumpul dengan timnya masing-masing.
"Siswa-siswi sudah siap semua?"
"Siaaap !" jawab mereka. Lantang dan serempak.
"Sebelum berangkat saya akan bacakan sebuah bacaan pendek. Dari Carlos Castaneda," kata
The trick is what one emphasizes.
We either make ourselves miserable
Or we make ourselves strong. The amount of work is the same ….
HELL WEEK (7)
VIVAT MAHITALA
Selesai membaca,
"Krosak, krosak, krosak". Suara khas sepatu siswa-siswi yang menginjak rerumputan terdengar semakin menjauh. Tak sampai 10 menit semua tim sudah hilang ditelan kerimbunan semak-semak. Tinggal suara canda mereka yang kadang-kadang terdengar. Itu pun lambat laun semakin sayup.
Sinar mentari yang semakin terik sekarang sudah menyinari hampir sebagian besar lapangan berumput. Di tempat yang teduh, di antara pepohonan masih ada beberapa senior berkumpul. "Ayo kita gabung sama mereka," kata Monik. Di
"Nggak tugas?", tanya saya pada mereka.
"Nggak. Paling nanti sore jadi Patroli Pengintai." kata Surjana. "Mengintai siswa-siswi dari jauh. Diam-diam. Biasa, safety procedure."
"Sekarang apa acara kita?" tanya saya lagi
"Ya, kita santai dulu lah." kata Ibrur. "Ayo, kita balik ke Kemah Induk aja. Bisa ngopi-ngopi di
Dan kami pun berjalan menuju Kemah Induk. Jalan santai.
"Jam berapa mereka akan dijemput?" tanya saya pada Odie.
"Jam 8" jawab Odie.
"Jam 8 nanti malam?" tanya saya lagi.
"Bukan, jam 8 besok pagi"
"Mereka tahu bahwa mereka baru akan di jemput besok?"
"Tidak."
"Eh, ngomong-ngomong, siapa sih yang merancang program DikSar ini?" tanya saya. "Konsepnya kelihatan rumit. Tapi koordinasinya kok bisa rapi, ya."
"Seperti kata saya tadi. Ini hasil rembukan ide dan kerja bareng." kata Monik.
"Banyak ide yang dilontarkan untuk DikSar. Baik konsep, materi maupun kegiatan. Pedoman untuk meramu ide-ide tersebut, dan memilihnya menjadi kegiatan DikSar adalah Safety dan Manfaat. Sehingga apapun kegiatannya, kegiatan tersebut harus AMAN dan memberikan MANFAAT optimal." kata Odie.
"Aspek manfaat inilah yang terus menerus kita coba kembangkan dalam setiap DikSar. Seperti dalam himne Mahitala.
"Apanya yang lebih baik?"
"Ya, kalau bisa semuanya. Jiwa dan Raga. Dalam dan Luar. Mindset dan Perilaku. Organizational atau management skills, yang sifatnya soft. Maupun outdoor skills, yang sifatnya hard. Pokoknya, diusahakan se-komplit mungkin lah." tukas Butawa dengan semangat.
"Saya tahu persis, si penggubah lagu belum berpikir sejauh itu tentang makna kata-kata `tempa jiwa raga', ketika dia bikin hymne Mahitala," kata saya.
"Kok tahu, memangnya kenal?" Butawa balik bertanya. "Siapa sih kak?"
"Ah, sudahlah tidak penting. Lagipula kalau disebutkan nanti dia .. uff, uff … hidungnya membesar. Saya masih penasaran bagaimana berbagai ide dari berbagai kepala kok bisa diracik menjadi ramuan yang apik."
"Sur aja yang cerita." Kata Monik, sambil menunjuk pada Surjana. Dia paling senior di antara rekan-rekannya.
"Kalau menurut saya, karena kebetulan pendekatan yang digunakan pas. Waktu itu, atas usulan kak Rene, digunakan sebuah pendekatan yang disebut Appreciative Inquiry atau AI." Jawab Surjana. "Kebetulan dia juga pakar untuk pendekatan AI. Dia `
"Apa sih AI?"
"Kalau mau lebih jelas sih musti tanya sama kak Rene. Tapi menurut saya, seperti metoda-metoda lainnya, AI adalah sebuah metoda untuk menentukan tujuan. Lalu membuat rencana tindakan untuk mencapai tujuan tersebut." Kata Surjana. "Hanya uniknya, pada tahap awalnya yang disebut Discovery, metoda ini melibatkan suara semua orang di organisasi. Semua orang diajak untuk mengenali dan menggali potensi, kekuatan, hal-hal positif lainnya, yang pernah dan masih ada di organisasi."
"Nah, waktu di Mahitala, gimana prosesnya?"
"Begini, setelah beberapa kali pertemuan informal, digagaslah sebuah pertemuan yang lebih serius. Yang mengundang berbagai kalangan. Mulai dari yang D'kolots sampai ke anggota muda.
"Lalu?"
"Dalam kelompok-kelompok 6 – 10 orang. Yang isinya beragam macam orang-orang tadi. Setiap orang diminta menceritakan pengalamannya di Mahitala. Pengalaman nyata yang merupakan HIGH POINT. Pengalaman yang paling berkesan. Yang paling membanggakan. Ketika mereka aktif terlibat dalam salah satu kegiatan di Mahitala. Kegiatannya bisa apa saja. Kegiatan outdoor, kepanitiaan atau apa saja. Kemudian ketika bercerita, setiap orang diminta menceritakan pula tentang:
· Apa yang membuatnya termotivasi untuk beraktifitas waktu itu.
· Apa yang dilakukan rekan-rekanya pada waktu itu, baik rekan sebaya, lebih senior maupun lebih junior.
· Apa yang dapat dipelajari dari pengalaman tersebut. Apa manfaat yang didapatkan.
Dan Surjana pun bercerita tentang proses yang terjadi selanjutnya. Antara lain, bahwa selain kak Rene, dalam pertemuan itu ada juga beberapa senior lain yang menjadi fasilitator. Ada kak Didiet, kak Sur, kak Ruslan, kak Mul, kak Bowo, kak Budi HaHa, dan masih banyak lagi.
"Eh, nanti dulu. Setelah masing-masing pada cerita, lalu bagaimana?" tanya saya.
"Oh iya, ketika salah seorang bercerita, ada satu orang yang menuliskan kata-kata kunci yang ada dalam cerita itu. Tahu nggak, ternyata kata-kata kunci dari cerita-cerita membentuk satu benang merah. Memperlihatkan keterkaitan. Memperkuat kesadaran akan adanya shared values yang berkaitan dan sejalan."
"Terus?"
"Dan ketika kita melihat benang merah itu, rasanya kita kok jadi lebih mudah untuk bisa menerima perbedaan. Perbedaan yang kerap tampak di permukaan. Karena meski luarnya tampak beda. Tapi apa yang ada di dalam sebetulnya sejalan dan searah."
"Oh, gitu ya."
"Coba deh, kak. Pikirkan sebuah pengalaman yang berkesan. Ketika kita terlibat dalam satu kegiatan di Mahitala. Lalu jawab pertanyaan-pertanya an tadi."
"Buat apa?"
"Paling tidak buat untuk mengingatkan bahwa ber-Mahitala adalah suatu kesempatan untuk menempa jiwa raga. Tempat untuk belajar. Mengembangkan diri. Ber-eksperimen. Membuat kesalahan dan dibimbing untuk memperbaikinya. Tempat untuk saling berbagi ide."
"Tempat untuk belajar menghargai perbedaan. Memperbolehkan perbedaan. Mendorong adanya perbedaan. Sehingga kita terbiasa dengan adanya perbedaan-perbedaan " sambung Odie. "Kata-kata ini saya lupa ngambil dari mana."
"Seperti orkestra. Alat musiknya beda-beda. Suara yang dikeluarkan juga beda. Tapi kalau dimainkan dengan selaras dan serasi, hasilnya enak terdengar. Bukan hanya di telinga, tapi di hati juga." kata Butawa.
"Dasar pemain biola." Monik memberi komentar.
Dahan-dahan pohon dan semak-semak tinggi bergoyang di tiup angin pagi yang bertiup agak kencang. Dingin. Tapi menyegarkan. Saya memandang ke puncak-puncak punggungan yang tampak berjajar di sebelah kanan. Udara cerah, sehingga pohon-pohon di hutan
Wisa menyiulkan potongan sebuah lagu. Tanpa sadar saya pun tergerak untuk menyanyikan liriknya. Di dalam hati. " …..Teruskanlah 'mangat bajamu, jaya Mahitala!"
Catatan:
Tulisan ini saya buat sebagai persembahan untuk rekan-rekan Mahitala dalam rangka dies natalies nya yang ke 33.
Tidak ada maksud apa-apa dari penulisan ini. Saya hanya ingin mengungkapkan ide-ide tentang Mahitala. Dan supaya ide-ide tersebut nggak lari kemana-mana. Makanya saya tangkap dan saya simpan dalam bentuk tulisan. Sekalian belajar menulis.
Dengan tulisan ini, saya tidak bermaksud memaksakan ide atau skenario tertentu. Kesan itu mungkin saja timbul dengan adanya beberapa nama yang saya libatkan. Karena itu, kepada rekan-rekan yang namanya terekam dalam tulisan ini, saya mohon maaf jika tindakan saya ini dirasa kurang berkenan di hati Anda sekalian.
Pada rekan-rekan yang telah memberikan respon atas tulisan ini. Saya amat berterima kasih. Dengan berat hati saya menahan diri untuk tidak memberikan tanggapan atas respon Anda sekalian. Menunggu sampai tulisan ini selesai. Bukan apa-apa. Saya hanya ingin ide-ide saya mengalir bebas. Dan netral.
Sehingga rekan-rekan bisa bebas menterjemahkan tulisan ini. Bisa dianggap sebagai cerita fiksi. Atau pengalaman nyata seseorang. Atau sebagai ide awal yang akan memancing timbulnya ide lain. Atau sebagai referensi atau ilmu (uff, uff saya merasa tersanjung kalau tulisan saya ini dianggap ada bau-bau keilmuan-nya) .
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda semua. Bagi Mahitala tercinta.
Sekarang, saya ingin mengucapkan terima kasih pada teman-teman saya atas respon dan komentarnya atas tulisan ini.
* Audy, halo. Salam kenal. Laporan Anda yang di posting di milis tentang Argopuro menjadi ide dasar tulisan saya.
* Sur, ide SAR Tulang Ular-nya memudahkan saya menyambungkan ide-ide saya yang liar kesana kemari. Sok atuh di-share.
* Budi Haha, saya selalu tersenyum kalau baca tulisan Anda di milis. Ide, usulan, dan umpan baliknya segar. Dan juga mencakup berbagai topik. Diklat, SAR, Winetou sampai ke penghijauan.
* Didiet, masih punya seragam cokelat-khaki?
* Mabror, damang? Saya baik-baik. Sekarang olah raga saya jalan kaki. Biar impact-nya lebih soft, cenah.
* Debby, hidup Garut! Rasanya masih jauh kalo dijadikan cerber mah.
* Bowo, mohon maaf kalau mas Bowo jadi kebawa-bawa.
* Tom, kumaha
* Sandra, apa kabar? Kalo keseringan, self-talk bisa bikin orang jadi gokil, ya?
Akhir kata, sekali lagi untuk semua rekan Mahitala …..Vivat Mahitala!!
1 Comments:
Sepertinya ini memang fiksi ya? Tapi yang jelas dituturkan dengan sangat menarik. Beberapa kali saya baca tentang milis, milisnya apa?
Post a Comment
<< Home