05 July 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian VI

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

Bagian VI :
Tengboche (3860 M) – Dingboche (4360 M)
Jarak : 8,5 Km
Waktu Tempuh : 5 jam (normal)

We tell ourselves stories in order to live … … We look for the sermon in the suicide, for the social or moral lessons in the murder of five. We interpret what we see, select the most workable of the multiple choices. We live entirely, especially if we are writers, by the imposition of a narrative live upon disparate images, by the “ideas” with which we have learned to freeze the shifting “phantas – magoria” which is our actual experience.

Joan Didion

The white album


Gambar 27 –
Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar, Rabu 01 Nopember 2006 Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar berfoto bersama di depan kuil Tengboche, sebelum perjalanan ke Dingboche. Kuil ini merupakan kuil yang berpengaruh di area Solukhumbu dan terkenal dengan festival tari topeng Musim Gugurnya – Mani Rimdu


“Diarrhoea” : ya diare, penyakit ini merupakan “momok” kedua bagi saya setelah AMS (Altitude Mountain Sickness). Terlebih mengingat saya selama ini “rentan” terhadap dua hal yaitu : gangguan pencernaan (mudah diare) dan iritasi tenggorokan, terutama bila kena debu dan temperatur yang berubah-ubah ekstrim.

Mengetahui bahwa para pendaki yang ke Nepal sering terkena diare dan 80 % disebabkan diare karena bakteri sebagai akibat sanitasi & kebersihan lingkungan belum memadai maka sebenarnya saya telah melakukan persiapan khusus berupa peningkatan daya tahan dan membawa obat-obat khusus diare dan radang tenggorokan dalam jumlah besar, terutama antibiotik. Sudah menjadi rahasia umum bila melakukan perjalanan di Nepal pantang minum air langsung dari sungai / mata air, dan air harus di masak sampai mendidih atau difilter dengan sistim kombinasi antara sistim mekanis biasa dengan kimia yang ditambahkan zat pembunuh kuman, bakteri, protozoa seperti yodium, chlorine, sebelum diminum. Pantangan untuk minum air mentah dari sungai maupun mata air walaupun air tersebut sangat “bersih”, jernih & segar benar-benar ditaati oleh para pendaki yang tahu, porter & sherpa maupun penduduk lokal lainnya.

Struktur air sungai dan air tanah di Nepal amat berbeda dengan struktur air sungai dan tanah di Indonesia. Di Indonesia, air sungai berasal dari air tanah dalam yang sudah melalui proses penyaringan alami lewat batu-batuan, pasir dan tanah sehingga relative lebih bersih dari kuman, bakteri, protozoa dan relatif aman diminum mentah. Sedangkan air sungai di Nepal adalah air yang berasal dari gletser yang mencair, dan berupa air permukaan yang langsung masuk sungai. Jadi semua kotoran manusia dari WC umum / penduduk, kuman, bakteri, protozoa sekalian masuk sungai. Belum lagi banyak kotoran (tinja) dan air kencing yak yang juga masuk ke sungai dan mencemari air sungai tersebut. Dapat dipastikan air sungai di Nepal sangat terkontaminasi dengan semua kuman, bakteri, protozoa, virus ataupun apapun namanya yang siap “membunuh” manusia yang lengah. Hal ini amat disadari para pendatang & penduduk lokal Nepal.

Gambar 28 –
Geomorphologi sungai di Nepal, Rabu 01 Nopember 2006

Air sungai di Nepal tampak “bersih“, jernih dan segar, tetapi di dalam air sungai tersebut banyak terdapat kuman, bakteri, protozoa dan virus yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan diare pada kita yang tidak jarang berakibat fatal.

Tampak sebagian Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar akan menyeberangi Imja Khola dalam perjalanan ke Dingboche


Problem di Nepal adalah sanitasi yang kurang baik dimana pembuangan kotoran manusia tidak sepenuhnya aman, dan tidak “tertutup” dan sering mencemari sungai ditambah bertebarannya kotoran & kencing yak yang “bebas” masuk sungai. Untuk mendapatkan air bersih yang aman diminum dapat dengan cara memasak sampai mendidih (mahal & memerlukan bahan bakar banyak) atau mempergunakan alat pemurni air (water purification).

Sebaiknya memakai filter air kombinasi antara filter mekanis dan kimia. Filter mekanis mempunyai pori-pori penyaring sebesar 0,2 mikron, memang efektif untuk menyaring protozoa (giardia) dan amuba (ukuran antara 7 – 10 mikron), bakteri (0,4 mikron) tetapi tidak bisa menyaring virus (0,05 mikron), sehingga virus dapat dengan mudah lolos pada filter air mekanis. Agar aman terhadap virus maka filter air mekanis dikombinasikan dengan penambahan sistim kimia seperti yodium atau chlorine, sebagai zat pembunuh efektif terhadap para virus tersebut.

Kuman dan bakteri penyebab diare itu tumbuh dan berasal dari WC / kakus umum / penduduk di sepanjang Himalaya trek , kemudian menyebar lewat lalat, serangga, aliran air menuju sungai dan makanan di meja kita. Belum lagi para tukang masak di dapur restoran yang tidak mencuci tangan setelah “buang hajat“ dan langsung masak serta menyiapkan hidangan makan kita. Namun demikian bila timbul diare dan segera diobati dengan cepat maka hanya beberapa jam saja sudah sembuh, kecuali sudah terlalu parah dan badan kehilangan banyak cairan tubuh. Pengobatan yang paling efektif adalah minum antibiotik, terus makan teratur dan banyak minum air untuk pengganti cairan tubuh yang hilang dan lebih baik lagi bila ada “cairan elektrolit“ atau larutan garam.

Bila penyakit diare sudah “memuncak“ maka akan timbul gejala seperti :

· Kehilangan keseimbangan

· Demam tinggi

· Kejang – kejang

· Muntah – muntah

· Lemas karena kehilangan cairan tubuh

Kehilangan cairan tubuh di tempat ketinggian adalah sangat berbahaya, karena itu bagaimanapun kondisinya kita tetap harus minum untuk menjaga agar tubuh tidak terus kehilangan cairan, larutan “elektrolit“ akan lebih baik.

Rabu pagi, 1 November 2006 itu kami setelah sarapan pagi melanjutkan perjalanan ke Dingboche, kami berpisah dengan Sieling di Tengboche. Sieling akan turun ke Namche Bazaar dengan porter dan kami Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar melanjutkan perjalanan ke Dingboche setelah berfoto bersama di depan kuil legendaris di Tengboche.

Pagi itu pemandangan sangat indah, saya lama menatap dinding-dinding es yang terjal dan tinggi dari Kwangde (6817 M), dari puncak bukit, tampak kuil Tengboche didepan saya menambah kekuatan dan kesan “magis“ pada pemandangan pagi itu. Dari bukit itu, bila saya memutar badan searah jarum jam, tampak berderet puncak-puncak salju lainnya seperti; Khumbila (5761 M), Cholatse (6440 M), Taboche (6542 M), Lhotse-Nuptse ridge, Ama Dablam (6856 M), Kangtega (6783 M), Thamserku (6608 M), seolah-olah Tengboche dikelilingi oleh deretan puncak-puncak atap dunia yang berselaput salju abadi.

Gambar 29 –
Khumbila (5761 M), Rabu 01 Nopember 2006

Tampak puncak Khumbila (5761 M) yang tertutup awan putih dengan yak jantan berpose di depannya

Indah sekali panorama itu, saya hanya menghela nafas dalam ketika perut mulai mulas lagi karena serangan diare dari kemarin. Saya sudah minum antibiotik dan obat diare yang saya bawa dari Jakarta, beberapa rekan Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar juga terkena diare berat seperti Hasan Sunardi, George, Susanto dan beberapa lainnya.

Begitu turun bukit, kami masuk hutan kayu kering dan semakin jauh meninggalkan Dudh Kosi yang mulai kami tinggalkan di Phunki Tenga dan mulai mengikuti sungai Imja Khola. Desa berikutnya Devuche (3770 M), turun 90 M dari Tengboche, bertemu Rhododendron Logde yang nantinya kami pakai bermalam sewaktu kembali dari Everest Base Camp karena penginapan di Tengboche penuh sehubungan banyak pendatang yang mengikuti festival “Mani Rimdu“, yaitu festival tari topeng yang diselenggarakan setiap tahun selama musim gugur di bulan Oktober – Nopember. Festival terebut dilakukan selama beberapa hari, dan banyak pendatang berkumpul di Tengboche.

Selepas Devuche, masih didalam hutan kayu karena tidak tahan lagi, saya “buang hajat“ dan diare berat setelah menggali lubang di hutan. Prosesi itu memakan waktu lebih dari 30 menit karena harus menggali lubang, membuka 4 lapis pakaian dan “berjuang“ mengatasi “mulas“ dan “kejang perut“ sampai keluar keringat dingin. Badan mulai terasa lemas, sendi tulang mulai ngilu dan terasa kedinginan.

Gambar 30 –
Salju pertama selepas Devuche (3770 M), Rabu 01 Nopember 2006

Kami bertemu salju pertama kali di hutan kayu kering selepas Devuche (3770 M). Meskipun masih sedikit sudah membuat gembira Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar

Jalanan terus menurun hingga tepi sungai Imja Khola, dan mulai menemukan salju di tanah. Kawan-kawan Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar sangat senang bermain di salju dan berfoto karena merupakan pengalaman pertama bertemu dan berjalan diatas salju hingga sampai desa Milingo dengan rumah kayunya serta beberapa restoran kecil.

Lepas Milingo mulai mendaki dengan panorama dinding Lhotse-Nuptse yang terkadang tampak dan hilang tertutup bukit dan banyak menemui chorten, kemudian kaani dan bukit karang yang menggantung, dimana ditemui “Tapak kaki atau jejak“ dari Sangwa Dorjee pada batu, seorang bhiksu suci abad 17 yang menyebarkan dan memperkuat perkembangan agama Buddha di daerah Solukhumbu.

Sekitar jam 11 tiba di Pangboche (4000 M) desa besar dengan lusinan restoran dan penginapan. Kami beristirahat sebentar sambil menikmati panorama spektakuler dari Ama Dablam (6856 M) dan sungai Cholungche Khola yang mengalir dari sebelah kanan, terus membentuk turunan tajam (air terjun) dan bersatu dengan Imja Khola di sebelah kirinya, Ama Dablam sebagai latar belakangnya sangat memukau.

Gambar 31 –
Ama Dablam (6856 M), Rabu 01 Nopember 2006

Ama Dablam begitu perkasa menjulang, tinggi, disini Cholungche Khola bertemu dengan Imja Khola dan tampak Ram Pant salah satu porter kami

Makan siang di desa Shomare (4070 M), kami sudah berjalan sejauh 5,5 Km sejak dari Tengboche, badan terasa capai. Kalau di Pangboche pepohonan mulai jarang, maka di Shomare nyaris tidak ada pohon, hanya batu, tebing granit dan pasir kering kerontang.

Jam makan adalah waktu yang istimewa dan sangat ditunggu oleh semua Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar tanpa kecuali. Karena baik waktu makan siang atau malam, kami bebas beristirahat, makan, minum dan bercanda. Tampak “duo“ : Hani & Tisi yang saat ini tinggal di Malaysia, mereka berdua adalah saudara sepupu. Hani Idayanti adalah anggota Mahitala Angkatan Dharmatatya Buana. Yang saat ini bekerja sebagai Procurement Manager untuk Asia Pacific dari Philip Morris – Malaysia. Hani yang lulus program MBA tahun 1997 dari Monash University Melbourne Australia memang cocok bekerja sebagai “Procurement Manager“ yang acapkali perlu travelling dan butuh sifat yang energik. Sedangkan Tisi bukan anggota Mahitala tetapi di ajak oleh Hani untuk ikut ke Nepal, bergabung dengan Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar. Tisi meskipun sempat “terseok-seok“ dalam perjalanan kali ini dan mengalami “krisis“ hari kedua di Namche Bazaar tetap melaju dengan kemauan kerasnya, bermodalkan persiapan fisik sebelum keberangkatan yang ternyata amat membantu.

Istri dari seorang Kapten Pilot Senior Air Asia (sebelumnya 8 tahun bekerja di Garuda), yang saat ini tinggal di Johor Bahru sempat mengenyam pendidikan di Monterey Peninsula College – California jurusan Accounting mempunyai hobby mengurus rumah tangga dengan segala pernak-perniknya, baca novel, nonton film dan pernah sebagai guru les bahasa Inggris. Tisi sempat “resah“ di Namche Bazaar, hari pertama sudah pusing dan mulai minum “Diamox“ sementara rekan-rekan lainnya masih “gagah perkasa“. Karena takut merepotkan nantinya maka Tisi mempunyai tip tersendiri selama perjalanan; makan banyak, tidur cukup. Agar dapat tidur pulas, selalu mengisi botol minum dengan air panas dan kemudian di masukkan kedalam sleeping bag agar hangat di badan. Terbukti tip ini sangat manjur. Meskipun diluar dingin, tetapi di dalam sleeping bag hangat yang membuat Tisi tidur lelap, dan kondisinya mampu bertahan di medan yang berat itu.

Gambar 32 –
Imja Khola, Rabu 01 Nopember 2006

Tampak Imja Khola disebelah kanan kami setelah Shomare (4070 M) dalam perjalanan ke Orsho (4100 M) dan terus ke Tsuro Wog (4316 M). Medan yang mulai gersang, kering merontang


Setelah makan siang, kami menuju Orsho dan menuju Tsuro Wog (4136 M), kami berjalan disisi kiri sungai Imja Khola (sungai di sebelah kanan kami). Ada persimpangan jalan di Tsuro Wog, yang terus ke Pheriche, sedangkan yang ke kanan menuju Dingboche. Sepanjang perjalanan ini kami menemui beberapa “peternakan “ yak. Jalanan mendaki untuk mencapai Dingboche (4360 M), di sore hari itu dengan sisa-sisa tenaga yang ada dan kepenatan yang menggumpal.

Gambar 33 –
Peternakan “yak“, Rabu 01 Nopember 2006

“Yak“ sangat penting di Nepal dan merupakan alat transportasi untuk barang di pegunungan tinggi Himalaya. Yak mampu membawa muatan sampai 100 kg. Tampak “peternakan yak“ di pinggang pegunungan tinggi

Dingboche sangat dingin, getir, berangin kencang dan temperatur dibawah 0o C, bahkan juga di musim panas sekalipun, tetapi pemandangan gunungnya sangat spektakuler, tampak Pumori (7138 M) berdiri gagah dan jangkung. Di Dingboche ada 17 penginapan dan beberapa bumi perkemahan, ada telepon satelite dengan tarif NRs 350/menit = Rp. 42.000 / menit untuk interlokal, mahal memang, tetapi memadai untuk telepon ke tanah kelahiran. Jadi sekali menelepon minimal Rp. 500.000,- adalah biasa.



Gambar 34 –
Dingboche (4360 M), Rabu 01 Nopember 2006

Dingboche tampak di kejauhan, menyendiri beku di pinggang gunung. Tampak di latar belakang Lhotse-Nuptse ridge yang menjulang ditutup awan putih

Ketika saya sedang beristirahat di ruang makan restoran yang hangat dengan perapian berbahan bakar kotoran yak kering (dunk), George masuk dengan langkah gontai, pucat, mata sayu tapi merah dan bibir pecah, kering dan berwarna putih. Saya sapa singkat : “Are you OK George?”, George menjawab datar: “I Am OK bro, don’t worry“. George langsung masuk kamar dan tidak keluar lagi malam itu sampai keesokan harinya...... Saya khawatir kondisi George akhir-akhir ini dan terutama hari ini setelah tahu George terserang diare berat dan beberapa kali buang air besar sepanjang perjalanan ke Dingboche.

George adalah “Mahitala-Lover“ sejati, produk unggulan hasil dari pendidikan dan latihan Mahitala. Lelaki bertubuh tegap dan tinggi besar ini benar-benar suka mendaki gunung di seantero kawasan Indonesia. Fisiknya luar biasa kuat dan saya yakin termasuk kelompok anggota tim dengan kondisi fisik prima di Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar. Terbukti sejak perjalanan dari Lukla – Phakding – Namche Bazaar – Syhangboche – Tengboche – Dingboche, George menjadi komandan perjalanan tidak resmi yang kadang-kadang beberapa kali naik turun bukit hanya sekedar memeriksa dan memastikan apakah semua peserta kelompok akhir masih dalam jalur pendakian dan tidak tertinggal atau “tersesat“. George anggota Mahitala Angkatan Dharmatatya Buana yang saat ini bekerja sebagai General Manager Carefour Indonesia.

Bapak dua anak yang beristerikan seorang anggota Mahitala juga, benar-benar “all out“ dan “helpfull“ dalam menjalani persiapan dan pelaksanaan perjalanan ke Nepal. Terbukti George paling bersemangat dalam persiapan pra Nepal, mengingatkan semua anggota tim akan perlunya persiapan yang baik, meskipun akhirnya kisah perjalanan George ke Nepal berakhir lain dan tragis. Selama perjalanan awal di pegunungan Himalaya, George benar-benar membuktikan mempunyai kekuatan fisik yang luar biasa dan membuat saya kagum. Sejak hari ke dua di Phakding dan hari-hari berikutnya, setiap pagi George dibantu Mario dan Ian menyiapkan air minum bersih untuk kita semua Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar.

Pukul 05.00 pagi George sudah bangun, mengumpulkan botol-botol minum kosong dari depan pintu kamar-kamar kami, menyaring air minum lewat peralatan filter air yang dibawa oleh Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar, dengan sabar mengisi ke botol-botol kosong itu untuk diserahkan kepada pemiliknya. Sementara anggota tim lainnya masih bergelung nikmat tidur nyenyak di dalam sleeping bag masing-masing. Sedangkan George, Mario dan Ian sudah memulai aktivitas pagi mereka.

Hal lain yang mungkin orang lain tidak tahu, George selalu “mencicipi“ hasil filterisasi air tersebut dengan cara minum sedikit dan merasakan dengan lidahnya, apakah kualitas air sudah baik sebelum diserahkan ke kami. Bila kualitas air menurut George kurang bagus, maka akan diganti atau proses filterisasi di ulang, dicicipi lagi sampai mendapatkan kualitas air yang baik. Tanpa sadar George telah berfungsi sebagai “tester“ air (yang berbahaya buat dirinya !!!) untuk kita semua.

Menurut saya, air yang dicicipi George setiap pagi itu yang membuat George diare berat, terus kehilangan cairan tubuh dan terakhir “tumbang“ di Dingboche. Faktor lain atas gagalnya Sieling dan George adalah faktor “lalai / teledor“ dari kita semua, seharusnya bila anggota tim “peka“ dan ada perhatian lebih maka apa yang dialami Sieling dan George masih dapat di atasi dan tidak berakibat fatal, mereka tidak perlu kembali ke Kathmandu. Bila di atasi secara benar seperti melakukan tindakan yang tepat bila terkena AMS (HAPE/HACE), maka Sieling dan George akan tetap mampu menyelesaikan rangkaian perjalanan ini. Masalahnya adalah bahwa sebagian besar anggota Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar sudah melorot kondisi fisiknya. Mereka hanya konsentrasi dan fokus terhadap diri masing-masing, bagaimana agar tetap semangat, bisa bertahan dan melanjutkan perjalanan. Selain diare, batuk mulai berjangkit di semua anggota tim (Khumbu - Coughing).

Semua anggota tim merasa kondisi Sieling dan terutama George jauh lebih baik dan kuat dari kondisi mereka, sehingga tidak terlintas di pikiran kami bahwa Sieling & George akan sakit, sampai “tragedi“ itu terjadi dan semua orang “terhenyak“. Ini adalah salah satu resiko melakukan perjalanan dalam suatu tim jumlah besar yang teroganisir dengan rapi.

Malam di Dingboche itu berlalu dengan lambat dan beku, tengah malam saya terbangun dan ke kamar kecil karena masih diare, nyata sekali “lengkingan“ batuk rekan-rekan lain begitu keras dan “membahana“ sambung menyambung begitu dalam & kering suara batuk itu dan yang membuat saya “miris“ ...... namun demikian tekad kami tetap ... ... the trip should continue. Tomorrow we should climb Chhukhung RI (5559 M) and Kalapatthar (5545 M) on 04 November 2006 then to Everest Base Camp (5300 M) on 05 November 2006 ... ...


Namaste,

Budi Hartono Purnomo

M-78188 AS


0 Comments:

Post a Comment

<< Home