17 November 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA X

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

“EBC yang tidak ada kehidupan, muram dan beku”

Bagian X :

Gorak Shep (5170 M) – Everest Base Camp (5360 M)

Jarak : 8 Km (round trip / pulang pergi)

Waktu Tempuh : 6,5 jam p.p. (normal)

I looked down. Descent was totally unappetizing … …

To much labor, too many sleep less nights, and too many dreams had been invested to bring us this far. We couldn’t come back for another try next weekend. To go down now, even if we could have, would be descending to a future marked by one huge question :

“What might have been?”

Thomas F. Hornbein

Everest : The West Ridge


Gambar 64 –
LingTren (6713 M) dan Phumori (7138 M) – Minggu 05 Nopember 2006

Jalur ke Everest Base Camp di barat Gorak Shep, dengan latar belakang LingTren (6713 M) dan Phumori (7138 M).

Cuaca sangat cerah, terik matahari “membakar“ tubuh, tetapi udara tetap saja dingin.


Sisa – sisa kelelahan pendakian di ”karang hitam” Kallapatthar (5545 M) kemarin masih membalut tubuh, pagi ini Minggu, 05 Nopember 2006 adalah ”goal” terakhir Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar : Tour ke Everest Base Camp (5360 M).

Sir John Hunt, pemimpin ekspedisi yang sukses dari Inggris tahun 1953 melukiskan bahwa Everest Base Camp “tidak menarik” untuk dikunjungi. Tempat yang tidak ada denyut kehidupan, muram dan beku serta tempat yang tidak indah “Lifeless” and “not a beautiful place”). Sir John Hunt tidak berlebihan dan nantinya setelah dijalani rute pulang pergi sejauh 8 Km yang ditempuh lebih dari 7 jam itu sungguh “menyengsarakan” karena lewat medan batu koral besar dan pasir serta di “panggang” matahari yang terik tapi udara dingin. Ditambah udara tipis (Thin Air) membuat langkah kami makin terseok, dada sesak hingga “membuyarkan” keinginan beberapa teman untuk meneruskan perjalanan ke Everest Base Camp karena batal ditengah jalan.

Terlalu berat dan sulit melakukan “Hattrick” pendakian puncak Kallapatthar (5545 M) dan tour ke Everest Base Camp (5360 M) dalam satu hari saja. Karena itu Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar mengatur perjalanan dari Lobuche – Gorak Shep – Kallapatthar dalam 1 (satu) hari. Kemudian tour ke Everest Base Camp hari berikutnya dan bermalam di Gorak Shep, baru keesokan harinya perjalanan turun dari Gorak Shep langsung ke Pheriche (hanya lewat saja di Lobuche yang berjarak 2.5 jam dari Gorak Shep).

Minggu pagi, 05 Nopember 2006 itu kami mengambil arah ke barat dari Snowland Lodge di Gorak Shep, seolah – olah akan kembali ke jalur Kallapatthar, baru berbelok ke kanan ke utara menyisir ujung Khumbu Glacier, sementara Kallapatthar ada disisi kiri kami. Tak lama kemudian kami tiba di danau kecil (Gorak Shep Tsho) di utara Gorak Shep yang dari jauh tampak seperti berair jernih dan tenang, tidak ada riak air. Ternyata danau tersebut beku dan permukaannya dilapisi lapisan es keras, seolah – olah “kaca” setebal beberapa centimeter.

Hampir semua anggota Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar yang menuju Everest Base Camp meluangkan waktu untuk main – main di danau beku itu dengan cara melemparkan batu ke tengah danau yang kemudian terdengar bunyi seperti musik angklung yang bertalu – talu. Suara itu begitu mempesona ditengah kesunyian alam yang membisu.

Gambar 65 –
Gorak Shep Tsho (5200 M) – Minggu 05 Nopember 2006

Danau yang indah “Gorak Shep Tsho (5200 M)“ yang permukaanya tertutup lapisan es keras seperti kaca dengan ketebalan beberapa centimeter. Bila batu di lemparkan horizontal akan memantul beberapa kali dan mengeluarkan bunyi yang indah di tengah kesunyian alam.


Perjalanan hari ini termasuk amat berat karena jauh, medan yang “sulit”, perjalanan yang membosankan dan pemandangan yang tidak indah. Sangat bertolak belakang dengan perjalanan kemarin di “Amazing Kallapatthar”. Beberapa rekan memilih tinggal di Gorak Shep untuk memulihkan kondisi fisiknya, sedangkan sebagian kecil melakukan tour ke Everest Base Camp.

Gambar 66 –
Ujung Khumbu Glacier – Minggu 05 Nopember 2006

Sani Handoko dengan senyum khasnya ketika beristirahat ditumpukan batu koral untuk memulihkan kondisi fisiknya. Saya yakin saat itu Sani juga sedang menikmati “nyeri & linu“ dilutut nya karena baru 1 (satu) bulan di operasi.

“Kami salut dengan semangat anda meskipun tertatih – tatih berjalan di Everest Base Camp yang dibantu sepasang Trekking Pole“.


Everest Base Camp sebenarnya bukan tempat khusus yang dikunjungi orang. Tempat ini hanya merupakan “camp” sementara, tempat persinggahan bagi para pendaki yang mau mendaki ke Mt. Everest (8848 M). Akhir – akhir ini beberapa kelompok pendaki memilih ke tempat lain sebagai alternative mendirikan “camp sementara” sebelum pendakian ke Mt. Everest. Everest Base Camp amat ramai selama musim pendakian, yaitu bulan April, Mei atau September & Oktober setiap tahunnya, pada saat – saat itu kondisi Everest Base Camp macam “pasar kaget” dengan ratusan tenda warna – warna cerah para pendaki dari berbagai Negara, lengkap dengan dukungan logistiknya. “Lalu lintas Yak dan Porter” amat padat yang kadang – kadang macet seperti “Pasar Minggu” di Jakarta.

Tour ke Everest Base Camp amat menarik dan menantang tetapi pemandangan tidak se – spektakuler pemandangan di Chukkhung RI maupun Kallapatthar. Memang bisa melihat dinding terjal es, menara – menara / tonggak salju yang menjulang tinggi (Pinacles), tetapi selama perjalanan ke Everest Base Camp sulit menemukan Mt. Everest karena tertutup Lhotse – Nuptse Ridge dikanan maupun West Ridge dikiri.

Sejak dari Gorak Shep, sejauh mata memandang hanya tampak longsoran batu karang hitam dan coklat (Boulders) seukuran kepala truck tronton atau kerbau liar, yang memaksa otot kaki & paha berpotensi menjadi kejang (kram), beberapa kawan terjatuh sehingga mengakibatkan paling tidak lecet, terkilir sehingga jalan pincang. Perjalanan terasa berat ketika kami merayap di ujung Khumbu Glacier dan melewati Khumbu Ice Fall yang cukup curam dan labil.

Pengaruh udara tipis (Thin Air) begitu terasa, sering saya berhenti hanya untuk menetralkan deru nafas dan memenuhi tuntutan paru – paru akan pasokan oksigen. Jujur saja otot kaki dan badan masih dapat menyesuaikan dan bertahan di medan tersebut yang makin hari kondisi badan makin stabil karena proses aklimatisasi, tetapi kurangnya pasokan oksigen ini yang membuat sedikit masalah.

Terkadang bila kami “paksa” beraktifitas agak berlebihan, misal jalan cepat, selain nafas makin memburu, maka kepala menjadi pusing. Di ketinggian seperti ini dengan tipisnya udara aktifitas tambahan menjadi beban, bahkan mengambil foto – foto dan pindah tempat untuk mendapatkan sudut bidikan foto yang bagus sudah menjadi beban tersendiri. Karena itu tidak heran akhirnya banyak teman yang “malas” mengambil foto, lebih baik berjalan pelan terus tanpa bicara dan konsentrasi penuh pada tarikan nafas.

Pukul 12 siang kami tiba di Everest Base Camp, melihat medannya saya sadar bahwa sulit mengenali jalur (track) yang tepat di medan batu yang luas itu. Bila tidak ada petunjuk jalan yang handal, akan sangat mudah tersesat karena jalan setapak dapat banyak berputar – putar kembali ke tempat asal. Bisa frustasi menemukan arah menjelang Everest Base Camp ataupun menemukan jalan kembali ke Gorak Shep.

Gambar 67 –
Gerbang menuju Everest Base Camp – Minggu 05 Nopember 2006

Memasuki kawasan Everest Base Camp harus hati – hati dan memperhatikan tanda – tanda, karena mudah tersesat, jalan berputar – putar dan tidak dapat menemukan jalan pulang ke Gorak Shep. Dinding pegunungan salju menjulang tinggi mengelilingi Everest Base Camp.


Di Everest Base Camp, di ujung Khumbu Ice Fall kami menemukan rongsokan bangkai helikopter yang jatuh dan teronggok diatas timbunan salju. Diperkirakan Helikopter jatuh 3 (tiga) tahun yang lalu. Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar, terutama Lily Nababan berteriak histeris ketika menginjak salju di Khumbu Ice Fall. Cukup lama kami main salju, dan banyak ambil foto. Cuaca hari itu amat cerah, matahari garang dan langit biru terang.


Gambar 68 –
Bangkai Helikopter dan Lily Nababan – Minggu 05 Nopember 2006

Tampak bangkai helikopter teronggok di ujung barat Everest Base Camp dan Lily Nababan yang berjaket merah. Teknologi boleh maju, ada transportasi canggih seperti helikopter yang mampu mendarat di puncak Mt. Everest (8848 M) tapi kami percaya kalau Sang Agung Sagarmatha (Chomolugma / Mt. Everest) tidak mengijinkan mereka naik, pasti akan gagal.

The Secret Mountain Always and Still hold their “Green Card“ ....

Kita bisa sampai ke puncak kalau gunung itu memang menghendaki.


Diujung Khumbu Ice Fall dimana – mana salju, beberapa kawan menggali lubang untuk ”buang hajat”. Sedangkan saya kembali batuk yang ”berdentum” keras dan melontarkan gumpalan darah beku terakhir dari tenggorokan. Selanjutnya entah mengapa, batuk berkurang, rasa sakit dileher berangsur hilang dan sembuh total 2 (dua) hari lagi di Namche Bazaar tanpa diobati lagi. Hampir 2 (dua) jam kami ”menjelajah” wilayah Everest Base Camp, tempat yang terkenal karena dipakai oleh para pendaki untuk persiapan menuju puncak Mt. Everest (8848 M).

Banyak ditemukan aliran sungai yang membeku dengan aliran air kecil di tengah es, gua –gua es (apa ada ”Yeti” bersembunyi disana ???) dan ancaman celah – celah es yang mematikan (Crevasses) di beberapa tempat.

Gambar 69 –
Gua Es di ujung Khumbu Ice Fall – Minggu 05 Nopember 2006

Di Everest Base Camp banyak ditemui gua – gua es, dengan aliran air pada glacier di tengah. Pemandangan ini amat “aneh“ bagi kami.

Apakah “Yeti“ si mithos itu ada di sana ???

Atau sekedar dongeng pengantar tidur secara turun temurun ???


Memandang hamparan salju begitu luas saya jadi ”bergidik” karena mengingat : Babu Chiri Sherpa, pemegang rekor 11 (sebelas) kali mendaki Mt. Everest, 2 (dua) kali dilakukan dalam 2 (dua) minggu berturut – turut mendaki Mt. Everest dan bertahan 21 jam di puncak Mt. Everest tanpa tabung oksigen, tetapi meninggal dunia di telan Crevasses, ketika akan mengambil foto. Begitulah nasib orang tidak ada yang tahu dan kita dituntut selalu waspada, hati – hati dan penuh perhitungan, tidak hanya ketika mendaki gunung, tetapi dalam kehidupan sehari – hari yang justru lebih ”berbahaya” dari pada di gunung.

Crevasse adalah celah es di dataran, terbentuk karena gerakan / patahan atau ada aliran sungai dibawahnya. Biasanya lapisan atas tertutup, tetapi bagian bawah es tidak cukup keras. Sering terjadi ketika pendaki berjalan di atasnya, tiba – tiba lapisan es itu pecah, runtuh membentuk celah yang membuat tubuh pendaki terperosok ke dalamnya. Bila tidak segera ditolong, pendaki akan meninggal dunia karena kehilangan panas tubuh (Hyphothermia) atau tubuh masuk jurang es. Salah satu cara menghindari bahaya Crevasse adalah dengan berjalan berurutan, memakai penunjuk jalan berpengalaman serta membawa tongkat alumunium untuk menusuk es sebelum diinjak atau sebagai tongkat penyelamat ketika terjatuh ke dalam crevasse.

Gambar 70 –
Senyum lega di Everest Base Camp – Minggu 05 Nopember 2006

Meskipun khawatir akan „celah – celah“ es yang rapuh (crevasse), tampak BHP tersenyum di Everest Base Camp dengan Phumori (7138 M) menjulang gagah di belakangnya. Selesailah goal Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar dengan 4 (empat) goal – nya :
Syangboche, Chukkhung RI, Kallapatthar dan Everest Base Camp


Siang itu kami tidak makan siang, hanya makan coklat dan snack ringan sebagai pengganjal perut. Pukul 14.00 kami memutuskan kembali ke Gorak Shep sebelum cuaca berubah menjadi mendung atau kemalaman di jalan. Perjalanan pulang dilakukan dengan cepat, mengabaikan ujung jari kaki yang ngilu karena memar terdorong ujung sepatu.

Meskipun terseok – seok tetapi veteran Mahitala Unpar tetap gigih terus maju. Dapat dikenali Broer Ambrin Siregar yang dijuluki ”Sang Guru” di Nepal, anggota Mahitala Angkatan Pelopor dengan jaket hitamnya dan rokok yang terus mengepul di bibirnya terus melaju. Sementara di belakang masih terlihat Susanto lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Parahyagan Bandung, juga anggota Mahitala Angkatan Hujan Konyal. Susanto pengusaha yang bergerak pada usaha Ekspor rumput laut itu dikenal mempunyai rasa kesetiakawanan yang sangat tinggi dan selalu siap menolong orang lain. Bersama Susanto ada Tjandra Heru anggota Mahitala Angkatan Samagaha yang juga anggota Tim Maoke 1983 Mahitala Unpar, sewaktu melakukan Ekspedisi Irian Jaya dan seputar lembah Baliem di pegunungan Tengah Jayawijaya tahun 1983, 24 (dua puluh empat) tahun silam.

Gambar 71 –
Avalanche di Nuptse Ridge – Minggu 05 Nopember 2006

Diawali dentuman menggelegar dan bumi bergetar maka kami mengalami Avalanche (longsornya salju) di Nuptse Ridge yang saat itu berada di kiri kami dalam perjalanan pulang ke Gorak Shep. Batu – batu kecil turun beterbangan di terjang longsoran salju.


Begitu lolos dari gerbang Everest Base Camp, kami kembali masuk Khumbu Glacier, ”melipir” dinding terjal pegunungan Himalaya disebelah kiri kami (Nuptse Ridge). Dalam perjalanan pulang, kami sempat mengalami salju longsor (Avalanche) di Nuptse Ridge yang disertai suara keras ”menggelegar” seperti bunyi bom yang diikuti longsoran salju dan es ke arah kami. Akibat Avalanche itu, ikut beterbangan batu – batu koral ke arah kami.

Pengalaman mengajarkan bahwa bila terjadi longsoran apapun, kita harus mengamati teliti kearah mana longsoran itu terjadi. Kita tidak boleh lari membabi buta, tetapi mengamati arah salju / batu yang jatuh itu baru kemudian kita menentukan arah lari kita. Hal ini akan menyelamatkan kita dari kecelakaan / luka – luka serius.

Perjalanan pulang terasa lama, waktu berputar lambat, kebosanan terus menerpa dan keletihan telah memuncak tapi kita tetap harus terus meskipun ragu kapan kita akan sampai di Gorak Shep :

For those who didn’t dally, our daily tracks ended early in the afternoon, but rarely before the heat and aching feet forced us to ask our porter. ”How much farther to Gorak Shep ? The reply, We soon were to discover, was invariable : ”only two mile more, ... ... huh ... ...huh ... ”

Evening were peaceful, hot tea with sugar supply new energy, lights twinkling on the lodge at Gorak Shep, clouds dimming the outline of our pass for the day after. Growing excitement lured my thought again and again to the Himalaya Region ... ...

We arrived at Gorak Shep at 17.00 already dark. The mission of EBC 2006 – Mahitala Unpar already fulfilled and completed. When will we return again ... ? For another amazing adventure ... ... Everest ??? Why not ???...maybe in the future…,…oh dear ... ... We will miss it all ... ...until we will come back to continue our never ending adventures…

Namaste,
Budi Hartono Purnomo
M-78188 AS

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA IX

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

“Kallapatthar si ”karang hitam” yang dingin membisu”

Bagian IX :

Lobuche (4940 M) – Gorak Shep (5170 M) – Kallapatthar (5545 M)

Jarak : 3,7 Km Jarak : 1,5 Km

Waktu Tempuh : 3 jam (normal) Waktu Tempuh : 2 jam (normal)

Suffice it to say that (Everest) has the most steep ridges and appalling precipices that I have ever seen, and that all the talk of an easy snow slope is a myth … …

My darling, this is thrilling business altogether, I can’t tell you how it possesses me, and what a prospect it is. And the beauty of it all !

George Leigh Mallory,

in letter to his wife

June 28, 1921



Gambar 54 –
Campsite di Lobuche – Sabtu 04 Nopember 2006
Campsite di Lobuche (4940 M) – “one of the coldnest place in Khumbu Area“, kegiatan rutin setiap pagi sebelum mulai melanjutkan perjalanan.Bisa dibayangkan betapa “malas“ nya memulai aktivitas pertama di pagi yang dingin.


Tak percuma Lobuche menyandang gelar
“one of the coldnest place in Khumbu Region”, semalam saya tidak dapat tidur karena kedinginan dan udara tipis membuat sesak pernafasan. Sulit tidur adalah salah satu gejala apabila kita berada di ketinggian tertentu, dengan udara tipis untuk waktu lama. Kata orang yang pernah mengalami ini adalah masalah besar.


Sulit tidur atau tidak tidur sama sekali bukan masalah biasa & tidak biasa, tetapi yang pasti “eksposure” badan untuk terkena AMS (HAPE / HACE) menjadi lebih besar. Bergidik juga ketika saya bayangkan hal itu, belum lagi mengingat bahwa Lobuche (4940 M) adalah “titik balik” (Turning Point).


Bila kita tidak bisa bertahan di udara dingin tersebut,
dibarengi sesak nafas dan bahkan sulit tidur dan pusing, maka agar secara serius dipikirkan untuk tidak meneruskan perjalanan ke Gorak Shep (5170 M), sebaiknya turun ke Pheriche (4280 M) agar kondisi membaik. Tindakan bijaksana ini di lakukan oleh Hani Idayanti dan Caroline Djunaidi (Olin) karena gejala AMS semakin jelas. Bila dipaksa terus naik, nanti di Gorak Shep (5170 M) akan lebih menderita karena Gorak Shep lebih dingin dan dinginnya menggigit dibandingkan dengan di Lobuche.

Gambar 55 –
“Merayap“ keluar dari Lobuche ke Gorak Shep – Sabtu 04 Nopember 2006

Sebagian Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar yang beristirahat sejenak dalam perjalanan ke Gorak Shep (Tampak dari kanan ke kiri : Syamsuliarto, 2 porter, Tisi, Milug dan Irsan). Tanah masih tertutup serpihan salju tipis.


Dengan gontai saya bangun dan membereskan perlengkapan untuk sarapan sebelum menuju Gorak Shep (5170 M). Tenggorokan saya tetap sakit dan tidak ada tanda – tanda perbaikan, batuk masih keras dengan gumpalan darah beku terlontar. Diare sudah sembuh total, secara keseluruhan kecuali radang tenggorokan, kondisi saya masih prima untuk terus melanjutkan perjalanan. Betapa tipisnya udara bagi kami makhluk dataran rendah cukup mengganggu pernafasan, sering tersengal, dan menarik nafas tidak pernah cukup.
Setelah makan pagi, Sabtu 04 Nopember 2006 itu Tim EBC – 2006 Mahitala Unpar “merayap” ke arah barat dari lembah Khumbu dan setelah itu mendaki sepanjang tepi lembah di ujung gundukan Glacier. Tanjakan menjadi curam ketika semakin banyak gundukan (bukit) glacier disekitar Khumbu Glacier.


Gambar 56 –
Phumori (7138 M) – Sabtu 04 Nopember 2006

Tampak Phumori di sebelah kiri, masih tertutup kabut. Phumori dalam bahasa Tibet berarti “Daughter Peak“. George Leigh Mallory pendaki Inggris ternama yang memberi nama Phunori di tahun 1921, bersamaan dengan kelahiran puterinya : Clare. Waktu itu Mallory berusaha mencapai Everest dari arah Tibet tetapi “gagal“.


Bernafas benar – benar sulit, dada sesak dan seringkali tersengal, keletihan mulai menyergap yang terhibur dengan munculnya Phumori (7138 M) yang dengan gagahnya menghadang didepan kami, tampak juga Kallapatthar (5545 M) tepat di bagian bawahnya, sedikit bersandar di bahu bagian selatan Phumori.
Kallapatthar (5545 M) yang artinya “black – rock” (karang hitam) dalam bahasa Hindi. Dawa Tenzing secara kebetulan yang memberi nama tersebut ketika menemani Jimmy Roberts sewaktu mendaki puncak Kallapatthar.

Dari atas bukit menjelang Gorak Shep tampak jelas sosok Kallapatthar (5545 M) juga sosok alur trecknya, dimulai dari Himalayan Lodge di Gorak Shep, kekiri melintas dasar lembah seperti alur sungai kecil. Di bukit ini saya berhenti cukup lama menikmati pemandangan yang sangat luar biasa sambil menormalkan deru nafas.

Gambar 57 –
Rute ke Puncak Kallapatthar (5345 M) dan Gorak Shep –
Sabtu 04 Nopember 2006
Dari puncak bukit menjelang Gorak Shep, tampak rute ke puncak Kallapatthar yang membuat saya "mual“, sementara Gorak Shep sudah begitu dekat. Terbayang makan siang & teh panas manis dan selimut di atas kasur untuk tidur siang. Wah mulai “melantur“ lagi


Tampak di kiri depan Phumori (7138 M), di depannya adalah si “karang hitam” Kallapatthar (5545 M), sebelah kanan Phumori tampak berderet : LingTren (6713 M), Khumbutse (6639 M) juga tampak bahu barat laut (Northwest Col) dari Everest dengan Lho La Pass nya (6006 M). Di lintasan ini hanya ditemui batu koral besar menghadang perjalanan kami.


Pukul 11.15 Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar tiba di Gorak Shep (5170 M) meskipun matahari terik, tapi udara dingin tetap menusuk tulang, tampak sebagian besar anggota tim sudah “ambruk” kondisi fisiknya. Makan siang dilakukan cepat karena sebagian anggota tim akan terus melanjutkan perjalanan mendaki Kallapatthar (5545 M) yang dapat ditempuh dalam waktu 2 jam perjalanan dan merupakan target tujuan utama Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar sedangkan sebagian lagi memilih beristirahat di Gorak Shep.

Gorak Shep (5170 M) terletak di dasar lembah, merupakan base camp dari Tim Ekspedisi Everest Swiss tahun 1952. Kemudian tahun 1953 Tim Ekspedisi Everest Inggris memberi nama “Kamp Danau” (Lake Camp) yang artinya tempat di tepi danau kecil. Memang di Utara Gorak Shep di ujung jalan arah ke Everest Base Camp ada danau kecil yang sering beku dan di atasnya tertutup lapisan es tebal macam lembaran kaca dan kalau dilempar batu terdengar bunyi – bunyian macam angklung.

Sambil menunggu hidangan makan siang, saya melamun ke Pyramid (Italian Research Station), yang barusan kita lewati setelah 1 (satu) jam berjalan (+/- 1,3 Km) dari Lobuche, di sebelah kiri jalan. Tempat itu (Pyramid) sangat besar peranannya bagi komunitas pendaki. Entah sudah berapa banyak nyawa yang di selamatkan, dan banyak upaya penyelamatan dilakukan dari tempat itu beserta dengan penggunaan fasilitasnya. Awalnya tempat itu bernama : The Italian Pyramid yang didirikan oleh Prof. Ardito Desio seorang ahli Geologi modern yang juga pemimpin Ekspedisi Italia tahun 1954 yang sukses mendaki puncak K2 di Annapurna. The Italian Pyramid di dirikan tahun 1987 yang awalnya proyek ini didirikan untuk mengukur ketinggian sebenarnya dari puncak Everest dan K2 yang di sebut Everest - K2 – CNR Project (National Research Council) yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama Pyramid. Tahun 1989 struktur bangunan diganti dengan bahan alumunium dan kaca, juga dibangun laboratarium ilmiah yang di lengkapi dengan listrik tenaga Surya, sistim pemanas ruangan dan sarana komunikasi.

Sejak berdiri di Pyramid telah dipergunakan oleh lebih dari 400 kelompok studi yang sebagian besar dari Itali dan meliputi bidang – bidang ilmiah seperti : Geology, Lingkungan, Biologi, Kemanusiaan dan Teknologi Riset. Manfaat lain keberadaan Pyramid adalah menambah kenyamanan para pendaki yang dapat mempergunakan fasilitasnya, seperti tenaga surya dan sarana komunikasi satelit yang didistribusikan ke penginapan (Lodge) disekitar Khumbu area. Bisa di bayangkan ketidaknyamanan di Gorak Shep bila tidak ada listrik tenaga surya dan sarana komunikasi, yang akan menambah beban para pendaki ke Everest, karena itu Gorak Shep di tutup pada musim dingin antara Desember sampai Februari karena suhu dingin yang ekstrim.

Pukul 13.30 dengan malas sebagian anggota Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar mempersiapkan diri untuk mendaki Kallapatthar (5545 M). Sebagian “ngegerundel” dan bergumam, seperti kata Lily Nababan ; “ …edan neh …., baru naik bukit dari Lobuche, sampai Gorak Shep, sudah setengah mati, lagi enak – enaknya istirahah dan makan siang, sudah ingin jalan lagi ke Kallapatthar .... gak usah ye ……….Gue “istirohah” aja dulu, besok baru ke Everest Base Camp (EBC)”. Memang benar tidak semua mendaki ke Kallapatthar mengingat dari jauh saja, ketika memandang jalur ke puncak Kallapatthar saja sudah “mual”, belum lagi medan pasir dan batu hitam lepas yang sulit di daki.

Gambar 58 –
Mt. Everest (8848 M) – Sabtu 04 Nopember 2006

Dalam perjalanan mendaki Puncak Kallapatthar, disebelah kanan jalur, tampak Mt. Everest di lihat dari arah Barat Daya
(Southwest Face – Chris Bonnington mendaki dari arah ini). Tampak Susanto dengan jaket kuningnya dengan latar belakang Nuptse (7879 M)


Pemandangan waktu itu sungguh indah, cuaca sangat bagus, sulit untuk melewatkannya, maka kami terus mendaki dan mendaki. Kali ini rekan – rekan mendaki dengan diam, jalannya bak siput, ditambah tenaga yang sudah terkuras dari Lobuche ke Gorak Shep, serta medan batu lepas dan pasir yang lumayan sulit. Tampak di depan dengan jaket kuning yang dibeli di pasar kaget Namche Bazaar (sogo jongkok), Milug Trisarjono memimpin di depan bak panzer Jerman. Langkahnya pasti dengan sosok badannya yang tinggi besar. Suami Ros Silawati dengan hasil 3 (tiga) anak laki – laki ini memang mempunyai kondisi fisik prima, tidak heran kalau dari anggota tim ber 21 (dua puluh satu) orang ini, Milug adalah salah satu dari 3 (tiga) anggota tim (yaitu “ Milug, Ian dan BHP) yang menyelesaikan semua target EBC 2006 – Mahitala Unpar, yaitu mulai dari : pendakian Syangboche, Chukkhung, Kallapatthar dan Everest Base Camp (EBC).

Milug adalah pribadi yang ramah, lulusan Teknik Sipil Universitas Parahyangan Bandung tahun 1985 ini masuk Pendidikan Dasar Mahitala tahun 1986 Angkatan Hujan Konyal. Milug korban “cinlok” (cinta lokasi) dengan Ros sewaktu studi lanjutan di program Wijawijaya Management dari IPPM (di sponsori oleh Soedarpo Corp) yang tidak mau repot langsung menikah dan menghasilkan 3 (tiga) buah hati : Ihsan, Ariq dan Nafil. Saat ini Milug bekerja di Sun Microsystems Indonesia dengan posisi sebagai Sales Manager untuk Telecomunications Industry. Hobby beratnya adalah Diving, Mountaineering, Arus deras dan perjalanan ke manca negara serta pernah tergabung dengan Operation Raleigh Expedition yang terkenal di Pulau Seram – Ambon pada tahun 1987.

Saat ini Milug bersama Ros berusaha untuk membangun bisnis sendiri di bidang IT dan pendidikan serta ingin membantu banyak orang untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Selama Ekspedisi ke Himalaya Milug adalah teman sekamar saya dari hari pertama sampai terakhir, oleh karena itu sebagai “room – mate” Milug berkata : “bahwa dia berhak difoto paling banyak”. Maju terus Milug.

Setelah mendaki kaki “karang hitam” yang terjal itu setinggi 100 M, maka medan agak datar dan naik sedikit, di sini kami lebih leluasa mengatur nafas dan otot kaki. Everest tampak sangat jelas, muncul dengan punggungan bahu kirinya dan Nuptse (7879 M) di kanannya yang tampak menjulang tinggi seolah olah lebih tinggi dari Everest. Rute jalan mengarah ke kiri dan akhirnya naik terjal ke batu – batu karang hitam sebelum mencapai puncaknya. Pada pendakian ini saya merasakan pengaruh “Thin Air” (tipisnya udara dan oksigen), badan melemah, melangkahpun berat.

Gambar 59 –
Deretan Pegunungan Himalaya – Sabtu 04 Nopember 2006

Deretan pegunungan tinggi Himalaya ini menjadi batas alam antara Nepal dengan China dan Tibet. Sejak jaman dulu, ada beberapa celah yang dapat dilewati manusia ketika ber-migrasi. Di salah satu punggung itu terdapat Lho-LaPass (6006 M). Celah-celah lain yang terkenal adalah : Kongma LaPass, Renjo-LaPass, Nangpa LaPass, ... dll)


Beberapa rekan mulai menghentikan pendakian, beristirahat dan hanya ambil foto karena pemandangan sengat indah, setelah itu kembali turun ke Gorak Shep. Kami menyadari pada ketinggian 5500 M di atas permukaan laut, setiap pergerakan badan sungguh merupakan kerja keras. Setiap langkah harus ditebus dengan deru nafas memburu seperti lokomotif tua. Ketika perjuangan akhir tiba dengan usaha keras mengatasi tanjakan terakhir berupa dinding karang hitam yang terjal, kami sampai di puncak Kallapatthar (5545 M), begitu berada di atas, mata ”nyalang” menikmati keindahan panorama yang sangat luar biasa, sulit di jelaskan dengan kata – kata. Ini benar – benar panorama ”Himalaya Region”, seperti di Chukkhung RI (5559 M). Gunung – gunung salju itu kokoh tegak berdiri sambung – menyambung dengan puncaknya diselimuti salju abadi. Tempat itu begitu sunyi, bahkan tarikan nafas pun dikhawatirkan akan mengganggu keindahan dan kesunyian tempat itu, bagai di surga pegunungan.

Tampak dinding Barat Daya Everest (Southwest Face) yang gelap karena karang hitam menjulang, dengan lapisan salju di ceruk – ceruknya. Saya membayangkan betapa sulit dan “muskil” nya sewaktu Chris Bonnington mencapai Mt. Everest lewat jalur Southwest Face (Buku : Mt. Everest – Southwest Face by Chris Bonnington), saya termangu mengenang mereka, mereka itu adalah orang – orang yang “luar biasa”.

Saya menatap lama ke utara, ke Phumori (7138 M) terus bergeser ke kanan, ada Ling-Tren (6713 M), Khumbutse (6639 M), Northwest Col (6006 M), Lho La Pass, West Shoulder Everest dan Mt. Everest (8848 M) yang anggun membisu itu, terus ke selatan masih tampak South Summit (8749 M) tempat dimana Rob Hall – boss Adventure Consultants Guided Expedition menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang keras lebih dari 24 jam setelah mencapai puncak Everest pada tragedi Everest Mei 1996 lalu, juga tampak South Col (7986 M) tempat Scott Fischer – boss Mountain Madness Guided Expedition yang tewas setelah gagal di evakuasi para porternya pada tragedi Everest Mei 1996. Nuptse (7879 M) paling jelas dan tampak lebih tinggi dari Mt. Everest (8848 M) sedangkan Lhotse (8501 M) tidak tampak karena tertutup Nuptse Ridge.

Sore itu saya benar – benar terharu tiba di Puncak Kallapatthar (5545 M) ditemani Tjandra Heru, Ian, Mario, Milug, lalu ada Didiet, Chaca dan beberapa rekan lagi. Karena tempat di puncak Kallapatthar sempit yang penuh dengan susunan batu dan bendera dengan tulisan doa penduduk Nepal, kami segera turun karena ada rekan lain yang menyusul naik.

Gambar 60 – Di Puncak Kallapatthar (5545 M) – Sabtu 04 Nopember 2006
Tjandra Heru di puncak Kallapatthar dengan latar belakang Phumori (7138 M). Cuaca sore itu begitu cerah.


Gambar 61 –
Bendera Mahitala - Unpar di Puncak Kallapatthar (5545 M) –
Sabtu 04 Nopember 2006
Bendera kebanggaan Mahitala – Unpar berkibar di Puncak Kallapatthar. Tampak dari Kiri ke kanan : Didiet, Ian dan Mario dengan latar belakang lereng “black rock“


Pukul 17.00 kami segera turun cepat agar tidak kemalaman di jalan. Beruntung sore itu cuaca sangat cerah, nyaris tanpa kabut seperti biasanya setiap sore di Himalaya Region. Meskipun turun cepat, saya sangat menikmati deretan dinding pegunungan Himalaya yang berwarna coklat merah karena sinar matahari senja. Dinding pegunungan itu macam benteng alam yang membatasi Nepal dengan China dan Tibet disebelah utaranya.

Gambar 62 –
Senja di Kallapatthar – Sabtu 04 Nopember 2006

Pemandangan yang tidak terlupakan : “senja di Kallapatthtar“, mata tercenung memandang Mt. Everest yang di apit oleh “West Ridge“ (7600 M) dan Nuptse (7879 M)


Dalam perjalanan pulang ke Gorak Shep itu, saya beruntung berhasil mengabadikan Puncak Salju Mt. Everest dan Nuptse yang berwarna merah seperti nyala lilin karena terpaan sinar matahari senja. Momen itu hanya beberapa detik saja, masih sempat saya abadikan karena kamera selalu siap ditangan, sebelum puncak – puncak itu di telan senja yang mulai temaram.

Gambar 63 –
“Lilin raksasa di Himalaya“ – Sabtu 04 Nopember 2006

Salah satu kebanggan saya yaitu mengabadikan keajaiban alam ini. Puncak Mt. Everest (8848 M) di ujung senja dengan puncak salju abadi yang memantulkan lembayung senja di sore Sabtu 04 Nopember 2006


Kami tiba di Gorak Shep pukul 18.15, badan lelah dan lunglai setelah berjalan cepat, tenggorokan saya makin sakit, setiap tarikan nafas terasa kering bagai pisau yang mengiris dinding tenggorokan bagian dalam, pedih. Bernafas harus dibantu lewat mulut agar paru – paru ”merasa” cukup menerima udara.

Kelelahan ini belum seberapa dibanding dengan yang dialami Reinhold Messner ketika suatu kali mencapai Mt. Everest (untuk kesekian kalinya) dari arah Tibet, tanggal 20 Agustus 1980 pukul 15.00.
Dalam bukunya : The Crystal Horizon, Messner menulis :

”I was in continual Agony. I have never in my whole life been so tired. When I rest I feel utterly lifeless except that my throat burns when I draw breath …..

Also other member of Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar feel so tired and almost dying, but tomorrow the trip should continue, another challenge to Everest Base Camp, the last goal … … …

Namaste,
Budi Hartono Purnomo
M-78188 AS

08 November 2007

Wawancara Mahitala oleh Pikiran Rakyat - Bandung

Teman-teman penikmat Blog Mahitala,
Saat ini beberapa media cetak sedang memuat berita-berita mengenai perjalanan Mahitala Everest Basecamp (M-EBC) dan Annapurna Circuit 2006 silam. Diantaranya harian Pikiran Rakyat (Bandung) yang memuat cerita bersambung karya Sie Ling dan wawancara dengan Ian dan Mario yang juga merupakan salah satu peserta M-EBC bersama Sie Ling juga melakukan perjalanan ke Annapurna Circuit untuk mengunjung Torung La Pass ( pass tertinggi di dunia). Dan media yang lainnya adalah Intisari (Nasional) yang menghadirkan cerita bersambung perjalanan 21 anggota Mahitala di M-EBC karya dari Budi Hartono Purnomo yang akrab disapa BHP.

Berikut ini adalah hasil wawancara dengan Ian, Mario dan Milka (ketua Dewan Pengurus Mahitala Unpar ke 32) yang saya kopi dari situs PR ( http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/032007/01/kampus/ukm.htm ). Berikut hasil wawancaranya. Selamat menikmati....

==================================================

Mahitala Unpar
”The Real Indonesian”

Mimpi setiap pendaki gunung adalah bisa menaklukkan gunung yang paling tinggi di dunia. Dan, mimpi itu pula yang membayangi para pencinta alam dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahitala Universitas Parahyangan.

Sejak tahun 1974, Mahitala sudah punya 800 anggota. Sejak berdiri, hampir semua gunung, lembah, sungai, gua, dari ujung barat sampai timur Indonesia sudah dijelajahi. Tapi masih ada saja mimpi lain yang sulit untuk diwujudkan.

Salah satu mimpi anggota Mahitala dari tahun 80-an adalah pergi ke Nepal. Mimpi ini baru terwujud pada Oktober 2006 lalu. Pada 27 Oktober 2006, 21 orang anggota Mahitala berangkat ke puncak Kalapatar (5.545 m dpl/dari permukaan laut), lalu mampir ke basecamp Everest (5.356 m). Dan, dua orang anggota yang masih kuliah mendaki Pegunungan Annapurna yang memiliki ketinggian 5.416 m dpl. Dua orang itu, Julius Mario dan Sofyan Arief Fesa.

Menurut Mario, perjalanan itu bukan sekadar jalan-jalan, tetapi bagian dari program ekspedisi Mahitala. Hanya saja, program ini terus tertunda karena berbagai rintangan teknis dan biaya.

Perjalanan 21 orang tersebut sebenarnya dapat dikatakan selesai ketika mencapai basecamp Everest. Tapi, Julius dan Sofyan berencana untuk meneruskan perjalanan ke Anapurna. "Kami disidang dulu di Nepal. Kami yakinkan bahwa persiapan kami cukup," ujar Mario, anggota yang masuk tahun 2003.

Sidang meluluskan keinginan mereka. Hasilnya, mereka mampu mencapai Pass (celah di antara dua gunung) tertinggi di dunia, bernama Thorungla. Rasa kesal dan balutan hawa dingin serasa hilang ketika kaki menapak Pass dan bendera Mahitala dikibarkan. Lalu apa yang didapatkan setelah sampai titik tertinggi itu?

"Saya menangis. Terakhir saya menangis tahun 2004 di Bengkulu," ujar Mario.

"Saya memilih diam dan berpikir ke belakang. Akhirnya semuanya terwujud," lanjut Sofyan Arief Fesa.

Kiranya, yang paling berkesan di atas sana, menurut mereka, ketika menolong seorang anak Belgia yang mengalami hipotermia. Mereka berdua terhenyak ketika disebut sebagai "The Real Indonesian".

Cita-cita ke Nepal sudah terwujud. Tapi masih adakah mimpi lain dari Mahitala? Mahitala masih bermimpi mendaki puncak Idenburg. Ini adalah eskpedisi untuk mencapai prestasi sebagai orang Indonesia pertama yang mencapainya.

Di-push up

Menggapai mimpi tidak lantas grasa-grusu. Mahitala memiliki nilai yang sakral jika menyangkut pencapaian mimpi itu. Nilai itu adalah soal kerapihan. Menurut Mario, rapih merupakan bagian yang terpisahkan dari keselamatan menjelajah alam bebas.

Menurut Milka, ketua dewan pengurus (DP) saat ini, kerapihan dalam menggelar perjalanan ditinjau dari data perjalanan dan kebutuhan logistik. Dan, yang terpenting, kekompakan tim. Di Mahitala, pihak yang meninjau sesi pengembaraan para anggota muda adalah sidang. Sidang ini melibatkan anggota lama. Sidang akan menilai sejauhmana tim menyiapkan. Kalau tidak layak, tidak diizinkan berangkat. "Karena mereka akan menembus daerah yang belum terjamah. Jadi semuanya harus termanajemen dengan rapih agar safety dan nyaman," ujarnya.

Selain diterapkan pada manajemen perjalanan, nilai kerapihan diwujudkan pula dari cara anggota Mahitala merawat peralatan; tali, perahu, carabiner sampai helm rafting (arung jeram). Seperti yang terjadi pada Senin (26/2), sekretariat dipenuhi peralatan yang baru dibersihkan.

Mario mengungkapkan, cara memperlakukan peralatan pun sangat diperhatikan. Seperti tidak boleh menginjak tali, menyeret perahu karet, dan membanting carabiner. Jika tidak dipatuhi hukumannya di-push-up. Menurutnya, benda-benda itu merupakan simbol keselamatan pencinta alam. "Menginjak sengaja atau tidak tetap saja dihukum. Lagi pula dapetin barangnya juga dari jualan balon sampai kaos," katanya.***

agus rakasiwi
kampus_pr@yahoo.com

================================================
(edited by Audy Tanhati)


06 November 2007

DUKUNG DIKLATSAR XXX MAHITALA UNPAR

DIKLATSAR XXX MAHITALA UNPAR
sudah di depan mata....

AYO DUKUNG !!!