17 November 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA X

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

“EBC yang tidak ada kehidupan, muram dan beku”

Bagian X :

Gorak Shep (5170 M) – Everest Base Camp (5360 M)

Jarak : 8 Km (round trip / pulang pergi)

Waktu Tempuh : 6,5 jam p.p. (normal)

I looked down. Descent was totally unappetizing … …

To much labor, too many sleep less nights, and too many dreams had been invested to bring us this far. We couldn’t come back for another try next weekend. To go down now, even if we could have, would be descending to a future marked by one huge question :

“What might have been?”

Thomas F. Hornbein

Everest : The West Ridge


Gambar 64 –
LingTren (6713 M) dan Phumori (7138 M) – Minggu 05 Nopember 2006

Jalur ke Everest Base Camp di barat Gorak Shep, dengan latar belakang LingTren (6713 M) dan Phumori (7138 M).

Cuaca sangat cerah, terik matahari “membakar“ tubuh, tetapi udara tetap saja dingin.


Sisa – sisa kelelahan pendakian di ”karang hitam” Kallapatthar (5545 M) kemarin masih membalut tubuh, pagi ini Minggu, 05 Nopember 2006 adalah ”goal” terakhir Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar : Tour ke Everest Base Camp (5360 M).

Sir John Hunt, pemimpin ekspedisi yang sukses dari Inggris tahun 1953 melukiskan bahwa Everest Base Camp “tidak menarik” untuk dikunjungi. Tempat yang tidak ada denyut kehidupan, muram dan beku serta tempat yang tidak indah “Lifeless” and “not a beautiful place”). Sir John Hunt tidak berlebihan dan nantinya setelah dijalani rute pulang pergi sejauh 8 Km yang ditempuh lebih dari 7 jam itu sungguh “menyengsarakan” karena lewat medan batu koral besar dan pasir serta di “panggang” matahari yang terik tapi udara dingin. Ditambah udara tipis (Thin Air) membuat langkah kami makin terseok, dada sesak hingga “membuyarkan” keinginan beberapa teman untuk meneruskan perjalanan ke Everest Base Camp karena batal ditengah jalan.

Terlalu berat dan sulit melakukan “Hattrick” pendakian puncak Kallapatthar (5545 M) dan tour ke Everest Base Camp (5360 M) dalam satu hari saja. Karena itu Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar mengatur perjalanan dari Lobuche – Gorak Shep – Kallapatthar dalam 1 (satu) hari. Kemudian tour ke Everest Base Camp hari berikutnya dan bermalam di Gorak Shep, baru keesokan harinya perjalanan turun dari Gorak Shep langsung ke Pheriche (hanya lewat saja di Lobuche yang berjarak 2.5 jam dari Gorak Shep).

Minggu pagi, 05 Nopember 2006 itu kami mengambil arah ke barat dari Snowland Lodge di Gorak Shep, seolah – olah akan kembali ke jalur Kallapatthar, baru berbelok ke kanan ke utara menyisir ujung Khumbu Glacier, sementara Kallapatthar ada disisi kiri kami. Tak lama kemudian kami tiba di danau kecil (Gorak Shep Tsho) di utara Gorak Shep yang dari jauh tampak seperti berair jernih dan tenang, tidak ada riak air. Ternyata danau tersebut beku dan permukaannya dilapisi lapisan es keras, seolah – olah “kaca” setebal beberapa centimeter.

Hampir semua anggota Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar yang menuju Everest Base Camp meluangkan waktu untuk main – main di danau beku itu dengan cara melemparkan batu ke tengah danau yang kemudian terdengar bunyi seperti musik angklung yang bertalu – talu. Suara itu begitu mempesona ditengah kesunyian alam yang membisu.

Gambar 65 –
Gorak Shep Tsho (5200 M) – Minggu 05 Nopember 2006

Danau yang indah “Gorak Shep Tsho (5200 M)“ yang permukaanya tertutup lapisan es keras seperti kaca dengan ketebalan beberapa centimeter. Bila batu di lemparkan horizontal akan memantul beberapa kali dan mengeluarkan bunyi yang indah di tengah kesunyian alam.


Perjalanan hari ini termasuk amat berat karena jauh, medan yang “sulit”, perjalanan yang membosankan dan pemandangan yang tidak indah. Sangat bertolak belakang dengan perjalanan kemarin di “Amazing Kallapatthar”. Beberapa rekan memilih tinggal di Gorak Shep untuk memulihkan kondisi fisiknya, sedangkan sebagian kecil melakukan tour ke Everest Base Camp.

Gambar 66 –
Ujung Khumbu Glacier – Minggu 05 Nopember 2006

Sani Handoko dengan senyum khasnya ketika beristirahat ditumpukan batu koral untuk memulihkan kondisi fisiknya. Saya yakin saat itu Sani juga sedang menikmati “nyeri & linu“ dilutut nya karena baru 1 (satu) bulan di operasi.

“Kami salut dengan semangat anda meskipun tertatih – tatih berjalan di Everest Base Camp yang dibantu sepasang Trekking Pole“.


Everest Base Camp sebenarnya bukan tempat khusus yang dikunjungi orang. Tempat ini hanya merupakan “camp” sementara, tempat persinggahan bagi para pendaki yang mau mendaki ke Mt. Everest (8848 M). Akhir – akhir ini beberapa kelompok pendaki memilih ke tempat lain sebagai alternative mendirikan “camp sementara” sebelum pendakian ke Mt. Everest. Everest Base Camp amat ramai selama musim pendakian, yaitu bulan April, Mei atau September & Oktober setiap tahunnya, pada saat – saat itu kondisi Everest Base Camp macam “pasar kaget” dengan ratusan tenda warna – warna cerah para pendaki dari berbagai Negara, lengkap dengan dukungan logistiknya. “Lalu lintas Yak dan Porter” amat padat yang kadang – kadang macet seperti “Pasar Minggu” di Jakarta.

Tour ke Everest Base Camp amat menarik dan menantang tetapi pemandangan tidak se – spektakuler pemandangan di Chukkhung RI maupun Kallapatthar. Memang bisa melihat dinding terjal es, menara – menara / tonggak salju yang menjulang tinggi (Pinacles), tetapi selama perjalanan ke Everest Base Camp sulit menemukan Mt. Everest karena tertutup Lhotse – Nuptse Ridge dikanan maupun West Ridge dikiri.

Sejak dari Gorak Shep, sejauh mata memandang hanya tampak longsoran batu karang hitam dan coklat (Boulders) seukuran kepala truck tronton atau kerbau liar, yang memaksa otot kaki & paha berpotensi menjadi kejang (kram), beberapa kawan terjatuh sehingga mengakibatkan paling tidak lecet, terkilir sehingga jalan pincang. Perjalanan terasa berat ketika kami merayap di ujung Khumbu Glacier dan melewati Khumbu Ice Fall yang cukup curam dan labil.

Pengaruh udara tipis (Thin Air) begitu terasa, sering saya berhenti hanya untuk menetralkan deru nafas dan memenuhi tuntutan paru – paru akan pasokan oksigen. Jujur saja otot kaki dan badan masih dapat menyesuaikan dan bertahan di medan tersebut yang makin hari kondisi badan makin stabil karena proses aklimatisasi, tetapi kurangnya pasokan oksigen ini yang membuat sedikit masalah.

Terkadang bila kami “paksa” beraktifitas agak berlebihan, misal jalan cepat, selain nafas makin memburu, maka kepala menjadi pusing. Di ketinggian seperti ini dengan tipisnya udara aktifitas tambahan menjadi beban, bahkan mengambil foto – foto dan pindah tempat untuk mendapatkan sudut bidikan foto yang bagus sudah menjadi beban tersendiri. Karena itu tidak heran akhirnya banyak teman yang “malas” mengambil foto, lebih baik berjalan pelan terus tanpa bicara dan konsentrasi penuh pada tarikan nafas.

Pukul 12 siang kami tiba di Everest Base Camp, melihat medannya saya sadar bahwa sulit mengenali jalur (track) yang tepat di medan batu yang luas itu. Bila tidak ada petunjuk jalan yang handal, akan sangat mudah tersesat karena jalan setapak dapat banyak berputar – putar kembali ke tempat asal. Bisa frustasi menemukan arah menjelang Everest Base Camp ataupun menemukan jalan kembali ke Gorak Shep.

Gambar 67 –
Gerbang menuju Everest Base Camp – Minggu 05 Nopember 2006

Memasuki kawasan Everest Base Camp harus hati – hati dan memperhatikan tanda – tanda, karena mudah tersesat, jalan berputar – putar dan tidak dapat menemukan jalan pulang ke Gorak Shep. Dinding pegunungan salju menjulang tinggi mengelilingi Everest Base Camp.


Di Everest Base Camp, di ujung Khumbu Ice Fall kami menemukan rongsokan bangkai helikopter yang jatuh dan teronggok diatas timbunan salju. Diperkirakan Helikopter jatuh 3 (tiga) tahun yang lalu. Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar, terutama Lily Nababan berteriak histeris ketika menginjak salju di Khumbu Ice Fall. Cukup lama kami main salju, dan banyak ambil foto. Cuaca hari itu amat cerah, matahari garang dan langit biru terang.


Gambar 68 –
Bangkai Helikopter dan Lily Nababan – Minggu 05 Nopember 2006

Tampak bangkai helikopter teronggok di ujung barat Everest Base Camp dan Lily Nababan yang berjaket merah. Teknologi boleh maju, ada transportasi canggih seperti helikopter yang mampu mendarat di puncak Mt. Everest (8848 M) tapi kami percaya kalau Sang Agung Sagarmatha (Chomolugma / Mt. Everest) tidak mengijinkan mereka naik, pasti akan gagal.

The Secret Mountain Always and Still hold their “Green Card“ ....

Kita bisa sampai ke puncak kalau gunung itu memang menghendaki.


Diujung Khumbu Ice Fall dimana – mana salju, beberapa kawan menggali lubang untuk ”buang hajat”. Sedangkan saya kembali batuk yang ”berdentum” keras dan melontarkan gumpalan darah beku terakhir dari tenggorokan. Selanjutnya entah mengapa, batuk berkurang, rasa sakit dileher berangsur hilang dan sembuh total 2 (dua) hari lagi di Namche Bazaar tanpa diobati lagi. Hampir 2 (dua) jam kami ”menjelajah” wilayah Everest Base Camp, tempat yang terkenal karena dipakai oleh para pendaki untuk persiapan menuju puncak Mt. Everest (8848 M).

Banyak ditemukan aliran sungai yang membeku dengan aliran air kecil di tengah es, gua –gua es (apa ada ”Yeti” bersembunyi disana ???) dan ancaman celah – celah es yang mematikan (Crevasses) di beberapa tempat.

Gambar 69 –
Gua Es di ujung Khumbu Ice Fall – Minggu 05 Nopember 2006

Di Everest Base Camp banyak ditemui gua – gua es, dengan aliran air pada glacier di tengah. Pemandangan ini amat “aneh“ bagi kami.

Apakah “Yeti“ si mithos itu ada di sana ???

Atau sekedar dongeng pengantar tidur secara turun temurun ???


Memandang hamparan salju begitu luas saya jadi ”bergidik” karena mengingat : Babu Chiri Sherpa, pemegang rekor 11 (sebelas) kali mendaki Mt. Everest, 2 (dua) kali dilakukan dalam 2 (dua) minggu berturut – turut mendaki Mt. Everest dan bertahan 21 jam di puncak Mt. Everest tanpa tabung oksigen, tetapi meninggal dunia di telan Crevasses, ketika akan mengambil foto. Begitulah nasib orang tidak ada yang tahu dan kita dituntut selalu waspada, hati – hati dan penuh perhitungan, tidak hanya ketika mendaki gunung, tetapi dalam kehidupan sehari – hari yang justru lebih ”berbahaya” dari pada di gunung.

Crevasse adalah celah es di dataran, terbentuk karena gerakan / patahan atau ada aliran sungai dibawahnya. Biasanya lapisan atas tertutup, tetapi bagian bawah es tidak cukup keras. Sering terjadi ketika pendaki berjalan di atasnya, tiba – tiba lapisan es itu pecah, runtuh membentuk celah yang membuat tubuh pendaki terperosok ke dalamnya. Bila tidak segera ditolong, pendaki akan meninggal dunia karena kehilangan panas tubuh (Hyphothermia) atau tubuh masuk jurang es. Salah satu cara menghindari bahaya Crevasse adalah dengan berjalan berurutan, memakai penunjuk jalan berpengalaman serta membawa tongkat alumunium untuk menusuk es sebelum diinjak atau sebagai tongkat penyelamat ketika terjatuh ke dalam crevasse.

Gambar 70 –
Senyum lega di Everest Base Camp – Minggu 05 Nopember 2006

Meskipun khawatir akan „celah – celah“ es yang rapuh (crevasse), tampak BHP tersenyum di Everest Base Camp dengan Phumori (7138 M) menjulang gagah di belakangnya. Selesailah goal Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar dengan 4 (empat) goal – nya :
Syangboche, Chukkhung RI, Kallapatthar dan Everest Base Camp


Siang itu kami tidak makan siang, hanya makan coklat dan snack ringan sebagai pengganjal perut. Pukul 14.00 kami memutuskan kembali ke Gorak Shep sebelum cuaca berubah menjadi mendung atau kemalaman di jalan. Perjalanan pulang dilakukan dengan cepat, mengabaikan ujung jari kaki yang ngilu karena memar terdorong ujung sepatu.

Meskipun terseok – seok tetapi veteran Mahitala Unpar tetap gigih terus maju. Dapat dikenali Broer Ambrin Siregar yang dijuluki ”Sang Guru” di Nepal, anggota Mahitala Angkatan Pelopor dengan jaket hitamnya dan rokok yang terus mengepul di bibirnya terus melaju. Sementara di belakang masih terlihat Susanto lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Parahyagan Bandung, juga anggota Mahitala Angkatan Hujan Konyal. Susanto pengusaha yang bergerak pada usaha Ekspor rumput laut itu dikenal mempunyai rasa kesetiakawanan yang sangat tinggi dan selalu siap menolong orang lain. Bersama Susanto ada Tjandra Heru anggota Mahitala Angkatan Samagaha yang juga anggota Tim Maoke 1983 Mahitala Unpar, sewaktu melakukan Ekspedisi Irian Jaya dan seputar lembah Baliem di pegunungan Tengah Jayawijaya tahun 1983, 24 (dua puluh empat) tahun silam.

Gambar 71 –
Avalanche di Nuptse Ridge – Minggu 05 Nopember 2006

Diawali dentuman menggelegar dan bumi bergetar maka kami mengalami Avalanche (longsornya salju) di Nuptse Ridge yang saat itu berada di kiri kami dalam perjalanan pulang ke Gorak Shep. Batu – batu kecil turun beterbangan di terjang longsoran salju.


Begitu lolos dari gerbang Everest Base Camp, kami kembali masuk Khumbu Glacier, ”melipir” dinding terjal pegunungan Himalaya disebelah kiri kami (Nuptse Ridge). Dalam perjalanan pulang, kami sempat mengalami salju longsor (Avalanche) di Nuptse Ridge yang disertai suara keras ”menggelegar” seperti bunyi bom yang diikuti longsoran salju dan es ke arah kami. Akibat Avalanche itu, ikut beterbangan batu – batu koral ke arah kami.

Pengalaman mengajarkan bahwa bila terjadi longsoran apapun, kita harus mengamati teliti kearah mana longsoran itu terjadi. Kita tidak boleh lari membabi buta, tetapi mengamati arah salju / batu yang jatuh itu baru kemudian kita menentukan arah lari kita. Hal ini akan menyelamatkan kita dari kecelakaan / luka – luka serius.

Perjalanan pulang terasa lama, waktu berputar lambat, kebosanan terus menerpa dan keletihan telah memuncak tapi kita tetap harus terus meskipun ragu kapan kita akan sampai di Gorak Shep :

For those who didn’t dally, our daily tracks ended early in the afternoon, but rarely before the heat and aching feet forced us to ask our porter. ”How much farther to Gorak Shep ? The reply, We soon were to discover, was invariable : ”only two mile more, ... ... huh ... ...huh ... ”

Evening were peaceful, hot tea with sugar supply new energy, lights twinkling on the lodge at Gorak Shep, clouds dimming the outline of our pass for the day after. Growing excitement lured my thought again and again to the Himalaya Region ... ...

We arrived at Gorak Shep at 17.00 already dark. The mission of EBC 2006 – Mahitala Unpar already fulfilled and completed. When will we return again ... ? For another amazing adventure ... ... Everest ??? Why not ???...maybe in the future…,…oh dear ... ... We will miss it all ... ...until we will come back to continue our never ending adventures…

Namaste,
Budi Hartono Purnomo
M-78188 AS

0 Comments:

Post a Comment

<< Home