PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA
“Kallapatthar si ”karang hitam” yang dingin membisu”
Bagian IX :
Lobuche (4940 M) – Gorak Shep (5170 M) – Kallapatthar (5545 M)
Jarak : 3,7 Km Jarak : 1,5 Km
Waktu Tempuh : 3 jam (normal) Waktu Tempuh : 2 jam (normal)
Suffice it to say that (Everest) has the most steep ridges and appalling precipices that I have ever seen, and that all the talk of an easy snow slope is a myth … …
My darling, this is thrilling business altogether, I can’t tell you how it possesses me, and what a prospect it is. And the beauty of it all !
George Leigh Mallory,
in letter to his wife
June 28, 1921
Gambar 54 –
Campsite di Lobuche – Sabtu 04 Nopember 2006
Campsite di Lobuche (4940 M) – “one of the coldnest place in Khumbu Area“, kegiatan rutin setiap pagi sebelum mulai melanjutkan perjalanan.Bisa dibayangkan betapa “malas“ nya memulai aktivitas pertama di pagi yang dingin.
Tak percuma Lobuche menyandang gelar “one of the coldnest place in Khumbu Region”, semalam saya tidak dapat tidur karena kedinginan dan udara tipis membuat sesak pernafasan. Sulit tidur adalah salah satu gejala apabila kita berada di ketinggian tertentu, dengan udara tipis untuk waktu lama. Kata orang yang pernah mengalami ini adalah masalah besar.
Sulit tidur atau tidak tidur sama sekali bukan masalah biasa & tidak biasa, tetapi yang pasti “eksposure” badan untuk terkena AMS (HAPE / HACE) menjadi lebih besar. Bergidik juga ketika saya bayangkan hal itu, belum lagi mengingat bahwa Lobuche (4940 M) adalah “titik balik” (Turning Point).
Bila kita tidak bisa bertahan di udara dingin tersebut, dibarengi sesak nafas dan bahkan sulit tidur dan pusing, maka agar secara serius dipikirkan untuk tidak meneruskan perjalanan ke Gorak Shep (5170 M), sebaiknya turun ke Pheriche (4280 M) agar kondisi membaik. Tindakan bijaksana ini di lakukan oleh Hani Idayanti dan Caroline Djunaidi (Olin) karena gejala AMS semakin jelas. Bila dipaksa terus naik, nanti di Gorak Shep (5170 M) akan lebih menderita karena Gorak Shep lebih dingin dan dinginnya menggigit dibandingkan dengan di Lobuche.
Gambar 55 –
“Merayap“ keluar dari Lobuche ke Gorak Shep – Sabtu 04 Nopember 2006
Sebagian Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar yang beristirahat sejenak dalam perjalanan ke Gorak Shep (Tampak dari kanan ke kiri : Syamsuliarto, 2 porter, Tisi, Milug dan Irsan). Tanah masih tertutup serpihan salju tipis.
Dengan gontai saya bangun dan membereskan perlengkapan untuk sarapan sebelum menuju Gorak Shep (5170 M). Tenggorokan saya tetap sakit dan tidak ada tanda – tanda perbaikan, batuk masih keras dengan gumpalan darah beku terlontar. Diare sudah sembuh total, secara keseluruhan kecuali radang tenggorokan, kondisi saya masih prima untuk terus melanjutkan perjalanan. Betapa tipisnya udara bagi kami makhluk dataran rendah cukup mengganggu pernafasan, sering tersengal, dan menarik nafas tidak pernah cukup. Setelah makan pagi, Sabtu 04 Nopember 2006 itu Tim EBC – 2006 Mahitala Unpar “merayap” ke arah barat dari lembah Khumbu dan setelah itu mendaki sepanjang tepi lembah di ujung gundukan Glacier. Tanjakan menjadi curam ketika semakin banyak gundukan (bukit) glacier disekitar Khumbu Glacier.
Gambar 56 –
Phumori (7138 M) – Sabtu 04 Nopember 2006
Tampak Phumori di sebelah kiri, masih tertutup kabut. Phumori dalam bahasa Tibet berarti “Daughter Peak“. George Leigh Mallory pendaki Inggris ternama yang memberi nama Phunori di tahun 1921, bersamaan dengan kelahiran puterinya : Clare. Waktu itu Mallory berusaha mencapai Everest dari arah Tibet tetapi “gagal“.
Bernafas benar – benar sulit, dada sesak dan seringkali tersengal, keletihan mulai menyergap yang terhibur dengan munculnya Phumori (7138 M) yang dengan gagahnya menghadang didepan kami, tampak juga Kallapatthar (5545 M) tepat di bagian bawahnya, sedikit bersandar di bahu bagian selatan Phumori. Kallapatthar (5545 M) yang artinya “black – rock” (karang hitam) dalam bahasa Hindi. Dawa Tenzing secara kebetulan yang memberi nama tersebut ketika menemani Jimmy Roberts sewaktu mendaki puncak Kallapatthar.
Dari atas bukit menjelang Gorak Shep tampak jelas sosok Kallapatthar (5545 M) juga sosok alur trecknya, dimulai dari Himalayan Lodge di Gorak Shep, kekiri melintas dasar lembah seperti alur sungai kecil. Di bukit ini saya berhenti cukup lama menikmati pemandangan yang sangat luar biasa sambil menormalkan deru nafas.
Gambar 57 –
Rute ke Puncak Kallapatthar (5345 M) dan Gorak Shep – Sabtu 04 Nopember 2006
Dari puncak bukit menjelang Gorak Shep, tampak rute ke puncak Kallapatthar yang membuat saya "mual“, sementara Gorak Shep sudah begitu dekat. Terbayang makan siang & teh panas manis dan selimut di atas kasur untuk tidur siang. Wah mulai “melantur“ lagi
Tampak di kiri depan Phumori (7138 M), di depannya adalah si “karang hitam” Kallapatthar (5545 M), sebelah kanan Phumori tampak berderet : LingTren (6713 M), Khumbutse (6639 M) juga tampak bahu barat laut (Northwest Col) dari Everest dengan Lho La Pass nya (6006 M). Di lintasan ini hanya ditemui batu koral besar menghadang perjalanan kami.
Pukul 11.15 Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar tiba di Gorak Shep (5170 M) meskipun matahari terik, tapi udara dingin tetap menusuk tulang, tampak sebagian besar anggota tim sudah “ambruk” kondisi fisiknya. Makan siang dilakukan cepat karena sebagian anggota tim akan terus melanjutkan perjalanan mendaki Kallapatthar (5545 M) yang dapat ditempuh dalam waktu 2 jam perjalanan dan merupakan target tujuan utama Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar sedangkan sebagian lagi memilih beristirahat di Gorak Shep.
Gorak Shep (5170 M) terletak di dasar lembah, merupakan base camp dari Tim Ekspedisi Everest Swiss tahun 1952. Kemudian tahun 1953 Tim Ekspedisi Everest Inggris memberi nama “Kamp Danau” (Lake Camp) yang artinya tempat di tepi danau kecil. Memang di Utara Gorak Shep di ujung jalan arah ke Everest Base Camp ada danau kecil yang sering beku dan di atasnya tertutup lapisan es tebal macam lembaran kaca dan kalau dilempar batu terdengar bunyi – bunyian macam angklung.
Sambil menunggu hidangan makan siang, saya melamun ke Pyramid (Italian Research Station), yang barusan kita lewati setelah 1 (satu) jam berjalan (+/- 1,3 Km) dari Lobuche, di sebelah kiri jalan. Tempat itu (Pyramid) sangat besar peranannya bagi komunitas pendaki. Entah sudah berapa banyak nyawa yang di selamatkan, dan banyak upaya penyelamatan dilakukan dari tempat itu beserta dengan penggunaan fasilitasnya. Awalnya tempat itu bernama : The Italian Pyramid yang didirikan oleh Prof. Ardito Desio seorang ahli Geologi modern yang juga pemimpin Ekspedisi Italia tahun 1954 yang sukses mendaki puncak K2 di Annapurna. The Italian Pyramid di dirikan tahun 1987 yang awalnya proyek ini didirikan untuk mengukur ketinggian sebenarnya dari puncak Everest dan K2 yang di sebut Everest - K2 – CNR Project (National Research Council) yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama Pyramid. Tahun 1989 struktur bangunan diganti dengan bahan alumunium dan kaca, juga dibangun laboratarium ilmiah yang di lengkapi dengan listrik tenaga Surya, sistim pemanas ruangan dan sarana komunikasi.
Sejak berdiri di Pyramid telah dipergunakan oleh lebih dari 400 kelompok studi yang sebagian besar dari Itali dan meliputi bidang – bidang ilmiah seperti : Geology, Lingkungan, Biologi, Kemanusiaan dan Teknologi Riset. Manfaat lain keberadaan Pyramid adalah menambah kenyamanan para pendaki yang dapat mempergunakan fasilitasnya, seperti tenaga surya dan sarana komunikasi satelit yang didistribusikan ke penginapan (Lodge) disekitar Khumbu area. Bisa di bayangkan ketidaknyamanan di Gorak Shep bila tidak ada listrik tenaga surya dan sarana komunikasi, yang akan menambah beban para pendaki ke Everest, karena itu Gorak Shep di tutup pada musim dingin antara Desember sampai Februari karena suhu dingin yang ekstrim.
Pukul 13.30 dengan malas sebagian anggota Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar mempersiapkan diri untuk mendaki Kallapatthar (5545 M). Sebagian “ngegerundel” dan bergumam, seperti kata Lily Nababan ; “ …edan neh …., baru naik bukit dari Lobuche, sampai Gorak Shep, sudah setengah mati, lagi enak – enaknya istirahah dan makan siang, sudah ingin jalan lagi ke Kallapatthar .... gak usah ye ……….Gue “istirohah” aja dulu, besok baru ke Everest Base Camp (EBC)”. Memang benar tidak semua mendaki ke Kallapatthar mengingat dari jauh saja, ketika memandang jalur ke puncak Kallapatthar saja sudah “mual”, belum lagi medan pasir dan batu hitam lepas yang sulit di daki.
Gambar 58 –
Mt. Everest (8848 M) – Sabtu 04 Nopember 2006
Dalam perjalanan mendaki Puncak Kallapatthar, disebelah kanan jalur, tampak Mt. Everest di lihat dari arah Barat Daya (Southwest Face – Chris Bonnington mendaki dari arah ini). Tampak Susanto dengan jaket kuningnya dengan latar belakang Nuptse (7879 M)
Pemandangan waktu itu sungguh indah, cuaca sangat bagus, sulit untuk melewatkannya, maka kami terus mendaki dan mendaki. Kali ini rekan – rekan mendaki dengan diam, jalannya bak siput, ditambah tenaga yang sudah terkuras dari Lobuche ke Gorak Shep, serta medan batu lepas dan pasir yang lumayan sulit. Tampak di depan dengan jaket kuning yang dibeli di pasar kaget Namche Bazaar (sogo jongkok), Milug Trisarjono memimpin di depan bak panzer Jerman. Langkahnya pasti dengan sosok badannya yang tinggi besar. Suami Ros Silawati dengan hasil 3 (tiga) anak laki – laki ini memang mempunyai kondisi fisik prima, tidak heran kalau dari anggota tim ber 21 (dua puluh satu) orang ini, Milug adalah salah satu dari 3 (tiga) anggota tim (yaitu “ Milug, Ian dan BHP) yang menyelesaikan semua target EBC 2006 – Mahitala Unpar, yaitu mulai dari : pendakian Syangboche, Chukkhung, Kallapatthar dan Everest Base Camp (EBC).
Milug adalah pribadi yang ramah, lulusan Teknik Sipil Universitas Parahyangan Bandung tahun 1985 ini masuk Pendidikan Dasar Mahitala tahun 1986 Angkatan Hujan Konyal. Milug korban “cinlok” (cinta lokasi) dengan Ros sewaktu studi lanjutan di program Wijawijaya Management dari IPPM (di sponsori oleh Soedarpo Corp) yang tidak mau repot langsung menikah dan menghasilkan 3 (tiga) buah hati : Ihsan, Ariq dan Nafil. Saat ini Milug bekerja di Sun Microsystems Indonesia dengan posisi sebagai Sales Manager untuk Telecomunications Industry. Hobby beratnya adalah Diving, Mountaineering, Arus deras dan perjalanan ke manca negara serta pernah tergabung dengan Operation Raleigh Expedition yang terkenal di Pulau Seram – Ambon pada tahun 1987.
Saat ini Milug bersama Ros berusaha untuk membangun bisnis sendiri di bidang IT dan pendidikan serta ingin membantu banyak orang untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Selama Ekspedisi ke Himalaya Milug adalah teman sekamar saya dari hari pertama sampai terakhir, oleh karena itu sebagai “room – mate” Milug berkata : “bahwa dia berhak difoto paling banyak”. Maju terus Milug.
Setelah mendaki kaki “karang hitam” yang terjal itu setinggi 100 M, maka medan agak datar dan naik sedikit, di sini kami lebih leluasa mengatur nafas dan otot kaki. Everest tampak sangat jelas, muncul dengan punggungan bahu kirinya dan Nuptse (7879 M) di kanannya yang tampak menjulang tinggi seolah olah lebih tinggi dari Everest. Rute jalan mengarah ke kiri dan akhirnya naik terjal ke batu – batu karang hitam sebelum mencapai puncaknya. Pada pendakian ini saya merasakan pengaruh “Thin Air” (tipisnya udara dan oksigen), badan melemah, melangkahpun berat.
Gambar 59 –
Deretan Pegunungan Himalaya – Sabtu 04 Nopember 2006
Deretan pegunungan tinggi Himalaya ini menjadi batas alam antara Nepal dengan China dan Tibet. Sejak jaman dulu, ada beberapa celah yang dapat dilewati manusia ketika ber-migrasi. Di salah satu punggung itu terdapat Lho-LaPass (6006 M). Celah-celah lain yang terkenal adalah : Kongma LaPass, Renjo-LaPass, Nangpa LaPass, ... dll)
Beberapa rekan mulai menghentikan pendakian, beristirahat dan hanya ambil foto karena pemandangan sengat indah, setelah itu kembali turun ke Gorak Shep. Kami menyadari pada ketinggian 5500 M di atas permukaan laut, setiap pergerakan badan sungguh merupakan kerja keras. Setiap langkah harus ditebus dengan deru nafas memburu seperti lokomotif tua. Ketika perjuangan akhir tiba dengan usaha keras mengatasi tanjakan terakhir berupa dinding karang hitam yang terjal, kami sampai di puncak Kallapatthar (5545 M), begitu berada di atas, mata ”nyalang” menikmati keindahan panorama yang sangat luar biasa, sulit di jelaskan dengan kata – kata. Ini benar – benar panorama ”Himalaya Region”, seperti di Chukkhung RI (5559 M). Gunung – gunung salju itu kokoh tegak berdiri sambung – menyambung dengan puncaknya diselimuti salju abadi. Tempat itu begitu sunyi, bahkan tarikan nafas pun dikhawatirkan akan mengganggu keindahan dan kesunyian tempat itu, bagai di surga pegunungan.
Tampak dinding Barat Daya Everest (Southwest Face) yang gelap karena karang hitam menjulang, dengan lapisan salju di ceruk – ceruknya. Saya membayangkan betapa sulit dan “muskil” nya sewaktu Chris Bonnington mencapai Mt. Everest lewat jalur Southwest Face (Buku : Mt. Everest – Southwest Face by Chris Bonnington), saya termangu mengenang mereka, mereka itu adalah orang – orang yang “luar biasa”.
Saya menatap lama ke utara, ke Phumori (7138 M) terus bergeser ke kanan, ada Ling-Tren (6713 M), Khumbutse (6639 M), Northwest Col (6006 M), Lho La Pass, West Shoulder Everest dan Mt. Everest (8848 M) yang anggun membisu itu, terus ke selatan masih tampak South Summit (8749 M) tempat dimana Rob Hall – boss Adventure Consultants Guided Expedition menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang keras lebih dari 24 jam setelah mencapai puncak Everest pada tragedi Everest Mei 1996 lalu, juga tampak South Col (7986 M) tempat Scott Fischer – boss Mountain Madness Guided Expedition yang tewas setelah gagal di evakuasi para porternya pada tragedi Everest Mei 1996. Nuptse (7879 M) paling jelas dan tampak lebih tinggi dari Mt. Everest (8848 M) sedangkan Lhotse (8501 M) tidak tampak karena tertutup Nuptse Ridge.
Sore itu saya benar – benar terharu tiba di Puncak Kallapatthar (5545 M) ditemani Tjandra Heru, Ian, Mario, Milug, lalu ada Didiet, Chaca dan beberapa rekan lagi. Karena tempat di puncak Kallapatthar sempit yang penuh dengan susunan batu dan bendera dengan tulisan doa penduduk Nepal, kami segera turun karena ada rekan lain yang menyusul naik.
Gambar 60 – Di Puncak Kallapatthar (5545 M) – Sabtu 04 Nopember 2006
Tjandra Heru di puncak Kallapatthar dengan latar belakang Phumori (7138 M). Cuaca sore itu begitu cerah.
Gambar 61 –
Bendera Mahitala - Unpar di Puncak Kallapatthar (5545 M) – Sabtu 04 Nopember 2006
Bendera kebanggaan Mahitala – Unpar berkibar di Puncak Kallapatthar. Tampak dari Kiri ke kanan : Didiet, Ian dan Mario dengan latar belakang lereng “black rock“
Pukul 17.00 kami segera turun cepat agar tidak kemalaman di jalan. Beruntung sore itu cuaca sangat cerah, nyaris tanpa kabut seperti biasanya setiap sore di Himalaya Region. Meskipun turun cepat, saya sangat menikmati deretan dinding pegunungan Himalaya yang berwarna coklat merah karena sinar matahari senja. Dinding pegunungan itu macam benteng alam yang membatasi Nepal dengan China dan Tibet disebelah utaranya.
Gambar 62 –
Senja di Kallapatthar – Sabtu 04 Nopember 2006
Pemandangan yang tidak terlupakan : “senja di Kallapatthtar“, mata tercenung memandang Mt. Everest yang di apit oleh “West Ridge“ (7600 M) dan Nuptse (7879 M)
Dalam perjalanan pulang ke Gorak Shep itu, saya beruntung berhasil mengabadikan Puncak Salju Mt. Everest dan Nuptse yang berwarna merah seperti nyala lilin karena terpaan sinar matahari senja. Momen itu hanya beberapa detik saja, masih sempat saya abadikan karena kamera selalu siap ditangan, sebelum puncak – puncak itu di telan senja yang mulai temaram.
Gambar 63 –
“Lilin raksasa di Himalaya“ – Sabtu 04 Nopember 2006
Salah satu kebanggan saya yaitu mengabadikan keajaiban alam ini. Puncak Mt. Everest (8848 M) di ujung senja dengan puncak salju abadi yang memantulkan lembayung senja di sore Sabtu 04 Nopember 2006
Kami tiba di Gorak Shep pukul 18.15, badan lelah dan lunglai setelah berjalan cepat, tenggorokan saya makin sakit, setiap tarikan nafas terasa kering bagai pisau yang mengiris dinding tenggorokan bagian dalam, pedih. Bernafas harus dibantu lewat mulut agar paru – paru ”merasa” cukup menerima udara.
Kelelahan ini belum seberapa dibanding dengan yang dialami Reinhold Messner ketika suatu kali mencapai Mt. Everest (untuk kesekian kalinya) dari arah Tibet, tanggal 20 Agustus 1980 pukul 15.00. Dalam bukunya : The Crystal Horizon, Messner menulis :
”I was in continual Agony. I have never in my whole life been so tired. When I rest I feel utterly lifeless except that my throat burns when I draw breath …..
Also other member of Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar feel so tired and almost dying, but tomorrow the trip should continue, another challenge to Everest Base Camp, the last goal … … …
Namaste,
Budi Hartono Purnomo
M-78188 AS