26 September 2007

Mahitala Unpar, Dari Nepal hingga Tanzania

Setelah sekian lama merencanakan perjalanan-perjalanan di Mahitala, maka para singa-singa tua kembali turun gunung untuk menunjukan taringnya. Ada 3 buah Tim yang akan berangkat pada liburan lebaran ini, bahkan lebih melewati libur lebaran. 2 diantaranya berpusat di Nepal dan sekitarnya dan yang lainnya terbang menuju Tanzania di Benua Afrika untuk mencoba peruntungan menggapai atap tertinggi di benua Afrika ini. Detilnya sebagai berikut :

1. Nepal - Gokyo - Dzonglha,
Peserta : Sieling dan Syamsu
Waktu berangkat : 2 Oktober 2007
Waktu kembali : ?

2. Everest High Treverse (Namche Bazzar - Gokyo via Renjo La Pass - Chola Pass - Everest
Base Camp)
Peserta : George
Waktu Berangkat : 5 Oktober 2007
Waktu kembali : 29 Oktober 2007

3. Mount Kilimanjaro
Peserta : Ambrin "Broer" Siregar, Hasan, Tjandra Heru, BHP, Sani, Susanto "Ableh", Hanto,
Irsan dan Irma (keponakan Hasan), Frans "Ahong"
Waktu berangkat : 11 Oktober 2007
Waktu kembali : 29 Oktober 2007

Sementara ini saya hanya memiliki jadwal operasional kasar tim Kilimanjaro. Nanti akan saya posting di lain kesempatan...

Okay, trakkers....
Have a NICE TRIP...... !


bstrgds,
audy tanhati
M 2000511 ATSA

13 September 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian VIII

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

“Yeti” – Himalaya, diantara “mithos” dan realita.
Bagian VIII :
Dingboche (4360 M) – Lobuche (4940 M)
Jarak : 7,5 Km
Waktu Tempuh : 5 jam (normal)

It would seem almost as though there were a cordon drawn round the upper part of these great peaks beyond which no man may go. The truth of course lies in the fact that, at altitudes of 25,000 feet and beyond, the effects of low atmospheric pressure upon the human body are so severe that really difficult mountaineering is impossible and the consequences even of a mild storm may be deadly, that nothing but the most perfect conditions of weather and snow offers the slightest chance of success, and that on the last lap of the climb no party is in a position to choose its day … …

No, it is not remarkable that Everest did not yield to the first few attempts; indeed, it would have been very surprising and not a little sad if it bad, for that is not the way of great mountains. Perhaps we had become a little arrogant with our fine new technique of ice-claw and rubber slipper, our age of easy mechanical conquest. We had forgotten that the mountain still holds the master card, that it will grant success only in its own good time. Why else does mountaineering retain its deep fascination?

Eric Shipton, in 1938
Upon That Mountain

Pagi itu, di Jumat 03 Nopember 2006, saya sulit bangun, apalagi turun dari tempat tidur. Rasanya benar-benar nikmat bergelung di sleeping bag yang hangat, sementara udara luar begitu dingin menusuk tulang. Keletihan sesaat menyergap dan sungguh nikmat bisa menutup mata kembali. Ada rasa enggan bangun di hari ke VIII (delapan) ini. Badan masih terasa penat dan terutama tenggorokan saya terasa kering dan ”terbakar”. Radang tenggorokan yang merupakan salah satu titik lemah di tubuh saya terasa lebih parah, antibiotik yang sudah diminum tidak dapat menyembuhkan, hanya memperingan gejala dan bertahan untuk tidak lebih parah. Dengan malas saya bangun dan menuju ”kamar mandi”. Batuk segera menerjang begitu udara dingin mengenai tubuh. Di ”kamar mandi” batuk semakin menjadi dan menggila, berdentum bagai meriam bambu, tenggorokan gatal dan sakit. Ada yang mengganjal di leher tetapi sulit keluar. Setelah dipaksa sambil membungkuk dengan dorongan batuk yang bertubi-tubi, gumpalan lendir kental sebesar ujung ibu jari tangan terlontar keluar, berupa darah beku yang mati berwarna coklat tua dan padat. Agak lega memang setelah terlontar 2 (dua) gumpalan, walaupun keluar air mata dan keringat dingin karena menahan sakit.

Gambar 44 –
Gerbang menuju lembah Khumbu Khala, Jumat 03 Nopember 2006

Tampak sebagian Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar beristirahat setelah mendaki bukit selepas Dingboche (4360 M).
Tempat ini sangat indah dengan dinding es menjulang di sekeliling kami.


Hari-hari selanjutnya radang tenggorokan & batuk (Khumbu–Cough) merupakan beban tersendiri, yang anehnya, nantinya sembuh sendiri sewaktu di Namche Bazaar saat kembali ke Lukla. Makan pagi di Dingboche adalah menu standard; Mie Nepal, telur rebus dan pancake yang harus berjuang keras menahan sakit untuk melewati leher yang radang. Sambil makan sempat melamun dan entah mengapa terbersit ingatan atas dongeng / mithos tentang ”Yeti”.

Apa benar ”yeti” itu benar-benar ada atau hanya mithos yang dibuat oleh penduduk lokal. ”Yeti” sering digambarkan sebagai manusia raksasa seperti binatang menyusui macam gabungan kera & beruang raksasa. Badannya tinggi besar meskipun bisa berjalan lambat dengan 2 (dua) kaki, pada umumnya berjalan merangkak dengan ke 4 (empat) anggota badannya itu. Seluruh badan berbulu tebal dan kasar berwarna hitam atau coklat tua.

Makanan utama ”yeti” adalah tumbuhan, buah-buahan, sayur atau binatang kecil lainnya. Biasanya ”yeti” tinggal di gua-gua es atau hutan di dataran tinggi pada perbatasan antara Nepal dan Tibet. Bau badan ”yeti” seperti bau bawang yang sangat keras, tidak berekor dan sejauh ini belum ada orang yang berhasil memotretnya. Kata ”yeti” berasal dari bahasa Tibet, dari yeh : ”Snow valley” dan Teh : ”man”, yang artinya kurang lebih adalah : manusia di lembah salju.

Gambar 45 –
Snow – Valley di lembah Khumbu Khola, Jumat 03 Nopember 2006
Lembah-lembah di dataran tinggi pegunungan Himalaya hampir sama struktur Geomorphologinya. Dingin, beku dan sunyi, sering diselimuti salju dan banyak terdapat gua di dinding tebingnya. Konon tempat-tempat seperti ini menjadi tempat tinggal para ”yeti” – Himalaya.

Berita pertama kali ditemukan ”yeti” adalah tahun 1889 oleh Major LA Wassell yang menemukan jejak kaki di arah timur-laut Sikkim. Kemudian pada tahun 1951 ditemukan jejak serupa oleh Eric Shipton, pendaki legendaris dari Inggris. Juga di tahun 1970, Tenzing Norgay mengklaim melihat jejak ”yeti”. Akhirnya tak kurang Reinhold Messner di tahun 1984 menemukan jejak ”yeti” di Tibet. Namun demikian keberadaan ”yeti” masih diperdebatkan dan tetap merupakan pro & kontra yang tidak ada habisnya. Saya punya pendapat sendiri yang kurang mempercayai keberadaan ”yeti”, mungkin saja yang dilihat adalah beruang es raksasa. Pada ketinggian diatas 5000 M dan udara begitu tipis yang mempengaruhi kesadaran setiap orang di tengah temperatur yang ekstrim dingin maka setiap orang akan mengalami ”halusinasi” macam-macam. Ketika badan letih, sakit, kelaparan dan setengah sadar maka halusinasi itu begitu nyata seolah-olah suatu kenyataan yang baru saja dialami dan berkembang menjadi cerita turun-menurun.

Pukul 08.00 pagi kami mulai bergerak lambat & malas menuju Lobuche (4940 M). Udara mendung, dingin dan amat tidak bersahabat yang merupakan hari pertama cuaca tidak bersahabat selama kami di pegunungan Himalaya. Sejauh mata memandang, langit kelabu, pemandangan dominan warna coklat muram, seakan masih berduka karena di tinggalkan Sieling dan George kemarin.

Gambar 46 –
Pheriche (4280 M) di lembah Khumbu Khola, Jumat 03 Nopember 2006

Tampak di kejauhan lokasi Pheriche (4280 M) di dasar lembah Khumbu Khola. Di Pheriche ada klinik kesehatan dengan fasilitas lengkap serta ada kantor Himalaya Rescue Association (HRA) dan Tokyo Medical College.
Biasanya pengendalian penyelamatan terhadap pendaki (Rescue) dipusatkan di Pheriche.

Kami menyisir tebing diatas Dingboche kearah barat dan melewati ”chorten” dengan bendera warna-warni khas Nepal-nya. Setelah melewati chorten besar jalanan menurun menuju ke lembah Khumbu Khola dan tampak di arah barat, sebelah kiri desa Pheriche (4280 M) didasar lembah Khumbu khola, kami mengambil jalan ke kanan menuju Dusa (4514 M) tempat peternakan Yak yang dikelilingi batu. Meskipun mendung, cukup indah pemandangannya, terutama bila kita berbalik menghadap kebelakang akan tampak dengan gagahnya deretan : Ama Dablam (6856 M), Kangtega (6783 M), Thamserku (6608 M) dan desa Periche (4280 M) dengan latar belakang lembah Khumbu Khola.

Gambar 47 –
Dusa (4514 M) dengan 3 (tiga) selebriti Mahitala, Jumat 03 Nopember 2006

Menjelang Dusa (4514 M), 3 (tiga) selebriti Mahitala berpose.

Dari kiri : Carolina (Olin) Djunaidi, Suhanto dan Susanto dengan latar belakang dinding terjal di pegunungan Himalaya.


Gambar 48 –
Dusa (4514 M) dengan latar belakang Pokalde (5806 M),

Jumat 03 Nopember 2006

Sisi lain lembah Khumbu Khola dengan lapisan tipis es.

Tampak dari kiri : Prakash (porter), Chaca (jaket merah muda), Mario dan Ian sedang bergaya.

Saya berjalan beriringan dengan Tjandra Laksanahadi (Didiet) dan Lily G. Nababan dan sangat menikmati perjalanan itu karena turun hujan salju dan es. Lily berteriak saking senangnya karena begitu mendambakan perjalanan berpetualang di gunung salju dan mengalami hujan es & salju : Ibu dengan 1 (satu) putri (Nuelle) hasil perkawinan dengan Ruslan Naba ini berprofesi sebagai jurnalist yang sarat pengalaman meliput berita di Indonesia maupun manca negara. Lily saat ini berprofesi sebagai Jurnalist Independent (free lance) untuk Jakarta Post, Majalah Swa (Group) dan Tempo Group.

Lily Nababan anggota Mahitala Angkatan Golok Rimba , pada tahun 2003, terpilih ikut “International Journalist Program” selama 3 (tiga) bulan di Dusseldorf, Jerman untuk memperdalam bidang jurnalistiknya dikantor koran ekonomi terkemuka Handelsblatt. Tahun 2001 atas undangan GTZ & KAZ LSM Jerman, mengikuti Training UU Antitrust di Jerman. Pada tahun 1996 diundang oleh Mc Donald meliput Olimpiade di Atlanta. Prestasi lain dari Sarjana Hukum lulusan Universitas Parahyangan Bandung angkatan 1984 ini yaitu bergabung dengan Ekspedisi Pemanjat Putri Indonesia di Half Dome, Taman Nasional Yosemite – Amerika yang terkenal di tahun 1990, juga bergabung dengan Tim Putri Mahitala yang pertama di Indonesia yang memanjat tebing Uluwatu di Bali. Saat ini Lily dan Ruslan Naba sang suami aktif juga menjalankan bisnis Multi Level Marketing dengan tujuan mampu membiayai perjalanan masa depan mereka ke pelosok eksotis dunia.

Gambar 49 –
Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar kembali beristirahat menjelang Dughla (4600 M)
Jumat 03 Nopember 2006

T
ampak di foto dari kiri ke kanan : Hani, Lily, Milug, Samsu (jauh dibelakang), Hasan (duduk), Ambrin (membelakangi kamera), Tjandra Heru, BHP, Susanto dan Mario, santai sebelum Dughla untuk makan siang.

Gambar 50 –
5 (lima) serangkai Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar di Dughla (4600 M)
Jumat, 03 Nopember 2006

Wajah-wajah gembira menunggu saat makan siang di Dughla (4600 M).
Tampak di gambar dari kiri ke kanan : BHP, Lily, Hani, Didiet dan Chaca dengan latar belaka
ng Ama Dablam (6856 M) dan Thamserku (6608 M) yang diselimuti kabut.

Pukul 11.30 kami tiba di Dughla (4600 M) yang berjarak sekitar 4,3 Km dari Dingboche untuk makan siang. Perjalanan dari Dughla ke Lobuche mulai berat dengan tanjakan terjal menuju pinggang Khumbu Glacier dan harus naik 240 M untuk tiba di Chupki Lhara (4840 M), suatu dataran di bibir tebing dengan pemandangan menakjubkan, selain panorama pegunungan atap dunia, juga tengkuk merinding karena banyaknya “nisan” peringatan terhadap para pendaki yang tewas di Mt. Everest dan sekitar Khumbu area. Begitu banyaknya “nisan” peringatan tersebut sehingga kami sulit menghitungnya. Disini terdapat “nisan” Scott Fischer – Pendaki gunung kenamaan Amerika yang juga pemilik perusahaan Mountain Madness Guided Expedition yang tewas bersama 7 (tujuh) orang pendaki lainnya pada tragedi dahsyat Mei 1996. Saat itu Scott Fischer di tengarai bersaing dengan Rob Hall – Pendaki gunung kenamaan Selandia Baru, pemilik perusahaan Adventure Consultants Guided Expedition yang juga tewas pada tragedi Everest Mei 1996 di South Summit.

Gambar 51 –
Hujan es dan salju di Chupki Lhara (4840 M), Jumat 03 Nopember 2006
Dalam perjalanan ke Lobuche setelah makan siang di Dughla, kami mengalami hujan es dan salju di Chupki Lhara (4840 M), tampak di latar belakang salah satu “nisan“, monumen peringatan terhadap salah satu pendaki yang tewas di Khumbu Area – Himalaya.
Disini juga ditemukan “nisan“ : Scott Fischer, Rob Hall, Babu Chiri Sherpa serta pendaki lainnya dari banyak Negara.


Persaingan kedua bos ekspedisi komersial itu menuai badai kritik dari seantero dunia termasuk dari Sir Edmund Hillary yang menuduh mereka mengkomersialkan orang untuk mendaki Mt. Everest (8848 M) dengan biaya US$ 65,000/ orang untuk sekedar mendaki Mt. Everest (8848 M) diluar biaya transportasi dan biaya “lain-lainnya” dengan “garansi” peluang besar mencapai puncak Mt. Everest. Akhirnya kedua pentolan pemilik perusahaan ekspedisi ke Mt. Everest itu tewas di Himalaya, yang kematian mereka : diduga lebih dipicu karena gengsi, keras kepala dan tanggung jawab untuk menyelamatkan klien mereka yang nota bene banyak tidak dipersiapkan dengan baik untuk pendakian tersebut ataupun kurang jam terbang di puncak-puncak salju, ketimbang masalah ganasnya cuaca di pegunungan es abadi itu.

“Nisan” terkenal lainnya yaitu milik : Babu Chiri Sherpa yang telah mendaki Mt. Everest 10 (sepuluh) kali dengan “Hattrick” tahun 1995, mendaki Mt. Everest 2 (dua) kali hanya dalam jangka waktu 2 (dua) minggu. Malangnya Babu Chiri Sherpa tewas tahun 2001 ketika mendaki Mt. Everest untuk ke 11 (sebelas) kalinya karena terperosok ke dalam es (crevase) sewaktu akan mengambil foto.

Rekor lain dari Babu Chiri Sherpa di tahun 1999 yaitu mendaki Mt. Everest (8848 M) dari Everest Base Camp hanya memerlukan waktu selama 16 ¼ jam dan tinggal di puncak selama 21 jam tanpa tabung oksigen. Suatu prestasi yang sangat luar biasa dan sulit di percaya, bahwa ternyata ada manusia dengan kemampuan “super edan” tersebut. Saya sempat mengheningkan cipta sebentar di tempat keramat tersebut, dan segera melanjutkan perjalanan karena terpaan angin sangat keras seakan akan ingin melontarkan badan saya, terasa muka pedih di terpa angin.

Gambar 52 –
Tanjakan akhir sebelum Lobuche (4940 M), Jumat 03 Nopember 2006
Medan terakhir sedikit menanjak sebelum mencapai Lobuche (4940 M). Tanjakan tidak terjal, tapi cukup sulit karena banyak batu lepas. Dibalik bukit itu Lobuche tempat kita bermalam hari itu.

Ketika saya berada diatas bukit bersama Sujan (Tour Guide), Milug dan Ian, ketika menengok kebelakang untuk melihat ”nisan” tersebut, tampak seseorang berjaket merah muda di kejauhan tiba-tiba berhenti dan berbaring di tanah. Saya berteriak-teriak khawatir karena pasti orang tersebut (ternyata Chaca) terkena gejala Altitude Mountain Sickness (AMS); merasa kedinginan, mengantuk, ingin tidur dan berhalusinasi. Karena teriakan kami tidak digubris, maka Sujan kembali turun untuk menjemput dan ”mengawal” Chaca.

Chaca yang nama aslinya Lisiah adalah Sarjana Teknik Sipil Universitas Parahyangan Bandung Anggkatan 1996, juga anggota Mahitala Angkatan Maharana Wulung Adhiwarsa (AMWA). Chaca adalah pribadi yang unik dan kompleks serta mempunyai hobi multi talent seperti : diving, mountain climbing, dan suka melakukan perjalanan seorang diri. Sebelum bergabung dalam Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar, Chaca sudah bekerja selama 3,5 tahun di BCA dan mendadak mengundurkan diri karena bergabung dalam Tim tersebut untuk melakukan perjalanan ke Himalaya dan disambung ke Tibet & China, total perjalanan 3 (tiga) bulan. Tak banyak orang yang seperti Chaca (Sieling & Lily tentunya), paling tidak Mahitala memiliki ketiganya.

Gambar 53 –
Lobuche (4940 M) – One of the coldnest place in Khumbu region.
Jumat 03 Nopember 2006

Ada perasaan lega ketika melihat Lobuche (4940 M) dari kejauhan di seberang bukit. Terbayang kehangatan & kenikmatan berdiang di perapian berbahan bakar
“kotoran kering“ Yak (dunk). Hangatnya teh manis dan harumnya masakan untuk makan malam. 5 (lima) jam berjalan di udara dingin, ditengah hujan es & salju, sudah cukup untuk hari itu.

Kami tiba di Lobuche (4940 M) pukul 15.30, disambut puncak-puncak Pumori (7138 .M), LingTren (6713 M), Khumbutse (6639 M) dan di kanan Nuptse (7879 M) serta Lhotse (8501 M).

Lobuche (4940 M) sangat dingin (-5o C) dan berangin kencang. Lobuche yang dalam bahasa Nepali berarti: “Above the clouds” (diatas awan) mengingatkan saya akan Kota Kinabalu yang diberi julukan “Below the winds” sungguh indah nama-nama itu. “Name is very important, especially if the words are specific and meaningfull. Easy to remember because the character of those places …. Like … “Above the clouds” … … Yes … that is Lobuche (4940 M) one of the coldnest place in Khumbu region … … “

Namaste,
Budi Hartono Purnomo
M-78188 AS


12 September 2007

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa


Sahabat-sahabat sekalian...
selamat menunaikan Ibadah Puasa bagi yg menunaikan...
Semoga dapat menghadapi segala macam bentuk godaan...AMIN !